Oleh Bara Pattyradja
di kaki bukit Larantuka
engkaulah gunung batu
yang bersila
hening bagai kaku pohonan
paul, paul
kau masih saja sesunyi air sebisu tanah
saat mata nasib yang jalang
memberiku isyarat penuh gemuruh
apakah kita?
boneka kertas yang pasrah dijarah sejarah
ataukah Sishifus
yang tak pernah menyerah
pada kutuk batu? hari demi hari
hanyalah gugusan karma
yang terlunta dan duka maha raja bertahta
dalam perjalanan ini
telah kuikat takdir kasapku
dengan seluruh kebebasanku
tak akan ada batas
yang sanggup melerainya
ke pulau diri………
bersama burung-burung
yang kau lepaskan
dari menara-menara hijau
aku seberangi kembali selat Solor
laut begitu asin
tangan-tangan dingin penuh garam
menyalakan lampu-lampu damar
di daratan
kulihat masalalu berjalan
kucium bau manusia Portugis
di seberang lengang benteng Lohayong
inikah tanah ibu?
oh, aku seperti sedang memasuki
kesuyian tiada tara
tak kudengar riak
bahkan disini angin tak bertubah
sayap-sayapku yang patah
kembali utuh bagai bahasa
yang mengikat lidahku
Lamahala…….
kucari juga diriku disitu
tapi yang kutemui cuma sepotong sedu
yang makin lama makin perih
di dadaku
apa yang salah?
hingga orang-orang kampung butuh kejahatan
untuk menjagal diri sendiri
tak kutanam dendam di bawah darahku
meski mata pisau goreskan luka
silsilah dagingku
pada maut dan kiamat
aku pasrahkan batas duka
segala yang terampas dari sisiku
akan terampas dari sisi mereka
maka jangan titahkan padaku
untuk masuk menemu diri
sebab aku akan mati
seperti Sartre yang mati
memasuki diri orang lain
“sebab neraka adalah orang lain”
dan sedih akan kembali tiba
seperti kapal-kapal kembali
dari bandar-bandar yang jauh
maka buat saja aku lelah
ludahkan padaku segala yang pahit
dengan begitu aku akan merasakan
manisnya pengembaraan
—————————-
Sumber: dari Buku Puisi Samudera Cinta Ikan Paus, Penerbit Asupsi, 2013, Bandung