Oleh Martha Hebi
“Jadi kalau saya mati nanti, harus ada yang menari buat saya seperti saya yang ingin menari sampai saya tidak kuat lagi,” ujar Mama Martha.
Ini adalah kutipan saat saya mewawancarai Mama Martha Dada Gabi tahun 2018-2019. Dia salah satu perempuan Sumba yang saya tuliskan profilnya di buku Perempuan (Tidak) Biasa di Sumba Era 1965 – 1998. Dia seorang guru yang mendedikasikan hidupnya sebagai penari. Mama Martha mendokumentasikan sejumlah tarian Kodi yang dipelajarinya melalui riset yang dilakukan bersama Bapak Gregorius Gh. Kaka, suaminya.
Sebagai guru, dia menjadikan hukuman di sekolah bernuansa seni. Jika lambat, anak-anak dihukum menari bersamanya. Begitu juga jika ada kesalahan lainnya, hukumannya menari.
Saya mewawancarainya tahun 2018 dan 2019 di Weetabula, di rumah anak bungsunya Okta Kaka. Kemudian di Bali di rumah anak keduanya, Heribertus Ra Mone dan di kediamannya di Desa Hombakaripit, Kodi, Sumba Barat Daya.
Dia mengisahkan perjalanan hidupnya sebagai penari. Saat wawancara, tiba-tiba Mama Martha memeragakan tarian yang sedang diceritakan. Sebagai pengganti irama gong dan tambur, dia menggunakan irama mulut menyerupai bunyi gong dan tambur.
Tahun 2020, kembali saya mendampingi Mama Martha dalam acara temu perempuan seniman se-Indonesia yang diselenggarakan oleh PERETAS. Waktu itu, karena pandemi COVID-19, pertemuan dilakukan secara online. Meskipun online, tidak mengurangi antusiasme Mama Martha. Dia bangkit berdiri dan langsung menari di depan kamera zoom. Beberapa kali Okta Kaka, si bungsu ikut mendampingi Mama Martha.
Kami berusaha mencari tempat yang sinyalnya bagus. Pertama kali zoom di Konventu Weetabula, Biara Redemptoris. Kami mendapat ijin dari Pater Kimy. Waktu itu Desa Hombakaripit sedang mati listrik. Mama Martha menjadi narasumber pertemuan ini. Dia langsung menari di depan laptop. Para pastor yang lewat dekat kami dan tidak tahu bahwa kami sedang zoom, terheran-heran melihat Mama Martha menari seorang diri sambil mengucapkan dollu dollu dollu dollu… pengganti irama gong dan tambur.
Waktu lain kami pindah ke Rumah Budaya, tentu memberi tahu Pater Robert. Kami menyingkirkan beberapa kursi di restoran untuk memberi ruang yang luas. Saya sudah terbiasa dengan gaya Mama Martha. Nanti mendadak saat sedang bicara sebagai narasumber, Mama Martha langsung bangun menari.
Yang cukup seru itu di rumah anak bungsu dan di Hombakaripit. Perdebatan antara Okta dan Mama Martha. Ini soal irama gong dan hentakan kaki. Saya dan Ida Dena, istri Okta, hanya tersenyum melihat anak mama ini diskusi panjang.
Pernah sekali waktu, Mama Martha lupa jam zoom. Kami keliling Weetabula mencarinya. Ternyata dia sedang mengunjungi saudaranya. Jadilah kami zoom dari rumah saudara Mama Martha. Dalam program ini, Mama Martha melatih Chiki, seorang penari muda dari Makassar. Ada dua tarian kodi yang diajarkan oleh Mama Martha. Kelak di akhir program mereka berdua menari bersama.
Terima kasih Mama Martha atas dedikasimu di dunia seni dan pendidikan. Menarilah bersama para malaikat di surga.
Turut Berduka Cita buat Patricia Kaka–Willy Pala-Raymundo Lakedakodi Okta Kaka –Felisitasidadena Maria Bora Rio Kaka-Reni Kaka.