Keputusan Presiden Jokowi untuk memindahkan Ibukota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur semakin memperkuat pergeseran konsepsi bernegara dari cara pandang dan budaya politik yang sebelumnya Jawa sentris menjadi Indonesia sentris.
Sejak menjadi presiden pada Pilres 2014, Jokowi telah memberikan arti baru atas perkembangan politik di Indonesia. Jokowi tidak lagi menggunakan perpektif Jawa dalam menjalankan kekuasaannya, namun melihat Jawa dari sudut Indonesia. Dari prilaku kekuasaan yang begitu dekat dengan rakyat kebanyakan, juga menjadi salah hal yang menunjukkan bahwa Jokowi membebaskan dirinya dari konsepsi kekuasaan politik Jawa.
Dalam diskusi yang bertajuk “Indonesia Pasca Jawa di Bawah Jokowi”, yang diselenggarakan Surapati Sindicate di Jakarta 19 September 2019, terungkap berbagai pandangan dari sejumlah peneliti dan pengamat sosial-budaya tentang arti penting perubahan konsepsi kekuasaan Jawa yang telah mempengaruhi jalannya pemerintahan sejak proklamasi 17 Agustus 1945.
Ada empat pembicara yang dihadirkan dalam diskusi ini, diantaranya peneliti Ekonomi-Politik Fachry Ali, cendikiawan dan mantan jurnalis Manuel Kaisiepo, akademisi UGM Aris Arif Mundayat dan Ketua Lakpesdam NU Asep Salahuddin. Moderator Nezar Patria dari The Jakarta Post.
Menurut Fachri Ali, konsepsi kekuasaan Jawa itu meliputi penempatan kalangan ariatokrat dalam kekuasaan,kekuasaan yang bersifat sakral, konkrit, terpusat, satu kesatuan dan konstan.
“Dengan tingkah laku politik Jokowi yang tidak terikat pada tempat dan wilayah maka konsepi kekuasaan Jawa dengan sendirinya menghilang, kata Fachri.
Dijelaskan, keputusan Jokowi menempatkan ibukota Indonesia lebih ditentukan oleh pertimbangan teknis-ekonomis dan pemerataan kemakmuran daripada hal yang menyangkut mitos dalam konsep politik Jawa.
Manuel Kaisepo dalam paparannya, mengungkapkan bahwa kekuasaan yang terpusat menjadikan daerah hanya sebagai penghasil bahan mentah. Sementara seluruh produksi, berlangsung di Jawa. Hal ini menurutnya menimbulkan disparitas regional, dan ketidakpuasan daerah karena merasa tidak adil.
Manuel mencontohkan perkembangan politik Papua, lebih banyak diakibatkan politik sentralistik yang menyebabkan ketidakadilan.
Namun menurut Manuel, perhatian pada pergeseran konsepsi kekuasaan Jawa sentris ke Indonesia sentris, dari sentralisasi menuju desentralisasi tidàk bisa hanya dilihat pada Era Jokowi, tapi juga pada dua presiden terdahulu yakni Habibie dan Gus Dur.
” Era Habibie ditandai dengan menyebarnya pusat-pusat perubuhan ekonomi atau dikenal dengan kawasan pertumbuhan baru (Kapet) yang masif di luar Jawa.Era ini pun di tandai dengan pemberlakukan otonomi khusus Papua. Sementara Gus Dur mengembangkan perspektif yang lebih luas termasuk mengatasi persoalan Aceh dan Papua,” kata Manuel.
Asep Salahudin dan Aris Arif Mundayat menyambut baik semangat post Jawa yang tergambar dalam pikiran dan praksis politik Jokowi.
Menurut Salahudin, keindonesiaan secara kultural tetap diacukan pada kekayaan etnik, tapi penanda politik bukan lagi Jawa, Sunda, Batak dan seterusnya tapi Indonesia seperti impian para pemuda tahun 1928.
Arif Mundayat mengharapkan jabatan kedua Jokowi perlu memikirkan bagaimana memecah kolonialitas negara modern Indonesia dengan perpektif pasca Jawa. “Kita perlu duduk bersama secara politis dengan cara yang deliberatif untuk masa depan Indonesia yang lebih baik dan berkeadilan,”ujarnya.
Penulis : Benjamin Tukan