
Oleh Agus Widjajanto
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman bersifat:
– Mandiri: Bebas dari intervensi pihak lain, termasuk eksekutif dan legislatif.
– Imparsial: Netral dan tidak berpihak dalam memperlakukan pihak-pihak yang berperkara.
Prinsip-Prinsip Kekuasaan Kehakiman:
– Peradilan yang bebas dan tidak memihak: Hakim harus menjaga netralitas dan tidak berpihak dalam memperlakukan pihak-pihak yang berperkara.
– Keadilan berdasarkan hukum: Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Dengan demikian, kekuasaan kehakiman di Indonesia bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan secara adil dan profesional. Kemandirian dan bersifat imparsial tersebut merupakan doktrin dan syarat dari pada negara demokrasi modern, yang berkiblat kepada Trias Politika , dimana adanya pemisahan kekuasaan, yakni Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, yang berdiri sendiri saling kontrol agar tidak terjadi kekuasaan yang absolut dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Demikian juga dalam kaitan lembaga Yudikatif yang berwenang dalam bidang peradilan, sebagai syarat mutlak sebagai negara hukum, disamping ada Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Kontitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY) yang telah diatur dalam UUD 1945.
Namun dalam perjalanan waktu terjadi fenomena dimana sifat kemandirian dan imparsial tersebut banyak tercederainya lembaga yang terhormat tersebut akibat dari proses peradilan, yang terjadi di masyarakat, dari putusan-putusan hakim dalam beberapa kasus besar dimana secara politis diduga telah terjadi tekanan dari atas. Dimana hakim tidak ada lagi sifat kemandirian untuk melakukan penggalian hukum dalam memutus sesuai rasa keadilan, yang dipaksa harus tunduk pada aliran positivisme sebagai aturan baku yang kerap kali tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman. Ada lagi yang kadang kekuasaan seorang juris ( Hakim ) menyerupai kekuasaan Tuhan, yang bahkan bisa menjungkir balikan hukum itu sendiri untuk kepentingan dan keuntungan pribadi .
Di Mahkamah Agung ada Dirjen bimbingan tekhnis MA RI, promosi, mutasi, kenaikan pangkat, para hakim. Jabatan setingkat eselon 1 dan masuk pada jabatan struktural yang dijabat oleh hakim, sedangkan jabatan hakim adalah jabatan fungsional bukan jabatan struktural. Ini yang jadi masalah yang berlarut-larut yang mengakibatkan carut marutnya peradilan di negeri ini, yang disinyalir dan diduga kerap digunakan untuk intervensi kepada hakim-hakim tingkat pertama dalam putusan putusannya dimana hakim yang punya integritas sekalipun akan takut karena menyangkut jabatan, karier dari hakim tingkat bawah tersebut.
Karena jabatan yang sangat strategis walaupun hanya eselon 1( satu), menurut beberapa sumber disinyalir lebih ditakuti oleh kalangan hakim-hakim tingkat pertama dari pada ketua Mahkamah Agung sekalipun. Ini yang harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah jika mempunyai semangat membangun sistem hukum yang baik demi menegakan keadilan di negeri ini.
Untuk itu pemerintah harus berani mengambil kebijakan mengembalikan kewenangan secara administratif menyangkut lembaga peradilan pada Eksekutif melalui Departemen Hukum dan HAM, seperti halnya pada jaman pemerintahan Orde Baru, lewat kebijakan administrasi hakim ditangani dan dibawah wewemang departemen kehakiman. Yang saat itu sangat efektif bisa mengontrol perilaku hakim, dimana dunia peradilan relatif adil, dengan kualitas hakim karier sangat matang dan mumpuni dalam memberikan rasa keadilan di masyarakat. Namun bagi para akademisi hukum, memandang dalam kontek sesuai kewenangan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang bersifat mandiri dan imparsial, dianggap bahwa pengaturan administratif dibawah Departemen Kehakiman ( Hukum dan HAM) dinilai eksekutif turut campur dalam kewenangan Yudikatif dan menghilangkan sifat kemandirian dan imparsial tadi. Padahal tidak semua negara yang mengadopsi Trias Politika tidak ada yang murni, termasuk Indonesia yang didirikan berdasarkan falsafah Pancasila.
Dalam masa Orde Reformasi ini perlu dipikirkan bersama kewenangan tersebut mengapa tidak diberikan kepada Komisi Yudisial (KY)?. Komisi Yudisial sebagai sebuah lembaga pengawasan eksternal yang mengawasi di lingkungan Mahkamah Agung beserta jajaran, yang kedudukannya seharus nya sederajat dan sama dengan Lembaga Mahkamah Kontitusi, Mahkamah Agung, Panglima TNI, Kapolri, dan pejabat-pejabat yang diatur secara tertulis di dalam Kontitusi kita yakni Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang pengangkatannya sebagai anggota Komisi Yudisial, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Namun yang sekarang bisa kita lihat dimana Komisi Yudisial (KY) sebagai sebuah lembaga pengawasan yang kedudukannya seharusnya sangat terhormat, yang telah diatur dalam pasal 24 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang mana Komisi Yudisial bersifat mandiri (independen) yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, menetapkan kode etik dan atau perilaku hakim bersama sama dengan Mahkamah Agung, melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dilingkungan MA, pada tingkat pertama, yang seharusnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis dan dominan dalam rangka menekan dan upaya terjadinya mafia peradilan di Indonesia, yang mana penegakan hukum telah digunakan sebagai ajang bisnis bernilai tinggi, yang mirip sekali dalam pengelolaan sebuah badan usaha milik negara yang berorientasi mencari keuntungan secara privat terhadap aparat penegak hukum.
Seperti yang telah diberitakan di media nasional baik cetak, elektronik maupun visual, telah ditangkapnya eks pejabat MA, berinisial ZR, dengan barang bukti uang tunai dalam bentuk mata uang asing dan rupiah, senilai Rp 950 Milyard lebih, dirumahnya setelah pihak kejaksaan agung melakukan penggeledahan. Hal ini sangat mencederai pencari keadilan. Kita tidak mau berasumsi ini itu soal keberadaan uang tersebut dan berapa perkara serta titipan siapa saja, dana tersebut, tapi yang jelas secara kasat mata bisa dilihat bahwa dunia peradilan kita sedang sakit dan tidak baik-baik saja pasca reformasi bergulir.
Kembali lagi kepada Komisi Yudisial (KY) Selama ini telah terjadi dualisme dan tumpang tindih, dimana secara eksternal pengawasan hakim dilakukan oleh KY, sementara internal di Mahkamah Agung dilakukan. Oleh bagian pengawasan dari MA. Yang keduanya sama-sama tidak punya taring untuk mengeksekusi atas temuannya di lapangan, dimana hanya bisa terbatas memberikan rekomendasi saja, yang hanya bersifat deklarator, bukan komentator maka tidak mengherankan penyimpangan dan proses pemeriksaan hingga terjadi putusan, sangat sulit untuk diawasi oleh KY, yang hanya sebuah lembaga seperti halnya pos satuan pengaman (Satpam) yang tidak dibekali yuridiksi atau kewenangan untuk menindak.
Kebijakan yang harus diambil secara cepat oleh pemerintahan Prabowo Subiyanto, untuk menanggulangi hal ini, dimana penegakan hukum sudah memprihatinkan, yang hanya menjadi milik pemodal besar dan yang mempunyai kekuasaan .
- Mengembalikan kembali kedudukan hakim secara administratif dibawah kementerian hukum. Sedangkan secara organisatoris dan sistem peradilan berada dibawah MA.
- Harus berani mengambil tindakan tegas demi menjaga marwah harkat dan martabat bangsa ini, di dunia international maupun dimata masyarakat kita sendiri, dengan melakukan pemecatan secara tidak hormat kepada hakim yang jelas-jelas terbukti melakukan proses peradilan sesat yang menjurus kepada adanya keuntungan secara pribadi.
- Mengganti seluruh hakim agung, panitera muda baik dalam kamar perdata, pidana, tatanegara, militer, dan agama, beserta seluruh panitera paniteranya di lingkungan Mahkamah Agung. Dan mengganti seluruh hakim-hakim tersebut melalui perekrutan dan Pendidikan kusus yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hakim, panitera, panitera muda, dilingkungan Mahkamah Agung tersebut.
- Naikan gaji secara signifikan katakanlah 10 kali lipat dan tunjungan kesejahteraan. Juga 10 kali lipat, agar mereka bisa bekerja dengan tenang untuk menghidupi kebutuhan Keluarganya dan hal ini telah dilakukan oleh pemerintahan Prabowo Subiyanto melalui kebijakannya.
- Memberikan Komisi Yudisial kewenangan dalam menindak secara profesional yusticia, terhadap hakim yang telah terbukti melakukan tindakan yang sangat tercela termasuk menguntungkan diri sendiri, dengan cara membuat sebuah putusan yang jauh dari rasa keadilan dan kaidah-kaidah dalam format keadilan, yang bertentangan dengan aturan yang berlaku.
- Hilangkan fit and propert test di DPR, untuk menghindari terjadinya kepentingan transaksional baik secara politis maupun secara praktis cukup atas persetujuan dari menteri koordinator bidang hukum yang disetujui Komisi Yudisial yang memang mempunyai tugas investigasi latar belakang dari calon hakim agung tersebut.
Tanpa hal hal diatas, untuk dilakukan sebagai sebuah tindakan kebijakan maka kiranya mustahil kondisi kebrobrokan sistem peradilan hukum kita, yang bisa obyektif dalam menjalankan tugas terbebas dari pengaruh manapun yang bersifat mandiri dan imparsial.
Atau jikalau memang tidak ada niat untuk memperkuat KY melalui alat penindakan yang bersifat final dan mengikat yang mempunyai nilai pro yudisial maka, lebih baik Komisi Yudisial dibubarkan saja, dengan cara melakukan amandemen terbatas pada UUD 1945, sekaligus mengembalikan kedudukan dan wewenang MPR (Majelis Permusyawaratan Rakat) dalam membuat TAP MPR soal Repelita baik jangka panjang, menengah dan pendek dalam pembangunan dan lebih kepada penguatan dan menjaga obyektivitas serta menunjuk orang-orang yang punya komitment menjaga keadilan dan kebersihan untuk ditempatkan di bagian pengawasan pada Mahkamah Agung RI, agar bisa melahirkan para hakim-hakim yang mempunyai jiwa keadilan, dan jiwa nasionalis tinggi untuk menegakan keadilan melalui kekuasaannya sebagai hakim dan berpikir progresif dalam menjatuhkan putusanya, bahwa sesungguhnya hukum dibuat untuk mengatur manusia, bukan manusia dibuat untuk hukum. Bahwa hukum senantiasa berkembang dan bergerak sesuai perkembangan masyarakat, dan hukum harus menjadi garda terdepan sebagai panglima. Namun pendapat penulis tersebut memang bertabrakan dengan semangat saat dibentuk nya Komisi Yudisial sesuai yang termuat dalam pasal 24 B ayat (1) yang dimaksutkan sebagai implementasi sistem pengelolaan pengadilan satu atap (One Roof System) yang dimaksutkan untuk lebih menjamin kemerdekaan kekuasaan Kehakiman dan kebebasan hakim sebagai mahkota kekuasaan kehakiman vide pasal 24 UUD 1945.
Untuk itu Penulis juga meminta pendapat dari Guru Besar Senior Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara dari Universitas Padjajaran Bandung yakni Prof Dr I Gde Pantja Astawa.
Sejak kekuasaan kehakiman berada dalam one roof system (semua lingkungan peradilan, baik secara organisatoris dan administratif, maupun financial berada di bawah SATU ATAP) yang berpuncak pada Mahkamah Agung), maka siapapun yang duduk pada jabatan (administratif) sebagai Dirjen ataupun Sekretaris, tentu SDMnya berasal dari dalam, internal MA. Dengan ungkapan lain, tidak bisa direkrut dari luar lingkungan kekuasaan kehakiman. Misalnya direkrut dari eksekutif. Padahal yang namanya jabatan administrasi, tentu saja logikanya diisi oleh Administrasi Negara (in casu Pejabat Pemerintah) karena tugas utamanya memang menangani ataupun mengurusi hal-hal yang bersifat administratif, sama sekali tidak mencampuri urusan fungsional kekuasaan kehakiman. Namun karena pengalaman Orde Baru dulu kekuasaan kehakiman secara organisatoris, administratif, dan finansial berada di bawah (dulu) Departemen Kehakiman yang sering disinyalir mengintervensi kekuasaan kehakiman (khususnya para hakim dari tingkat pertama sampai hakim agung), maka pasca reformasi dibangun one roof system sampai kini.
Masalahnya kini, kalau jabatan – jabatan administratif yang ada di MA diambil dari SDM yang ada internal MA, apakah akan direkrut dari pegawai atau dari hakim-hakim yang ada? Bagi saya, siapapun yang akan direkrut untuk mengisi jabatan dirjen atau sekretaris, kembali pada petinggi di MA, apakah mereka bisa menahan diri untuk mengintervensi? Begitu juga apakah yang duduk di jabatan dirjen atau sekretaris imun atas kepentingan kekuasaan (berupa uang, wanita, atau ingin bertahan lama memegang jabatan (a quo), tentu kembali pada pertaruhan integritas manusia yg memangku jabatan a quo.
Menyangkut soal kewenangan Komisi Yudisial dan carut marutnya dunia peradilan di negeri ini, Prof Gde Pantja memberikan masukan: Pertama, mengembalikan kedudukan hakim yang secara administratif dan keuangan berada di bawah Kemenkum (dulu Departemen Kehakiman) justru berlawanan dengan Sistem Pengelolaan Pengadilan Satu Atap (One Roof System). Sistem satu atap didasarkan pada pemikiran untuk lebih menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim (sebagai mahkota dari kekuasaan kehakiman – vide Psl. 24 UUD 1945). Keikutsertaan pemerintah mengelola organisasi, administrasi, dan finansial kekuasaan kehakiman, dipandang dapat secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim. Selain untuk lebih menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim, Sistem Satu Atap (One Roof System) juga penting ditinjau dari sistem administrasi pengelolaan. Dengan Satu Atap, pengelolaan yang berada “di satu tangan” dapat lebih efisien dan produktif.
Kedua, Dasar pemikiran diaturnya Komisi Yudisial dalam Pasal 24 B (Amandemen III) UUD 1945 bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai organ penunjang (state auxiliary organ) di lingkungan cabang kekuasaan yudisial, dimaksudkan membantu MA (yang waktu itu dinilai overload dengan banyaknya tunggakan perkara) melakukan pengawasan secara ekternal dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Jadi lebih pada tataran etik dan sejak awal pengaturan dan pembentukannya, KY memang tidak dibekali wewenang polisional: menindak dan menghukum hakim-hakim yang diawasinya (Hakim Agung tidak termasuk yg diawasi oleh KY). Jadilah kemudian KY seperti bebek lumpuh yang tidak punya taring dalam penindakan yang rekomendasinya hanya dijadikan bahan kajian tanpa ada tindakan.
—————————-
Penulis adalah praktisi hukum, pemerhati masalah sosial budaya, hukum, dan sejarah bangsanya





