Oleh Agus Widjajanto
Dalam sejarah perjuangan bersenjata, melalui perjuangan fisik dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, baik pada saat terbentuknya sebuah negara kesatuan pada saat taggal 18 Agustus, maupun pra kemerdekaan hingga menjelang merdekanya sebuah bangsa pada saat proklamasi kemerdekaan bangsa pada saat tanggl 17 Agustus 1945, hingga agresi Belanda pertama pada 21 juli tahun 1947 hingga agresi Belanda kedua pada Desember tahun 1948, dipenuhi peristiwa-peristiwa yang kadang luput dari sejarah bangsa.
Banyak sukarelawan dan pejuang yang mendukung cita-cita Indonesia merdeka, bukan hanya orang dan atau penduduk pribumi Asli Indonesia saja, akan tetapi banyak sekali para pahlawan pahlawan Kusuma Bangsa yang bukan orang Indonesia, seperti pada pertempuran 10 Nopember 1945 yang dikenal sebagai hari pahlawan banyak tentara Inggris yang berasal dari Nepal, India, membantu berjuang turut serta mempertahankan kemerdekaan, bahkan ada beberapa tokoh perempuan-perempuan luar biasa yang berjasa bagi cikal bakal berdirinya Palang Merah Indonesia yang merupakan orang berkebangsaan Belanda itu sendiri.
Berikut beberapa tokoh berkebangsaan Belanda yang membantu kemerdekaan Indonesia:
– Ernest Eugene Francois Douwes Dekker (Dr. Danudirja Setiabudi): Salah satu pendiri Indische Partij, organisasi pergerakan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia dikenal karena semangat nasionalismenya dan kritiknya terhadap pemerintah kolonial Belanda.
– Henk Sneevliet: Pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), organisasi yang berhaluan marxisme dan memperjuangkan hak-hak buruh di Indonesia. ISDV kemudian berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
– Van der Plas: Meskipun tidak banyak informasi tentang kontribusi spesifik Van der Plas dalam konteks kemerdekaan Indonesia, terdapat beberapa tokoh Belanda dengan nama tersebut yang memiliki peran dalam sejarah Indonesia.
Selain itu, beberapa organisasi yang didirikan oleh orang Belanda juga berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, seperti:
– Indische Vereeniging: Didirikan di Leiden, Belanda, organisasi ini awalnya bertujuan untuk mewadahi para mahasiswa Indonesia di Belanda, tetapi kemudian berkembang menjadi Perhimpunan Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Perlu diingat bahwa peran dan kontribusi tokoh-tokoh Belanda dalam kemerdekaan Indonesia dapat berbeda-beda, dan beberapa mungkin memiliki motivasi yang kompleks dalam keterlibatan mereka.
Disamping itu ada kisah sangat inspiratif yang tertulis dalam literatur bagian dari cuplikan sejarah Bangsa, yakni kisah empat Perempuan Belanda yang Mengkhianati Bangsanya demi Indonesia.
* 6 Desember 1946
Dingin musim dingin Rotterdam menusuk tulang. Di pelabuhan, sebuah kapal bernama Weltevreden bersiap bertolak menuju Hindia Belanda sebuah negeri yang baru saja berani memproklamasikan kemerdekaan, meski kekuatan kolonial Belanda belum rela melepaskan cengkeramannya.
Di antara kerumunan serdadu berseragam KNIL dan awak kapal, berdiri empat perempuan kulit putih: Dolly Zegerius, serta tiga bersaudara Betsy, Annie, dan Miny Kobus. Mereka bukan hendak pergi menaklukkan negeri jajahan, melainkan sebaliknya memihak republik muda yang sedang berdarah mempertahankan kemerdekaan. Di mata Belanda, mereka adalah pengkhianat. Tapi di hati Indonesia, merekalah pejuang.

* Perempuan Kulit Putih di Kapal Pembawa Tentara
Kapal itu seolah gambaran dunia yang terpecah dua. Satu sisi, para tentara Belanda yang hendak ‘menertibkan’ republik yang dianggap membangkang. Di sisi lain, sekelompok kecil orang Belanda yang justru mendukung Indonesia dan mereka tahu risikonya: kehilangan kewarganegaraan, diasingkan, bahkan dicap pengkhianat.
“Orang tua saya menangis saat mengantar. Bukan karena saya membela Indonesia, tapi karena saya pergi jauh,” kenang Dolly puluhan tahun kemudian.
* Cinta, Keroncong, dan Perlawanan di Amsterdam
Semua berawal dari perkenalan keluarga Kobus, keluarga sosialis di Amsterdam yang sejak lama menentang penjajahan. Rumah mereka jadi tempat singgah para pelaut Indonesia yang bekerja di kapal Belanda. Dari situ, ketiga bersaudara Kobus jatuh hati pada pria-pria Nusantara. Pada 9 Mei 1946, mereka menggelar nikah massal di Belanda: Betsy dengan Djumiran, Annie dengan Djabir, Miny dengan Amarie. Dan sejak saat itu, pilihan mereka jelas: Indonesia adalah tanah air mereka.

* Tiba di Indonesia, Disambut Garis Demarkasi
Tanggal 1 Januari 1947, kapal mereka merapat di Tanjung Priok. Jakarta masih dalam cengkeraman Belanda. Mereka dijemput kereta menuju Yogyakarta ibu kota republik saat itu. Di sepanjang perjalanan, ketiga Kobus muda berkali-kali menjulurkan kepala ke luar jendela kereta, berteriak: “Merdeka! Merdeka!”. Di Stasiun Kranji, seorang serdadu KNIL memandang mereka heran. “Kalian ke sana?” tanyanya sambil membuat gerakan lingkaran di pelipis. Di mata tentara Belanda itu, mereka gila empat perempuan kulit putih yang membelot ke pihak republik.

* Bertemu Soekarno, Diserahkan untuk Indonesia
Sesampainya di Yogyakarta, mereka diundang bertemu Presiden Soekarno. Sang ibu, Mien Kobus, menyerahkan ketiga anak perempuannya kepada Bung Karno. “Ketiga anak saya ini satu-satunya harta milik saya,” kata Mien. Soekarno menepuk bahunya, “Jangan khawatir, Ibu. Kami akan menjaga mereka.”
* Ketika Peluru dan Ledakan Menjadi Kehidupan Sehari-hari
Saat Agresi Militer Belanda pertama meletus pada 21 Juli 1947, mereka tak punya waktu untuk takut. Annie dan Miny bergabung dengan Palang Merah Indonesia di Jember, membantu ribuan pengungsi Surabaya. Dolly menetap di Solo, menjadi istri bangsawan Mangkunegaran, Raden Mas Soetarjo Soerjosoemarno.
Ledakan mortir dan tembakan jadi suara sehari-hari. Hingga suatu pagi di Malang, tiga serdadu KNIL datang menenteng senapan ke depan pintu. “Apa kalian tak bisa dapat lelaki Belanda sampai harus menikah dengan orang Indonesia?” ejek mereka. Dolly, Annie, dan Miny berdiri tegak. Mereka tahu, keberpihakan mereka tak bisa dibatalkan.
* Harga Pengkhianatan dan Setia Sampai Akhir
Betsy sempat ditangkap di Jember, disangka mata-mata. Dua hari diinterogasi sebelum akhirnya dibebaskan. Surat-surat dari keluarga di Amsterdam tak lagi datang. Beberapa kerabat menyebut mereka “verrader” (pengkhianat). Namun, mereka tetap tinggal. Membantu di kamp pengungsian, merawat korban perang, menjadi saksi detik-detik berdarah revolusi Indonesia.
* Tanah Air Baru di Bawah Merah Putih
Setelah Indonesia merdeka penuh di akhir 1949, keempat perempuan itu tak pernah kembali ke Belanda. Dolly menetap di Solo, aktif dalam sosial budaya. Annie dan Miny tetap di Palang Merah Indonesia. Betsy hidup di Banyuwangi bersama suaminya. Meski pernah dipandang aneh sebagai kulit putih di tengah republik muda, mereka tak pernah menyesali keputusan yang mereka buat di atas kapal Weltevreden. “Indonesia tanah air kami. Di sini kami lahir kembali,” kata Dolly di usia senja.
Kisah diatas merupakan butir-butir mutiara perjuangan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yang mana para generasi milenial harus bisa belajar dari sejarah bangsanya, bahwa banyak darah, air mata, dan keringat dari berbagai bangsa yang melebur turut serta dalam andil mempertahankan kemerdekaan negara ini. Maka isilah kemerdekaan ini yang telah dicapai dengan nyawa, darah, dan airmata para pejuang kusuma bangsa , dengan pengabdian dan karya terbaik demi bangsamu, apapun profesimu . MERDEKA.
——————————
Penulis adalah praktisi hukum, pemerhati sosial budaya dan sejarah bangsanya. Tinggal di Jakarta.
Sumber Bacaan:
– Janssen, Hilde. Enkele Reis Indonesië (Marjin Kiri, 2017)
– Wawancara BBC Indonesia dengan Dolly Zegerius, 2016
– Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)
– Sejarah Palang Merah Indonesia