• Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Rabu, November 5, 2025
  • Login
No Result
View All Result
Beranda Negeri
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
No Result
View All Result
Beranda Negeri
No Result
View All Result
Home OPINI

Mindful Scrolling: Detox Digital dalam Bingkai Slow Living

by Redaksi
November 5, 2025
in OPINI
0
Kompas Moral di Pusaran Geothermal Flobamora
0
SHARES
92
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

 

Oleh Dr. Don Bosco Doho, Dosen Etika dan Filsafat Komunikasi, LSPR Institute of Communication and Business, JakartaD

 

Di tengah derasnya arus informasi digital, kebiasaan scrolling media sosial telah menjadi ritual harian—bahkan sebelum mata benar-benar terbuka di pagi hari. Namun, semakin sering kita menggulir layar, semakin jarang kita merasa benar-benar “hadir”. Yang muncul justru kelelahan mental, perasaan hampa, dan rasa iri yang tak berujung akibat membandingkan hidup dengan tampilan sempurna orang lain. Di sinilah mindful scrolling hadir: bukan sebagai larangan, melainkan sebagai praktik kesadaran penuh dalam mengonsumsi konten digital, yang selaras dengan semangat slow living.

 

Pengantar: Ketika Scroll Jadi Kebiasaan, Bukan Pilihan

Istilah mindful scrolling mengacu pada cara mengonsumsi media sosial dengan kesadaran, niat, dan batasan—bukan secara otomatis atau reaktif. Ini adalah bentuk digital detox yang realistis di era hiperkoneksi, di mana total menghindari teknologi bukanlah solusi praktis bagi kebanyakan orang.

Menurut laporan Digital 2024 oleh DataReportal, rata-rata orang Indonesia menghabiskan 8 jam 37 menit per hari di internet—dengan lebih dari 3 jam di antaranya dihabiskan di media sosial. Waktu sebanyak itu, jika tidak dikelola dengan kesadaran, dapat menggerus kapasitas perhatian, mengganggu tidur, dan melemahkan koneksi sosial nyata.

Slow living, yang menekankan hidup dengan sengaja (intentional living), menjadi kerangka ideal untuk mengembalikan kendali atas kebiasaan digital kita. Seperti ditulis Carl Honoré dalam In Praise of Slowness (2004), “Kita tidak kekurangan waktu—kita kekurangan kehadiran.” Mindful scrolling adalah salah satu cara merebut kembali kehadiran itu.

 

Dari Mindfulness ke Etika Digital

Konsep mindful scrolling berakar pada dua aliran pemikiran utama yaitu mindfulness (kesadaran penuh). Berasal dari tradisi meditasi Buddhis, mindfulness didefinisikan oleh Jon Kabat-Zinn sebagai “perhatian yang disengaja terhadap pengalaman saat ini, tanpa penilaian.” Dalam konteks digital, ini berarti menyadari mengapa kita membuka aplikasi, apa yang kita rasakan selama menggulir, dan kapan harus berhenti.  Kedua adalah slow living dan etika konsumsi digital. Slow living bukan hanya tentang makan perlahan atau bekerja lebih tenang—ia juga menolak konsumsi pasif. Brooke McAlary, penulis Slow: Simple Living for a Frantic World (2018), menekankan bahwa hidup sengaja berarti “melakukan apa yang benar-benar penting, bukan sekadar mengisi waktu.”

Ketika digabungkan, kedua pendekatan ini menghasilkan etika digital yang berpusat pada manusia: teknologi sebagai alat, bukan tuan; konten sebagai sumber inspirasi, bukan sumber kecemasan.

Penelitian dari Journal of Experimental Psychology (Mark et al., 2022) menunjukkan bahwa individu yang mempraktikkan digital mindfulness—termasuk mindful scrolling—mengalami penurunan stres sebesar 37% dan peningkatan fokus sebesar 28% dalam 4 minggu.

Bagaimana Melakukan Mindful Scrolling?

Berikut langkah-langkah praktis untuk mengintegrasikan mindful scrolling ke dalam kehidupan sehari-hari:

  1. Menetapkan niat sebelum membuka aplikasi. Sebelum membuka Instagram atau TikTok, tanyakan pada diri sendiri: “apa tujuan saya membuka ini?” dan “apakah saya mencari hiburan, informasi, atau sekadar menghindari sesuatu?”. Jika jawabannya “tidak tahu” atau “hanya bosan,” tunda dulu. Ganti dengan aktivitas analog selama 5 menit (minum air, tarik napas, lihat jendela).
  2. Membatasi waktu dengan kesadaran, bukan hanya timer. Alih-alih hanya mengandalkan screen time tracker, latih kesadaran internal. Misalnya: “Saya akan scroll selama 10 menit—dan saya akan benar-benar merasakan setiap konten yang saya lihat.” Jika menimbulkan rasa cemas, iri, atau kosong selama scroll, hentikan—meski waktu belum habis.
  3. Kuratori feed Secara Etis. Unfollow akun yang memicu perasaan tidak cukup (not enough); yang menyebarkan hoaks atau konten negatif dan yang tidak selaras dengan nilai hidup kita. Sebaliknya, ikuti akun yang menginspirasi tanpa memicu kompetisi; menyajikan konten edukatif atau estetika yang menenangkan dan mendorong refleksi, bukan reaksi emosional instan
  4. Praktikkan “Scrolling Tanpa Like”. Cobalah satu hari dalam seminggu untuk hanya mengamati, tanpa menyukai, berkomentar, atau membagikan. Ini melatih otak untuk mengonsumsi tanpa terlibat emosional, mengurangi ketergantungan pada validasi eksternal.
  5. Ciptakan ritual transisi digital. Setelah scrolling, luangkan 1–2 menit untuk menutup mata dan bernapas; menulis satu hal yang dipelajari atau rasakan serta mengucapkan terima kasih pada diri sendiri karena telah memilih kesadaran. Ritual ini membantu otak “keluar” dari mode konsumsi digital dan kembali ke tubuh.

 

Best Practice: Contoh Nyata dan Strategi Berkelanjutan

Beberapa individu dan komunitas telah berhasil menerapkan mindful scrolling sebagai bagian dari gaya hidup slow living:

  1. Komunitas “Slow Social Media” di Eropa mendorong penggunaan platform berbasis teks (seperti newsletter atau forum) alih-alih video pendek, untuk memperlambat kecepatan konsumsi informasi.
  2. Seorang content creator di Bandung memilih hanya memposting 2–3 kali seminggu, dengan narasi reflektif—dan menghapus fitur komentar untuk mengurangi tekanan performa.
  3. Perusahaan rintisan di Yogyakarta menerapkan “Digital Sunset” di kantor: semua notifikasi dimatikan setelah pukul 18.00, termasuk media sosial pribadi selama jam kerja.

Strategi berkelanjutan meliputi mingguan dengan  meninjau ulang akun yang diikuti setiap Minggu malam. Level bulanan dengan melakukan “digital fast” selama 24 jam—tanpa media sosial sama sekali. Sementara untuk tahunan dapat dibuat refleksi: “apakah media sosial tahun ini membuat kita lebih bijak, tenang, atau terhubung?”

 

Penutup: Scroll dengan Hati, Bukan dengan Otomatisasi

Slow living bukan tentang menolak dunia modern—melainkan memilih bagaimana kita terlibat dengannya. Mindful scrolling adalah bentuk pemberontakan halus terhadap algoritma yang dirancang untuk membuat kita kecanduan. Ia mengembalikan kekuatan pada kita: bukan untuk berhenti menggunakan media sosial, tapi untuk menggunakannya dengan martabat, kesadaran, dan makna.

Seperti kata filsuf Seneca, “Bukan karena kita memiliki waktu yang singkat, tetapi karena kita menyia-nyiakannya.” Setiap kali kita memilih untuk scroll dengan penuh perhatian, kita tidak hanya menghemat waktu—kita menghormati hidup itu sendiri.

______________________

 

Referensi

  • Honoré, C. (2004). In Praise of Slowness: Challenging the Cult of Speed. HarperCollins.
  • McAlary, B. (2018). Slow: Simple Living for a Frantic World. Pan Macmillan.
  • Kabat-Zinn, J. (1994). Wherever You Go, There You Are: Mindfulness Meditation in Everyday Life. Hyperion.
  • Mark, G., et al. (2022). “Mindful Technology Use and Attentional Control.” Journal of Experimental Psychology: Applied, 28(3), 321–335.
  • DataReportal. (2024). Digital 2024: Indonesia. https://datareportal.com/reports/digital-2024-indonesia
  • Harvard Medical School. (2021). Mindfulness and Digital Wellbeing.
  • Twenge, J. M. (2017). iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy. Atria Books.

 

ShareTweetSend

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recommended

Kuda dalam Tanda Mata Stephie

Kuda dalam Tanda Mata Stephie

6 tahun ago
Buah Pertobatan dari Penjara

Buah Pertobatan dari Penjara

6 tahun ago

Popular News

    Newsletter

    Beranda Negeri

    Anda bisa berlangganan Artikel Kami di sini.
    SUBSCRIBE

    Category

    • BERITA
    • BIOGRAFI
    • BUMI MANUSIA
    • Featured
    • JADWAL
    • JELAJAH
    • KOLOM KHUSUS
    • LENSA
    • OPINI
    • PAPALELE ONLINE
    • PUISI
    • PUSTAKA
    • SASTRA
    • TEROPONG
    • UMUM

    Site Links

    • Masuk
    • Feed entri
    • Feed komentar
    • WordPress.org

    About Us

    Beranda sebagai suatu tempat para penghuni rumah untuk duduk melepas lelah, bercerita dengan anggota keluarga ataupun tamu dan saudara. Karena itu pula media Baranda Negeri merupakan tempat bercerita kita dan siapa saja yang berkesempatan berkunjung ke website ini.

    • Redaksi & Kontak
    • Tentang Kami
    • Privacy Policy

    © 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

    No Result
    View All Result
    • HOME
    • BERITA
    • JELAJAH
    • BUMI MANUSIA
    • BIOGRAFI
    • OPINI
    • KOLOM
    • SASTRA
    • Lainnya
      • TEROPONG
      • PUSTAKA
      • PAPALELE ONLINE
      • LENSA
      • JADWAL

    © 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

    Welcome Back!

    Login to your account below

    Forgotten Password?

    Retrieve your password

    Please enter your username or email address to reset your password.

    Log In