Oleh JB Kleden (Ledalero 85 Terlibat dan Alumni Wisma Ekstern Wairpelit)
SAYA sedang menonton Imlie ketika pesan whatsapp Pater Leo Kleden SVD muncul di WAG Kleden Lamadira. “ Berita duka. Telah meninggal dalam damai Tuhan Konfrater kami tercinta: Pater Georg Kirchberger SVD (76 th, 54 th Kaul, 48 th Imam), Senin, 5 Juni 2023, Jam 19.45 Wita, di RSU Hilers, Maumere. Requescat In Pace.” Pater Kirch meninggal?
Saya mematikan tv, dan rasa duka dengan cepat menyelinap. Sejenak saya mengenang tuan guru saya ini dalam doa. Semoga Tuhan maharahim, pencipta dan pengasih sejati hidup kita, menerimamu dalam cahaya abadi. “Domine, requiem aeternam dona eis, et lux perpetua luceat eis quoque”
Pater Kirch meninggal. Di ujung perjalanan hidupnya, ia mempertemukan dan memperjumpakan semua muridnya yang tersebar di seluruh dunia melalui berbagai platform media sosial. Apakah SVD sejagat berkabung untuknya, seorang formator yang telah menghasilkan banyak imam SVD yang tersebar di seluruh dunia? Negeri ini tak berduka untuk seorang imam yang meninggal, betapapun imam ini telah melahirkan banyak orang hebat untuknya. Belum genap satu tahun Pater John M. Prior, SVD meninggal tanpa kita tahu apakah itu berarti sebuah kehilangan?
Pater Kirch memang tidak berada di lingkaran Puncak Bukit Ledalero, ia memilih untuk tinggal bersama para mahasiswa ekstern di Wisma St Agustinus Wairpelit yang memang dibangunnya untuk mereka yang dianggap “tidak layak” menjadi imam dan biarawan tersebut. Cara hidupnya ini bahkan dianggap “ganjil” kala itu (1980an) oleh umat Wairpelit di kaki bukit “tempat sandar matahari” itu.
Ia jalani kehidupannya di kaki bukit tanpa merasa kelojotan. Hari-harinya diisi dengan mengajar dan membimbing. Tetapi hanya dalam hitungan detik setelah berita kematiannya diumumkan, ungkapan duka membanjir dari seluruh penjuru. Media sosial dihiasi ucapan duka dan catatan kehilangan dari para muridnya, kongregasi, juga mereka yang mengenalnya. Kematiannya seperti dua sisi yang bertentangan, tapi juga bertaut: sebuah kehilangan tetapi juga sebuah perjumpaan yang mempertautkan banyak orang. Apakah ia begitu penting?
Saya memang tak memiliki cukup panjang ingatan. Waktu berjalan membawa perubahan tetapi juga membentuk zaman. Ratusan pemuda calon imam datang dan pergi setelah mendapatkan ilmu tentang Allah darinya. Mereka membentuk angkatan dan pergi dengan membawa kenangan. Barangkali karena itulah setiap angkatan memiliki pengalaman tersendiri. Artikel ini tidak lebih dari suatu retrospeksi tentang adanya Pater Kirch dalam hidup pribadi saya dalam angkatan kami. Ledalero 85 Terlibat.
***
TAHUN 1985 saya masuk novisiat SVD di Ledalero. Novis satu. Tahun 1986 Novis II dan mulai kuliah tingkat I di STFK Ledalero. Di tahun pertama ini kami belajar yang pengantar-pengantar saja. Ada Pengantar Filsafat, Pengantar Teologi, Pengantar Perjanjian Lama, Pengantar Perjanjian Baru, Pengantar Kepada Bapa-Bapa Bangsa dan berbagai pengantar lainnya. Di tingkat pengantar-pengantar inilah saya mulai menaruh minat pada teologi dan fisafat ketuhanan, di samping islamologi dan sastra yang tidak diajarkan.
Seperti matahari pagi yang perlahan menyibak rerimbunan Ketapang di taman filosofen, menyepuh puncak-puncak Kapela Agung, memberikan kehangatan bagi penghuninya yang memadah mazmur pagi, ia berdiri di awal fajar, menyibak pintu dan membiaskan cahaya, “Pandangan Kristen tentang Dunia dan Manusia” kepada kami. Meski suka duduk di belakang bersama si Bhisu dari Riung, saya mendengar dan mendalaminya dengan sungguh-sungguh. Penuturannya mengenai kisah penciptaan menurut tradisi Yahwista yang ia sampaikan dengan gaya story telling membuat saya terkagum-kagum. Ia seperti membimbing kami yang mendengarkan kuliahnya, secara perlahan membaca kehidupan manusia dan kehidupan kami sendiri di Ledalero.
Seperti menara Kapela Agung Ledalero yang menggapai langit, ia memperkenalkan para penjaga tradisi iman, the deposit of faith di abad-abad awal gereja kepada kami. Yustinus Martir, Irenaeus, Origenes, Ambrosius, Hironimus, Tertullianus, Basilius Agung, Gregorius Nyza, Athanasius, Agustinus, Yohanes Chrisostomus, Gregorius Agung ia kupas satu persatu. Melalui Pengantar Kepada Bapa-Bapa Gereja ia mengantar kami secara perlahan tapi pasti memasuki relung-relung kekayaan iman, ajaran dalam membela iman dan tradisi dari konsili ke konsili dalam abad-abad awal pertumbuhan gereja.
Beberapa istilah seperti gnostik, agnostik, bidaah mulai saya kenal. Meskipun ia menjelaskan bahwa para Patres mengajarkan apa yang gereja sendiri telah pelajari, “Ecclesiam docuerunt quod in Ecclesia didicerunt” bagi saya ini tetap sesuatu yang baru. Sebuah periode penting dan mengesankan dalam sejarah Gereja sebagai landasan perkembangan doktrin Kristen yang diakui oleh aliran-aliran besar Gereja Kristus (Anglikan, Ortodoks, Lutheran, Calvin/Reformed dan Gereja Katolik) yang tidak didapatkan oleh banyak umat.
Seperti sungai yang mengalir ke hilir, dari jaman para Patres ia mengajak kami mendayung lebih jauh, menjelajahi pemikiran-pemikiran para teolog-teolog terkenal yang hangat didiskusikan pada masa itu dari Eropa, Asia, Afrika dan Indonesia. Dengan kalimat-kalimat yang panjang tetapi apik, Ia mengenal Karl Rahner, W.Pannenberg, Barth, Bultman, E. Schillebeeckx, Leonardo Boff, Aylward Shorter, Alois Pieris dan Banawiratman SJ ke dalam budi dan pikiran kami. Sambil di sana-sini memperlihatkan “Lumen Gentium” serta “Gaudium et Spes” dan berbagai hasil Konsili Vatikan II dan meminta kami membuat transformasi secara kreatif untuk melahirkan pemikiran yang lebih kontekstual.
.Meskipun bukan dosen filsafat, ia fasih berbicara berbagai aliran ateisme. Freud, Marx dan Nietzshe ia bawa ke ruang kuliah. Tuhan adalah proyeksi psikologis dari kerunduan dan ketakutan manusia (Freud), agama adalah candu yang meninabobokkan manusia dari realitas hidup yang keras (Marx) dan Nietzche mengumumkan Tuhan telah mati, ia kupas tuntas. Tapi tak lupa ia mengingatkan kami akan kuroritas Dr Faust yang tak terkendali dan berubah menjadi kesia-siaan seorang Sisiphus. Hanya iman yang menolong budi, indra tak mencukupi.
Matakuliahnya selalu menarik perhatian saya meski berat. Ia tidak hanya menghubungkan ajaran-ajaran para Patres sebagai sebuah konstruksi yang harus dipelajari. Juga tidak sekadar menghubungkan pemikiran para teolog modern dengan pengalaman kongkrit sebagai sebuah operasi yang harus dilaksanakan dengan cermat. Lebih dari itu ia membuat teologi menjadi hidup karena menghubungkannya dengan imaji dan menghadir dihadapan kami sebagai sebuah lukisan yang indah untuk dinikmati.
Dalam mengajar dan membimbing ia tidak hanya menjelaskan tetapi juga melukis. Ia melukis semua itu dalam traktak-traktak kuliahnya yang kini sudah dibukukan. Ia menghadirkan lukisan lama dengan warna-warni baru dan mengajak kami untuk berselancar di dalamnya. Guru yang mengajar dengan cara melukis itu kini telah berpulang, kembali ke Seniman Sejatinya.
***
DIEUX besoin des hommes. Sore itu setelah haustus saya menjumpainya. Haustus. Kami sangat suka dengan waktu itu. Bukan saja karena kami boleh berhenti studi sore, minum teh bersama lalu pergi main bola, atau lopas ke Ribang kemudian menunggu oto dari Nita dan bolos ke Maumere, pulang sebelum vespere. Tetapi karena saat haustus juga menjadi kesempatan untuk berdiskusi, dan omong-omong dengan pembimbing rohani kami.
Beliau pembimbing rohani saya. Demikianlah sore itu di tahun 1989 saat menjelang akhir tingkat III, setelah haustus saya menemuinya. Ia mengajak kami duduk di Pendopo Agung Ledalero. Angin berhembus dari laut membasuh jiwa. Saya omong-omong dengan beliau mengenai sekularisasi yang mulai merasuki pemikiran saya dan mengganggu kehidupan rohani. Ketika manusia menerima hidup dan dunianya sebagai tanggungjawab sendiri tanpa bergantung pada Tuhan, iman rasanya berakar dalam dunia yang lain, menuntut sikap lain. Saya mengatakan kepadanya ingin menulis skripsi teologi Allah sudah mati.
Ia melihat tajam ke muka saya dengan pandangan matanya yang saya rasa saat itu lebih tajam dari matahari. Kemudian sambil memandang matahari yang mulai turun ke laut, ia menjelaskan bahwa beriman kepada Allah sebagai dasar dan sumber gratuitas dan kebebasan manusiawi, bukan seperti layaknya percaya akan adanya tata surya, yang sebetulnya tidak terlalu kita acuhkan. Beriman kepada Allah adalah kenikmatan, kemewahan, kesejahteraan, keselamatan dalam dan untuk manusia.
Allah itu lebih daripada perlu, IA bukan menjadi fungsi pada kemanusiaan kita. Allah itu mewah melimpah. Dan karena itu IA memerlukan manusia. Dieus besoin des hommes. Allah memerlukan manusia bukan untuk menjadi Allah tetapi untuk menjadi Allah bagi manusia. Allah memerlukan manusia untuk menjadi anugerah bagi manusia. Allah yang demikian tak akan meninggalkan kita bahkan tidak disaat kita meninggalkannya.
Lalu dengan penuh kebapakan ia menjelaskan titik tolak modern yakni subyektifitas manusia yang mengandalkan Allah sebagai syarat sudah kehilangan pamornya, sebab tidak seorangpun berdoa kepada salah satu syarat. Allah tidak bisa diredusir menjadi fungsi tertentu bagi manusia, masyarakat dan dunia. Teologi “Allah sudah mati” hanyalah omong kosong belaka hasil dari pandangan yang menjadikan Allah sebagai syarat. Ia menjadi saksi bahwa Tuhan yang super-instumental adalah Tuhan yang gagal total dan tak berguna.
Itulah alasan mengapa ia tidak merekomendasikan saya menulis teologi Allah sudah mati. Ia berargumen bukan tidak boleh, tapi itu hanya membuang energi membahas teisme kuno yang kian hari kian tidak berlaku. Lebih tidak berguna lagi membahas Allah yang telah mati.”
Lalu ia menawarkan saya mendalami pemikiran Schillebeckx untuk menyikapi konfrontasi iman-sekularisasi dan memikirkan kemungkinan ideal untuk transformasi kultural misalnya. Memang tidak banyak pihak yang menghargai Schillebeckx, tetapi pemikirannya amat membantu manusia sekuler agar tetap seimbang, penuh matang. Ia juga menawarkan sebuah tema baru yang langsung saya suka, mencoba “berteologi dengan satra,” mendalami novel Dostoevsky, “The Brothers Karamazov”. Novel filosofis penuh gairah yang masuk jauh ke dalam pertanyaan tentang Tuhan, kehendak bebas, dan moralitas memang menantang. Sebuah drama teologis yang menampilkan masalah iman, keraguan, dan nalar dalam konteks modernisasi Rusia.
Lonceng angelus berdentang. Hari telah benar-benar senja dan kami harus melakukan pujian senja. Saat berjalan bersama menuju Kapela Agung, saya merasakan apa yang disampaikannya lebih dari sebuah pengajaran, tetapi sebuah kasih sayang untuk memberikan kekuatan kepada anak didiknya yang terperangkap dalam badai sekularisasi. Terasa ada suatu yang jatuh di relung hati, entah rahmat entah sukacita. Semua itu berantakan ketika saya menerima keputusan kongregasi untuk meninggalkan Ledalero pada akhir tingkat III di tahun 1989 sebelum menjalani masa TOP.
Saat hendak meninggalkan bukit Ledalero, saya menjumpainya di Wairpelit untuk pamit. Kami tidak banyak bicara, saya juga tidak mencoba mencari jawab meskipun beliau pembimbing rohani saya. Hidup ini akan selalu memberikan dengan tepat apa yang berhak kita dapatkan. We can all shed tears but it won’t change a thing.
***
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan ditingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam (Ch. Anwar, Derai-Derai Cemara)
HIDUP mengalir dengan irama alam yang abadi, permulaan dan akhir yang tiada henti. Meskipun pada akhirnya kematianlah yang memisahkan, sebuah kehidupan terlalu agung untuk tidak dirayakan. Sebuah retrospeksi dihadirkan untuk mempertahankan harapan.
Sang guru telah berpulang, tapi tidak membawa pergi semua yang telah dilakukannya. Formator itu telah menghasilkan banyak generasi yang berguna bagi gereja dan bangsa dan negara. Dosen teologi itu telah menghadirkan ilmunya sebagai sebuah lukisan yang indah untuk dinikmati. Pater Kirch, guru dan pembimbingku, selamat jalan bersama Tuhan menuju Kerajaan Surga. Everything is beauty and joy for ever. Terima kasih untuk senja yang mengagumkan itu.
Pater Kirch, saat kutulis kisah ini kuyakini sepenuhnya angin masih terus berhembus dari tengah samudera semilirnya jatuh di bukit Ledalero, membawa warta membasuh jiwa para muridmu dengan pesan yang sama: Dieus besoin des hommes. Untuk berjalan bersama. Terlibat.
—————————————————————————————————-
Beda Kleden is my friend since we were studying in Ledalero until now. Almost his writings are very good and useful. Thank you friend. Father Kirchberger was a very clever person. His life totally for SVD.
What you wrote described Father Kirchberger as genuine as he was lived as human being.