Oleh Odemus Bei Witono
Pandu adalah mahasiswa semester lima yang terkenal karena tampilan dirinya yang awut-awutan. Hari-harinya di kampus lebih banyak dihabiskan dengan tertidur di kelas, ketimbang mendengarkan dosen. Bukan karena malas, melainkan karena kelelahan.
Pandu bekerja paruh waktu sebagai kurir malam guna membantu perekonomian keluarganya. Meski begitu, tidak banyak yang tahu alasan di balik kebiasaan buruknya itu. Bagi sebagian besar teman sekelas, Pandu merupakan sosok yang susah diatur, sulit didekati dan bahkan tidak peduli dengan masa depan hidupnya.
Kendati demikian, ada tiga teman baik Pandu yang selalu setia berada di sisinya, yakni Romi, Tina, dan Rika. Mereka sering mengingatkan Pandu agar lebih serius dalam kuliah. Rika, yang paling peduli dan cerewet, sering pusing melihat Pandu yang kerap tertidur di kelas.
Ketika bangun, Pandu hanya mencoret-coret kertas dengan tulisan tangan yang sulit dipahami. “Apa sih yang ditulis Pandu? Coretan itu lebih mirip sandi rahasia daripada catatan,” gumam Rika suatu kali.
Suatu hari, Romi meminjam buku catatan Pandu. Begitu membuka halaman pertama, ia terperangah. “Gila bener! Bagaimana gua bisa baca ini? Payah banget nih Pandu. Isinya cuma coretan doang kayak sandi rumput,” keluhnya.
Tak butuh waktu lama, kisah buruknya tulisan Pandu menyebar di antara para mahasiswa. Banyak asumsi muncul. Ada yang bilang Pandu sengaja menulis buruk agar dapat menghindari belajar. Ada pula yang menganggap Pandu hanya datang ke kampus demi presensi kehadiran.
Berita itu akhirnya sampai ke telinga Pak Bijak, salah satu dosen senior. Dengan nada santai, beliau berdasarkan asumsi yang diyakini benar, berkata, “Iya, kemarin pas UTS saya tidak baca jawaban Pandu. Jadi, dikasih D saja daripada saya pusing.”
Para dosen lain pun mulai memberikan penilaian serupa. Hanya Bu Leny yang membela Pandu. “Nilainya bagus kok di ujian saya. Soalnya pilihan ganda, dan Pandu bisa menjawab semua,” katanya.
Kehadiran Pandu di kelas benar-benar mengembangkan banyak tafsir. Mungkin kalau Socrates masih hidup, ia akan bingung dan memilih ujian lisan bagi Pandu. Mahasiswa eksentrik ini memang tidak banyak teman, tetapi ia tetap bergulat dengan dirinya sendiri. Pandu menyadari bahwa hidupnya tidak bisa terus seperti ini.
Dalam suatu kesempatan, Pandu merasa frustrasi saat menatap coretan-coretan di bukunya. Huruf-huruf yang seharusnya membentuk kata-kata justru terlihat seperti menari liar, membuatnya semakin sulit untuk fokus.
Ruangan sempit di pojok kampus, tempat dia dan teman-temannya nongkrong seakan memperkuat rasa terisolasi dirinya. Ia memukul-mukul kepala sendiri dengan pelan, mencoba mengusir kekacauan pikiran yang terus menghantui. “Kenapa aku tidak bisa seperti orang lain? Apa yang salah denganku?” gumamnya lirih, diiringi keputusasaan yang menyesakkan.
Melihat keadaan Pandu, Tina dan Rika tak tinggal diam, demikian juga Romi. Mereka tahu betapa sulitnya perjuangan Pandu dalam memahami huruf-huruf yang terus melawan. “Pandu, jangan menyerah!” Tina mencoba menyemangati dengan nada penuh keyakinan.
Rika mendekatinya dengan penuh perhatian. “Tulisanmu memang mungkin sulit dibaca sekarang, tapi itu bukan akhir dari segalanya. Jika kamu mau belajar dan terus mencoba, kamu pasti bisa,” ujarnya dengan lembut, mencoba menanamkan harapan di hati temannya yang hampir putus asa.
Mendengar dukungan itu, Pandu terdiam sejenak. Meski masih diliputi keraguan, kata-kata temannya seolah menjadi cahaya kecil di tengah kegelapan pikiran. “Mungkin mereka benar,” kata batinnya, meski masih ragu-ragu. Perlahan, ia meraih kembali buku tulisnya, mencoba membaca coretan-coretan itu sekali lagi.
Dengan napas panjang, ia berbisik pada diri sendiri, “Aku akan mencoba sekali lagi. Setidaknya, untuk mereka yang percaya padaku.” Di ruangan sempit itu, sebuah tekad kecil mulai tumbuh, mengusir bayang-bayang keputusasaan.
Dengan dorongan dari teman-temannya, Pandu mulai belajar menulis ulang catatannya dengan lebih rapi. Awalnya sulit, tetapi perlahan tangannya mulai terbiasa. Suatu kali, tanpa sadar, coretan-coretannya berubah menjadi lukisan. Lukisan samar yang menggambarkan teman-temannya; Tina dengan senyum yang ceria, Rika dengan wajah serius, dan Romi dengan ekspresi jahilnya. Pandu tersenyum. “Ternyata huruf-huruf ini seperti bernyawa,” gumamnya.
Hari demi hari, tulisan Pandu semakin membaik. Ia sadar bahwa tulisan bukan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Rangkaian kata perlu dibagikan, karena nyawa kata ada dalam makna yang dapat dipahami orang lain.
Dengan semangat baru, Pandu mulai menyusun kalimat-kalimat penuh inspirasi. Tangannya menari di atas kertas, menciptakan cerita yang dapat menggerakkan hati siapa saja yang membacanya.
Di akhir semester, tulisan Pandu tidak lagi menjadi bahan lelucon. Bahkan, salah satu esainya tentang perjuangan hidup dipuji oleh Bu Leny dan dibacakan di depan kelas. Pandu akhirnya menyadari bahwa setiap goresan pena adalah langkah kecil menuju pemahaman lebih besar.
“Tulisan bukan hanya coretan,” ujar Pandu suatu hari kepada Romi, Tina, dan Rika. “Tulisan adalah jiwa yang perlu dimaknai dan dibagikan.”
Dengan keyakinan itu, Pandu terus menulis. Tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga bagi dunia yang lebih luas. Sebab ia percaya, setiap kata memiliki nyawanya sendiri.
==================================