Oleh Agus Dermawan T
Adikarya lukisan Basoeki Abdullah telantar di gudang rumah jompo di Neijmegen, Belanda. Sangat membuat jengkel masyarakat seni Indonesia.
Untuk mengawali pembicaraan ini, penting apabila kita menyimak artikel yang ditulis oleh Bonnie Triyana di laman Historia, 27 Maret 2019. Artikel yang berkisah ihwal web lukisan “Maria Assumpta” (Maria Naik ke Surga) karya Basoeki Abdullah (1915-1993) tersebut berjudul “Maria Terbang Mendarat di Gudang”. Begini petikannya:
“Lukisan berukuran sekitar 2 x 1 meter itu tersandar da rak di sebuah gudang bawah rumah susun jompa yag dikelola oleh Serikat Jesuit di Neijmegen, Belanda. Lukisan itu menggambarkan sesosok perempuan berkebaya lengkap dengan kain sinjang batik bermotif parang yang membentangkan tangannya sebatas paha.
Kepalanya yang berkerudung selendang sutra biru menunduk dengan mata separuh memejam, melihat ke arah bawah. Ia seperti terbang ke langit, melesat meninggalkan sebuah desa yang diapit dua gunung berapi.
Lukisan itu tampak lebih mencolok dari benda-benda lain yang ada dalam gudang. Guci keramik, cawan lilin, lampu, buku, gambar berbingkai, kardus-kardus terletak tak beraturan di sana-sini. Namun seperti memiliki daya magnetik, lukisan itulah yang paling menyedot perhatian.
“Ini breaking news dalam dunia seni rupa Indonesia, kata Amir Sidharta, sejarawan seni dan kurator yang datang untuk melihat langsung lukisan karya Basoeki bertitimangsa 1935 tersebut. Ini pertama kali Amir menyaksikan langsung karya yang selama ini menjadi buah bibir di kalangan seni rupa Indonesia. “Sebuah karya yang monumental,’ ujarnya menambahkan.
Aminudin TH Siregar, dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB yang kini menempuh pendidikan doktoralnya di Universitas Leiden juga terpukau dengan lukisan legendaris itu. “Saya belum menemukan lukisan lain yang layak untuk disejajarkan dengan kecanggihan re-kontekstualisasi ala lukisan Basoeki Abdullah ini, setidaknya pada masanya, 1930-an, katanya.”
Yang jadi pertanyaan mereka bertiga adalah: mengapa lukisan sehebat itu justru seperti digeletakkan di gudang begitu saja. Seolah seperti lukisan yang kurang berharga! Padahal para kritikus dan pengamat seni Indonesia menganggap karya itu sebagai adikarya yang menandai perjuangan pelukis Indonesia terpenting dalam sebuah era.
Tulisan di Historia itu pada minggu-minggu kemudian dikembangkan oleh berbagai media massa. Salah satunya dalah majalah Tempo, yang membahas itu dengan referensial, komprehensilf, lengkap, dan mengundang diskusi. Bahkan koran Jakarta Post menyambutnya dengan mengetengahkan berbagai seni rupa yang menggambarkan Maria Assumpta. Maka sejak Maret sampai Juni masyarakat seni rupa Indonesia disuguhi realitas ironis itu. Perlakuan pihak Belanda terhadap lukisan itu oleh sebagian pengamat Indonesia dianggap sebagai wujud dari sikap peduli para kurator dan pengelola seni Belanda. Untuk melunakkan anggapan sikap itu, pihak kurator Belanda yang terkait mengatakan bahwa penggudangan tersebut karena keterpaksaaan dan hanya sementara. Pihak Belanda sesungguhnyanya sejak lama juga mengakui nilai lukisan itu. Buktinya, “Maria Asumpta” Basoeki pernah dipamerkan secara spesial di Museum Valkhof, Neijmegen, pada September 2004 sampai Februari 2005. Setelah puluhan tahun, lukisan tersebut terpajang secara layak di Den Haag dan Neijmegen.
Peristiwa penggudangan lukisan terbaik karya maestro Indonesia tentulah membuat jengkel dan kecewa. Namun para pengamat yang percaya kepada nilai-nilai seni, penggudangan seperti itu tidak perlu sampai menyebabkan luka di hati. Alasannya, lukisan yang bermutu akan tetap berkilau meski diposisikan di pojok gelap. Ibaratnya, berlian akan tetap mengilat meski terendam di dalam lumpur. Peristiwa lukisan “Perburuan Banteng” karya Raden Saleh (1807-1880), yang di temukan di gudang bawah tanah, lantas terjual 7.200.000 euro dalam lelang pada 2018, adalah contohnya.
Basoeki Abdullah mengatakan bahwa “Maria Asumpta” dicipta untuk hadiah bagi Yayasan Misionaris Katolik yang sudah memberinya beasiswa, sehingga ia bisa belajar di Koninklijke Academie van Beldende Kunsten, Den Haag sejak 1933. Lukisan cat minyak di kanvas itu menggambarkan Maria dalam busana Jawa sedang melayang terbang menuju surga. Ia menyebut, ide membuat Maria berkebaya anggun dengan bawahan batik motif parangrusak itu diilhami ayat Alkitab, Yesaya 61:10. Kalimat itu berbunyi: “Aku bersuka ria dalam Tuhan dan jiwaku bersoraksorai dalam Allah. Sebab Tuhan mengenakan padaku dandanan keselamatan dan menyelubungi aku dengan pakaian kejujuran, bagaikan mempelai berhiaskan ratna mutu manikam.”
“Bagi saya yang lahir dan besar di Jawa, pakaian keselamatan dan kejujuran bagai mempelai itu adalah kebaya dan batik,” ujar Basoeki dalam wawancara saya pada 1980-an dalam rangka pembuatan buku R. Basoeki Abdullah, RA: Duta Seni Lukis Indonesia, Buku itu terbit pada 1985 dan kemudian berlanjut dengan dua buku lainnya.
Selama di studi di Belanda pada 1933-1936, Basoeki mencipta tujuh lukisan tentang Bunda Maria. Sebagian dalam busana dan atmosfer budaya Jawa. Tentu saja ada lukisannya yang tetap mengacu kepada paras, setting, dan busana Eropa, seperti dalam lukisan Maria dan Yesus dikunjungi Raja-raja Majus, yang pernah dijadikan ilustrasi poster pameran di Belanda.
Ketika ia kembali lagi ke Eropa menjelang 1950, seri lukisan Maria beratmosfer Jawa masih dikerjakan. Salah satunya adalah lukisan “Ibunda dan Putranya” yang mengacu kepada ungkapan Belanda, “Mama heeft altijd jam – Mama selalu punya selai” – yang maknanya: dalam kekurangan apapun sang ibu selalu ada untuk anaknya. Lukisan ini menggambarkan Maria berkebaya dan bersarung sedang memangku bayi Yesus yang tidur dengan nyaman di atas amben reyot di pojokan gubuk. Komposisi dan gesture lukisan diilhami oleh bagian dari karya Pieter Bruegel dari abad ke-16. Dalam sebuah laman di internet, karya Basoeki ini dijajarkan dengan karya Giovanni Bellini, Jan van Eyck, dan Bouguereau, yang semuanya menggambarkan Maria dan bayi Yesus.
Basoeki Abdullah, kelahiran Solo, adalah putra pelukis pemandangan ternama Abdullah Suriosubroto. Sementara Abdullah adalah anak Dokter Wahidin Sudirohusodo, tokoh pergerakan nasional Indonesia awal abad ke-20. Sejak duduk di Hollands Inlands School, Basoeki sangat gemar menggambar sehingga para guru di sekolahnya terpesona. Menyadari kemampuan itu, Basoeki menyimpan harapan tinggi: ingin mendalami seni lukis secara akademis. Untuk itu ia acap samadi di Parangtritis guna meminta Nyai Roro Kidul menyentuh hati mereka yang murah hati membawanya ke kehidupan yang cemerlang. Harapan itu terkabul setelah Katholieke Missie yang mengelola Yayasan Misionaris Katolik memberikan beasiswa pada 1933. “Tapi apakah munculnya beasiswa itu benar-benar karena Nyai, atau karena saya yang sudah menjadi pemeluk Katolik, yang tahu hanya saya dan Nyai,” ujar Basoeki.
Romo Gregorius Budi Subanar SJ, peneliti “lukisan Katolik” Fransiskus Xaverius Basoeki Abdullah saat di Belanda, bertutur di majalah Tempo: “Basoeki diberi beasiswa lantaran yayasan misionaris memiliki agenda khusus. Ia diminta untuk ikut mendorong kerja misionaris lewat kompetensinya.” Di Belanda Basoeki menempuh pendidikan di Koninklijke Academie van Beeldende Kunsten, yang terletak di Prinsessegracht 4, di pusat kota Den Haag. Sementara Basoeki bertempat tinggal di Oostduinlaan 19, di sebuah kompleks perumahan yang tak terlampau jauh dari kampus
Prestasi akademi Basoeki menyenangkan pihak akademi dan menggembirakan pihak yayasan. Beasiswa yang ia dapat tak pernah terlambat dan kendor. Bahkan Basoeki menyelesaikan studionya dalam waktu hanya dua tahun dua bulan, lebih cepat dibanding mahasiswa lain yang rata-rata memiliki masa studi empat tahun. Karena itu ia diberi sertifikat istimewa: Royal Academie, disingkat RA, yang pada kemudian hari acap disertakan di belakang namanya. Pelayanan amat baik dari yayasan ini dibalas oleh Basoeki lewat berbagai lukisan religius seperti “Maria Assumpta”.
Maria dalam busana dan setting Jawa memang dipopulerkan Basoeki lewat lukisan “Maria Assumpta”. Namun pada tahun-tahun sebelumnya, sejumlah juru gambar telah merilis gagasan Visual semacam itu. Ilustrasi karya FX Djoemingin berjudul “Dyah Maria Ibu Dalem”, misalnya, menggambarkan Maria dan Yesus dalam pakaian ningrat lengkap dengan mahkota, mirip busana raja-raja Jawa zaman dahulu. Bahkan Pastor M Reksaatmadja dari Jawa Tengah pernah melukis Maria dan Yesus dalam pusaran ornamen kakayon dan gunungan wayang kulit.
Pada pertengahan abad ke-20, sejumlah pelukis mulai ramai menggubah Bunda Maria dengan kebebasan versinya. Pelukis Bagong Kussudiardja di Yogyakarta, Tedja Suminar di Surabaya, Ketut Lasia di Bali, dan pematung Gregorius Sidharta adalah beberapa di antaranya. Sementara yang paling progresif adalah keramikus F Widayanto, yang beberapa kali memmvisualkan Bunda Maria dalam versi Jawa. Bahkan judul-judulnya pun berbahasa Jawa, seperti “Tumungkul Bekti”, “Paduka Ibuning Gusti”, “Paduka Sang Pinilih”. Pada 2006 ia membuat relief dan mozaik Maria Asumpta versi Jawa untuk dinding Basilica Annunciation (Warta Sukacita) di Nazareth, Israel. Karya memikat ini merupakan prakarsa para peserta tur ziarah Raptim Indonesia yang dikoordinasi oleh pengusaha Joe Kamdani.
“Tapi Bunda Maria itu bukan milik orang Jawa saja. Ia milik semua suku di Indonesia, bahkan dunia,” kata Uskup Agung Jakarta, Mgr Suharyo Pr. Itu sebabnya ia sangat mendukung ketika pada 2015 ada sebuah lembaga Katolik yang menyelenggarakan kompetisi lukisan, fotografi, dan patung dengan tema “Maria, Bunda Semua Suku”. Apalagi hasilnya ternyata sangat menarik. Salah satu pemenangnya adalah patung karya Robert Gunawan yang menggambarkan Bunda Maria melayang dengan tangan membentang. Bibirnya menyungging senyum. Kesukacitaa ini perwujudan dari seruan apostoli yang diingatkan oleh Paus Fransiskus: “Gaudete et ex sultate!—Bersukacita dan bergembiralah. Maria dipatungkan dalam busana panjang berwrna merah putih dan berornamen batik warna emas. Di kepalanya tampak mahkota berukir peta Indonesia. Di dada Bunda Maria tertera lambang Garuda Pancasila.
Makna dari patung Maria Assumpta ini adalah: Dengan senang hati Bunda Maria akan selalu menjaga Indonesia sebagai negara kesatuan yang berpegang kepada filosofi Pancasila.
**********************
Sumber Tulisan dari Buku Karnaval Sahibulhikayat, Agus Dermawan T, Penerbit KPG