Oleh Dr. Don Bosco Doho, Dosen Etika dan Filsafat Komunikasi, LSPR Institute of Communication and Business, JakartaD
Di tengah derasnya arus informasi digital, kebiasaan scrolling media sosial telah menjadi ritual harian—bahkan sebelum mata benar-benar terbuka di pagi hari. Namun, semakin sering kita menggulir layar, semakin jarang kita merasa benar-benar “hadir”. Yang muncul justru kelelahan mental, perasaan hampa, dan rasa iri yang tak berujung akibat membandingkan hidup dengan tampilan sempurna orang lain. Di sinilah mindful scrolling hadir: bukan sebagai larangan, melainkan sebagai praktik kesadaran penuh dalam mengonsumsi konten digital, yang selaras dengan semangat slow living.
Pengantar: Ketika Scroll Jadi Kebiasaan, Bukan Pilihan
Istilah mindful scrolling mengacu pada cara mengonsumsi media sosial dengan kesadaran, niat, dan batasan—bukan secara otomatis atau reaktif. Ini adalah bentuk digital detox yang realistis di era hiperkoneksi, di mana total menghindari teknologi bukanlah solusi praktis bagi kebanyakan orang.
Menurut laporan Digital 2024 oleh DataReportal, rata-rata orang Indonesia menghabiskan 8 jam 37 menit per hari di internet—dengan lebih dari 3 jam di antaranya dihabiskan di media sosial. Waktu sebanyak itu, jika tidak dikelola dengan kesadaran, dapat menggerus kapasitas perhatian, mengganggu tidur, dan melemahkan koneksi sosial nyata.
Slow living, yang menekankan hidup dengan sengaja (intentional living), menjadi kerangka ideal untuk mengembalikan kendali atas kebiasaan digital kita. Seperti ditulis Carl Honoré dalam In Praise of Slowness (2004), “Kita tidak kekurangan waktu—kita kekurangan kehadiran.” Mindful scrolling adalah salah satu cara merebut kembali kehadiran itu.
Dari Mindfulness ke Etika Digital
Konsep mindful scrolling berakar pada dua aliran pemikiran utama yaitu mindfulness (kesadaran penuh). Berasal dari tradisi meditasi Buddhis, mindfulness didefinisikan oleh Jon Kabat-Zinn sebagai “perhatian yang disengaja terhadap pengalaman saat ini, tanpa penilaian.” Dalam konteks digital, ini berarti menyadari mengapa kita membuka aplikasi, apa yang kita rasakan selama menggulir, dan kapan harus berhenti. Kedua adalah slow living dan etika konsumsi digital. Slow living bukan hanya tentang makan perlahan atau bekerja lebih tenang—ia juga menolak konsumsi pasif. Brooke McAlary, penulis Slow: Simple Living for a Frantic World (2018), menekankan bahwa hidup sengaja berarti “melakukan apa yang benar-benar penting, bukan sekadar mengisi waktu.”
Ketika digabungkan, kedua pendekatan ini menghasilkan etika digital yang berpusat pada manusia: teknologi sebagai alat, bukan tuan; konten sebagai sumber inspirasi, bukan sumber kecemasan.
Penelitian dari Journal of Experimental Psychology (Mark et al., 2022) menunjukkan bahwa individu yang mempraktikkan digital mindfulness—termasuk mindful scrolling—mengalami penurunan stres sebesar 37% dan peningkatan fokus sebesar 28% dalam 4 minggu.
Bagaimana Melakukan Mindful Scrolling?
Berikut langkah-langkah praktis untuk mengintegrasikan mindful scrolling ke dalam kehidupan sehari-hari:
- Menetapkan niat sebelum membuka aplikasi. Sebelum membuka Instagram atau TikTok, tanyakan pada diri sendiri: “apa tujuan saya membuka ini?” dan “apakah saya mencari hiburan, informasi, atau sekadar menghindari sesuatu?”. Jika jawabannya “tidak tahu” atau “hanya bosan,” tunda dulu. Ganti dengan aktivitas analog selama 5 menit (minum air, tarik napas, lihat jendela).
- Membatasi waktu dengan kesadaran, bukan hanya timer. Alih-alih hanya mengandalkan screen time tracker, latih kesadaran internal. Misalnya: “Saya akan scroll selama 10 menit—dan saya akan benar-benar merasakan setiap konten yang saya lihat.” Jika menimbulkan rasa cemas, iri, atau kosong selama scroll, hentikan—meski waktu belum habis.
- Kuratori feed Secara Etis. Unfollow akun yang memicu perasaan tidak cukup (not enough); yang menyebarkan hoaks atau konten negatif dan yang tidak selaras dengan nilai hidup kita. Sebaliknya, ikuti akun yang menginspirasi tanpa memicu kompetisi; menyajikan konten edukatif atau estetika yang menenangkan dan mendorong refleksi, bukan reaksi emosional instan
- Praktikkan “Scrolling Tanpa Like”. Cobalah satu hari dalam seminggu untuk hanya mengamati, tanpa menyukai, berkomentar, atau membagikan. Ini melatih otak untuk mengonsumsi tanpa terlibat emosional, mengurangi ketergantungan pada validasi eksternal.
- Ciptakan ritual transisi digital. Setelah scrolling, luangkan 1–2 menit untuk menutup mata dan bernapas; menulis satu hal yang dipelajari atau rasakan serta mengucapkan terima kasih pada diri sendiri karena telah memilih kesadaran. Ritual ini membantu otak “keluar” dari mode konsumsi digital dan kembali ke tubuh.
Best Practice: Contoh Nyata dan Strategi Berkelanjutan
Beberapa individu dan komunitas telah berhasil menerapkan mindful scrolling sebagai bagian dari gaya hidup slow living:
- Komunitas “Slow Social Media” di Eropa mendorong penggunaan platform berbasis teks (seperti newsletter atau forum) alih-alih video pendek, untuk memperlambat kecepatan konsumsi informasi.
- Seorang content creator di Bandung memilih hanya memposting 2–3 kali seminggu, dengan narasi reflektif—dan menghapus fitur komentar untuk mengurangi tekanan performa.
- Perusahaan rintisan di Yogyakarta menerapkan “Digital Sunset” di kantor: semua notifikasi dimatikan setelah pukul 18.00, termasuk media sosial pribadi selama jam kerja.
Strategi berkelanjutan meliputi mingguan dengan meninjau ulang akun yang diikuti setiap Minggu malam. Level bulanan dengan melakukan “digital fast” selama 24 jam—tanpa media sosial sama sekali. Sementara untuk tahunan dapat dibuat refleksi: “apakah media sosial tahun ini membuat kita lebih bijak, tenang, atau terhubung?”
Penutup: Scroll dengan Hati, Bukan dengan Otomatisasi
Slow living bukan tentang menolak dunia modern—melainkan memilih bagaimana kita terlibat dengannya. Mindful scrolling adalah bentuk pemberontakan halus terhadap algoritma yang dirancang untuk membuat kita kecanduan. Ia mengembalikan kekuatan pada kita: bukan untuk berhenti menggunakan media sosial, tapi untuk menggunakannya dengan martabat, kesadaran, dan makna.
Seperti kata filsuf Seneca, “Bukan karena kita memiliki waktu yang singkat, tetapi karena kita menyia-nyiakannya.” Setiap kali kita memilih untuk scroll dengan penuh perhatian, kita tidak hanya menghemat waktu—kita menghormati hidup itu sendiri.
______________________
Referensi
- Honoré, C. (2004). In Praise of Slowness: Challenging the Cult of Speed. HarperCollins.
- McAlary, B. (2018). Slow: Simple Living for a Frantic World. Pan Macmillan.
- Kabat-Zinn, J. (1994). Wherever You Go, There You Are: Mindfulness Meditation in Everyday Life. Hyperion.
- Mark, G., et al. (2022). “Mindful Technology Use and Attentional Control.” Journal of Experimental Psychology: Applied, 28(3), 321–335.
- DataReportal. (2024). Digital 2024: Indonesia. https://datareportal.com/reports/digital-2024-indonesia
- Harvard Medical School. (2021). Mindfulness and Digital Wellbeing.
- Twenge, J. M. (2017). iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy. Atria Books.


