• Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Rabu, September 17, 2025
  • Login
No Result
View All Result
Beranda Negeri
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
No Result
View All Result
Beranda Negeri
No Result
View All Result
Home BERITA

Pemindahan Ibukota, Pergeseran Budaya Politik Pasca Jawa

by Redaksi
September 20, 2019
in BERITA
0
Pemindahan Ibukota, Pergeseran Budaya Politik Pasca Jawa

Diskusi yang bertajuk “ Indonesia Pasca Jawa di Bawah Jokowi, yang diselenggarakan Surapati Sindicate di Jakarta 19 September 2019

0
SHARES
1
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

Keputusan Presiden Jokowi untuk memindahkan Ibukota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur semakin memperkuat pergeseran konsepsi bernegara dari cara pandang dan budaya politik yang sebelumnya Jawa sentris menjadi Indonesia sentris.

Sejak menjadi presiden pada Pilres 2014, Jokowi telah memberikan arti baru atas perkembangan politik di Indonesia. Jokowi tidak lagi menggunakan perpektif Jawa dalam menjalankan kekuasaannya, namun melihat Jawa dari sudut Indonesia. Dari prilaku kekuasaan yang begitu dekat dengan rakyat kebanyakan, juga menjadi salah hal yang menunjukkan bahwa Jokowi membebaskan dirinya dari konsepsi kekuasaan politik Jawa.

Dalam diskusi yang bertajuk “Indonesia Pasca Jawa di Bawah Jokowi”, yang diselenggarakan Surapati Sindicate di Jakarta 19 September 2019, terungkap berbagai pandangan dari sejumlah peneliti dan pengamat sosial-budaya tentang arti penting perubahan  konsepsi kekuasaan Jawa yang telah mempengaruhi jalannya pemerintahan sejak proklamasi 17 Agustus 1945.

Ada empat pembicara yang dihadirkan dalam diskusi ini, diantaranya peneliti Ekonomi-Politik Fachry Ali, cendikiawan dan mantan jurnalis Manuel Kaisiepo, akademisi UGM Aris Arif Mundayat dan Ketua Lakpesdam NU Asep Salahuddin. Moderator Nezar Patria dari The Jakarta Post.

Menurut Fachri Ali, konsepsi kekuasaan Jawa itu meliputi penempatan kalangan ariatokrat dalam kekuasaan,kekuasaan yang bersifat sakral, konkrit, terpusat, satu kesatuan dan konstan. 

“Dengan tingkah laku politik Jokowi yang tidak terikat pada tempat dan wilayah maka konsepi kekuasaan Jawa dengan sendirinya menghilang, kata Fachri.

Dijelaskan, keputusan Jokowi menempatkan ibukota Indonesia lebih ditentukan oleh pertimbangan teknis-ekonomis dan pemerataan kemakmuran daripada hal yang menyangkut mitos dalam konsep politik Jawa.

Manuel Kaisepo dalam paparannya, mengungkapkan bahwa kekuasaan yang terpusat menjadikan daerah hanya sebagai penghasil bahan mentah. Sementara seluruh produksi, berlangsung di Jawa. Hal ini menurutnya menimbulkan disparitas regional, dan ketidakpuasan daerah karena merasa tidak adil.

Manuel mencontohkan perkembangan politik Papua, lebih banyak diakibatkan politik sentralistik yang menyebabkan ketidakadilan.

Namun menurut Manuel, perhatian pada pergeseran konsepsi kekuasaan Jawa sentris ke Indonesia sentris, dari sentralisasi menuju desentralisasi tidàk bisa hanya dilihat pada Era Jokowi, tapi juga pada dua presiden terdahulu yakni Habibie dan Gus Dur.

” Era Habibie ditandai dengan menyebarnya pusat-pusat perubuhan ekonomi atau dikenal dengan kawasan pertumbuhan baru (Kapet) yang masif di luar Jawa.Era ini pun di tandai dengan pemberlakukan otonomi khusus Papua. Sementara Gus Dur mengembangkan perspektif yang lebih luas termasuk mengatasi persoalan Aceh dan Papua,” kata Manuel.

Asep Salahudin dan Aris Arif Mundayat menyambut baik semangat post Jawa yang tergambar dalam pikiran dan praksis politik Jokowi.

Menurut Salahudin, keindonesiaan secara kultural tetap diacukan pada kekayaan etnik, tapi penanda politik bukan lagi Jawa, Sunda, Batak dan seterusnya tapi Indonesia seperti impian para pemuda tahun 1928.

Arif Mundayat mengharapkan jabatan kedua Jokowi perlu memikirkan bagaimana memecah kolonialitas negara modern Indonesia dengan perpektif pasca Jawa. “Kita perlu duduk bersama secara politis dengan cara yang deliberatif untuk masa depan Indonesia yang lebih baik dan berkeadilan,”ujarnya.

Penulis : Benjamin Tukan

ShareTweetSend
Next Post
Inteligensia Indonesia

Inteligensia Indonesia

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recommended

Kemenparekraf Ajak Penyelenggara Event Siapkan Kegiatan Wisata Pasca-COVID-19

Kemenparekraf Ajak Penyelenggara Event Siapkan Kegiatan Wisata Pasca-COVID-19

5 tahun ago
Memahami Hati Papua

Memahami Hati Papua

6 tahun ago

Popular News

  • Membedah “Hidup Itu Anugerah” – Merawat Puisi

    Membedah “Hidup Itu Anugerah” – Merawat Puisi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Newsletter

Beranda Negeri

Anda bisa berlangganan Artikel Kami di sini.
SUBSCRIBE

Category

  • BERITA
  • BIOGRAFI
  • BUMI MANUSIA
  • Featured
  • JADWAL
  • JELAJAH
  • KOLOM KHUSUS
  • LENSA
  • OPINI
  • PAPALELE ONLINE
  • PUISI
  • PUSTAKA
  • SASTRA
  • TEROPONG
  • UMUM

Site Links

  • Masuk
  • Feed entri
  • Feed komentar
  • WordPress.org

About Us

Beranda sebagai suatu tempat para penghuni rumah untuk duduk melepas lelah, bercerita dengan anggota keluarga ataupun tamu dan saudara. Karena itu pula media Baranda Negeri merupakan tempat bercerita kita dan siapa saja yang berkesempatan berkunjung ke website ini.

  • Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy

© 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

No Result
View All Result
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL

© 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In