Oleh Yustinus Prastowo
Saya tak terlalu paham apakah ada katekese liturgi yang secara praktis dan terus-menerus diajarkan pada umat Katolik, setidaknya anak muda dan remaja agar punya pemahaman awal yang baik. Saya sendiri banyak belajar dari tradisi Orthodoks yang punya penghayatan simbolis lebih kuat ketimbang Gereja Katolik Roma, khususnya ekspresi melalui ikon2 Gereja yang anggun.
Hari ini kita merayakan Hari Raya Tritunggal Maha Kudus tentu bukan tanpa sebab dan alasan kuat. Setelah minggu lalu kita merayakan Hari Pentakosta sebagai ungkapan syukur atas turunnya Roh Kudus yang dijanjikan saat kenaikan Yesus Kristus. Kenaikan adalah buah kebangkitan sebagai hasil dialektika keselamatan. Allah yang menciptakan dunia baik adanya dan menghendaki seluruh manusia diselamatkan. Di sisi lain manusia yang dikaruniai kehendak bebas dan kerap jatuh dalam dosa sebagai bagian kebebasannya.
Dosa yang sengatnya adalah maut, kebinasaan, keterpisahan hakiki dari Sang Maha Cinta, Allah sendiri. Manusia demi kebebasannya sering menolak Allah yang dianggap akan merenggut hak miliknya. Tawaran kasih Allah sepanjang sejarah diperlakukan sebagai mata2 yang mengintai dan mengurangi kenikmatan kedagingan. Termasuk menggunakan daya nalar dan rasionalitas untuk membangun Menara Babel sebagai lambang kehebatan manusia yang tanpa batas.
Persoalannya bukan pada pengoptimalan kemampuan intelektualitas yang tak pernah puas untuk mencari dan menemukan hal baru, melainkan penolakan untuk senantiasa melibatkan maksud dan tujuan penciptaan. Dimensi praksis dilepaskan dari dimensi etis. Akhirnya semua ikhtiar itu menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Manusia jatuh pada nihilisme. Mereka menolak dan membunuh Tuhan dan menggantikan Tuhan dengan otoritas saintifik atau ego yang dianggap lebih meyakinkan. Manusia menjadi anak hilang yang tersesat dalam hutan pencobaan yang serba gemerlap dan kemilau.
Manusia bersaing dengan sesama, memelihara rasa iri, dan mempraktikkan kekerasan untuk berkuasa. Mengejar pertumbuhan, capaian2 duniawi yang diukur secara statistik, melakukan penaklukan tiada henti demi memuaskan syahwat kejayaan akal budi.
Ketika para Nabi diutus untuk mengingatkan manusia akan asal usul dan hakikat hidup, mereka ditolak. Cinta Tuhan dianggap sebagai campur tangan yang akan merenggut kebebasan manusia sebagai tuan atas semua ciptaan. Hingga Tuhan mengaruniakan anakNya sendiri sebagai perlambang pemberian diri sepenuhnya, tawaran cinta seutuhnya, kehendak mengajak pulang anak yang hilang, sekuat-kuatnya.
Yesus lahir dan hadir sebagai antitesis. Anak Allah yang menjadi anak manusia yang hina. Raja tanpa mahkota, bahkan dimahkotai duri di ujung ajalnya. Tak punya istana dan tahta, melainkan hidup mengembara untuk mengajar dan menyembuhkan. Hingga ia harus mati disalib demi memaku ego secara sempurna. Kata Rene Girard, ia menjadi “kambing hitam” untuk memutus rasa iri dan mata rantai kekerasan.
Yesus membayar lunas kurban salib ini dengan kebangkitan. Tak lain komitmen dan konsistensi Allah yang menjadi tiang penopang. Allah Bapa sumber kehidupan yang mengurbankan Allah Putra pembawa hakikat kehidupan. Relasi cinta Bapa dan Putra ini terejawantah dalam Roh Kudus, sebagai daya hidup yang menyertai manusia yang percaya dan ditebus untuk mewartakan dan bersaksi tentang cinta Allah.
Dialektika Trinitarian inilah yang kita rayakan sebagai sintesis penciptaan, kejatuhan, dan penyelamatan. Allah Trinitarian adalah Allah Esa yang terdiri dari tiga pribadi sebagai relasi cinta yang utuh dan penuh: Sang Pencipta, Pelaksana, dan Pemelihara Kehidupan. Dalam tradisi teologis para Bapa Gereja sering disebut perichoresis, sebuah tarian melingkar yang dinamis dan saling mengisi. Demikianlah relasi cinta Allah, yang dalam bahasa teolog Jürgen Moltmann sebagai “komunitas tanpa uniformitas, dan personalitas tanpa individualitas”. Raimundo Pannikar merumuskan perichoresis ini sebagai kosmoteandrik atau Tarian Agung Allah yang menunjukkan relasi dinamis saling cinta antara Allah, manusia, dan ciptaan.
Corak Trinitarian ini lalu mengisi kehampaan diskursus ekologi belakangan ini. Krisis ekologi sebagai akibat kapitalisme gelojoh yang membutuhkan solusi integral. Tak hanya berdimensi ekonomistik melainkan humanistik-kosmologis. Perayaan Tritunggal Maha Kudus sudah selayaknya diletakkan dalam pemahaman baru yang lebih membumi dan mendorong keterlibatan praktis. Jika hari2 ini kita disuguhi berbagai cerita kejatuhan yaitu aneka krisis kemanusiaan dan kehidupan akibat keserakahan manusia, di dalam Allah Tritunggal kita pantas menaruh harapan melalui laku pertobatan, karya penebusan dan penyelamatan yang tanpa syarat. Ia yang menjanjikan “Yerusalem baru”!