
Oleh Prof. Dr. F.X. Armada Riyanto CM
Jika kita mendengarkan Sabda Tuhan dan menyimaknya termasuk di dalamnya Mazmur tanggapan maupun bait pengantar Injil sejak Natal dan hari hari ini, kata kuncinya selalu ada dalam bentuk “imperatif” atau perintah. Contohnya, “Datanglah …”, “Lihatlah …”, “Bangunlah …”, “Pergilah …”, “Bersukacitalah …”, “Bersembahsujudlah …”, dan seterusnya. Atau, kalimat yang umum diungkapkan juga berupa ajakan, seperti “Mari kita pergi ke kota Daud …”, “Marilah bergembira …”, “Marilah menyembah …”, dan seterusnya. Ungkapan selanjutnya juga berupa ajakan “Jangan takut, pergilah, bersukacitalah …”, dan seterusnya.
Lagu-lagu Natal yang membahana juga ada di sekitar kata kata kunci itu. Syahdu. Penuh semangat. Penuh sukacita. Tak terkira.
Kalimat-kalimat Sabda Allah ini menandakan dua hal sekurang-kurangnya. Yaitu: Pertama (1) Kita diajak untuk berubah, beranjak, bergeser dari hidup lama ke hidup baru. Dalam kata “Pergilah” jelas kita diminta untuk tidak tetap ada di situasi yang sama, kita diminta beranjak pergi ke Betlehem. Dalam ungkapan “Bersukacitalah” hati kita diminta untuk terbuka agar Tuhan dapat masuk; agar Dia mengubah hati kita. Dalam kata, “Mari bersujud menyembah” kita diajak untuk tidak beku di dalam diri sendiri, mengagumi diri, dan memandang diri sendiri sudah selesai. Tidak. Mata hati kita diminta untuk terarah kepada Tuhan yang menjelma menjadi manusia dan tinggal bersama kita. “Mari kita pergi ke Bethlehem …” adalah ajakan nyata bahwa kandang “Betlehem” adalah ukuran dan kriteria kemanusiaan yang sesungguhnya, yaitu kemiskinan yang dimasuki oleh Allah, penderitaan dan kesendirian yang juga dialami oleh Allah. Seperti kata filosof Derrida, nama “kota/desa” bukanlah nama melainkan makna. Jadi, bila kita diajak untuk pergi ke Bethlehem, kita diajak untuk memaknai hidup secara baru, seperti Allah (seakan akan begitu) yang memaknai Keallahan-Nya tidak di langit di atas sana, melainkan turun ke dunia di dalam kesederhanaan dan kemiskinan hidup manusia.
Tanda yang kedua (2), merayakan Natal itu sebuah optimisme manusia. Disebut “optimis”, karena manusia diminta untuk “memandangi Allah” yang kali ini dalam hari hari ini menjadi mungkin karena Ia hadir di Bethlehem. Tidak di istana raja, melainkan di kandang hina (sebagian memaknainya di gua sederhana yang dingin). “Betlehem” hidup kita tidak gelap lagi, sebab Sang Terang sejati telah lahir dan tinggal bersama kita. Hari ini dan selanjutnya. Betlehem bukan tanda kemenangan, melainkan tanda terbitnya kehidupan baru.
Apa tanda utama dari bersikap “optimis”? Pergi ke Betlehem! Betlehem zaman itu, dua ribu dua puluh lima tahun yang silam, adalah desa kecil, sederhana, miskin. Maka, kalau hari ini kita diajak pergi ke Betlehem, kita diminta pergi ke tempat tempat yang sunyi, dingin, di mana kemiskinan dan penderitaan menjadi yang dipilih oleh Tuhan sendiri. Di mana itu? Di mana ada saudara saudari kita yang membutuhkan bantuan karena dirundung kemalangan dan bencana Allah ulah kesombongan dosa para Herodes dan punggawanya. Di sana lah Bethlehem saat ini.
“Optimisme” itu selalu dirupakan dengan perbuatan, bukan kata kata motivasi belaka. Bukan urusan hati atau perasaan, melainkan tekad tekad bareng untuk pergi menjumpai saudara saudari kita yang sendirian.
“Optimisme” selalu berlanjut kepada perubahan cara hidup lama ke baru. Optimisme selalu membuat orang tidak pernah selesai, tak tuntas, dan tidak tetap sama saja dalam pilihan pilihan lama, cara bicara lama, cara berpikir lama.
Indonesia lama adalah Indonesia yang tidak berani beranjak dari keterjajahan oleh mentalitas lama. Indonesia lama membabat hutan sendiri untuk beberapa rupiah saja. Indonesia lama bangga dengan kepalsuan rezim lama, sebelumnya, dan sekarang ini. Indonesia lama membanggakan kekacauan korupsi sebagai strategi rasional untuk meneguk keuntungan diri sendiri dan kelompok. Indonesia lama membutakan diri sendiri saat ditawari proyek, lahan tambang dan kekayaan alam … Tanpa berani melek bahwa setiap pengerukannya menyingkirkan sesamanya dalam cara yang sangat kejam, sekejam banjir bandang yang menenggelamkan sesama kita. Kala mata dibutakan oleh nafsu serakah, akal budi tidak berani lagi mengkritik kebijakan yang tidak manusiawi.
Optimisme kita adalah, sesudah ini, semoga terbit Indonesia baru. Indonesia baru adalah Indonesia yang memandang hutan, alam sebagai sahabat yang harus dipelihara. Indonesia baru memikirkan generasi masa depan. Indonesia baru terbuka akan kritik, mengelola kritik, mendengarkannya, dan serius mempelajari perbaikan dan kemajuannya. Indonesia baru adalah Indonesia yang mengelola harta keindahan alam sendiri dan membela kekokohan Akal Budi yang terus mencari kebenaran kebenaran baru tentang hidup bersama ini.
Selamat jelang Tahun Baru 2026, kawan. Mari optimis. Selalu optimis.




