OLEH IGNAS KLEDEN
Ekshibisionisme adalah suatu dorongan untuk memamerkan hal-hal yang selayaknya disembunyikan. Dalam psikologi dikenal ekshibisionisme seksual, ketika seseorang suka memperlihatkan bagian-bagian tubuh yang sepatutnya tak dilihat orang lain. Ini adalah suatu kelainan mental karena yang bersangkutan tak dapat mengontrol dorongan untuk melakukannya meskipun dia barangkali sadar bahwa perbuatan tersebut melanggar norma-norma kesopanan dan mengganggu ketertiban umum.
Dalam politik Indonesia saat ini kita mengalami gejala yang dapat dinamakan ekshibisionisme sosial. Pasalnya, seseorang melakukan pelanggaran hukum dalam mengumpulkan kekayaan, tetapi tidak menyembunyikan hasil pelanggaran hukumnya, malah memamerkannya dengan cara amat mencolok. Kalau seorang ketua umum partai politik yang tadinya hidup dengan standar yang wajar, dalam waktu satu dua tahun memamerkan kekayaan yang sulit dijelaskan berdasarkan penghasilannya sebagai ketua umum partai, maka di sana terjadi ekshibisionisme sosial.
Seorang koruptor yang cerdas akan berbuat sebaliknya. Dia menimbun sebanyak mungkin uang ilegal, tapi tidak memperlihatkan gaya hidup yang melambung tinggi secara mendadak asal saja keamanan ekonominya terjamin untuk jangka panjang. Di Indonesia rupanya terjadi hal sebaliknya. Tiap orang yang mempunyai jabatan politik, atau, lebih khusus lagi, jabatan publik sebagai penyelenggara negara, merasa perlu menegaskan statusnya yang baru. Meski begitu, penegasan status ini tak dilakukan melalui kinerja dan prestasi, tapi melalui perubahan gaya hidup.
Tidak dihayati
Jabatan politik dan jabatan publik tidak dihayati sebagai tanggung jawab dan amanah, sebagaimana sering dislogankan para pejabat dan pemimpin politik, tetapi sebagai kesempatan menampilkan gaya hidup baru. Tak ada yang salah dengan gaya hidup, tetapi hubungannya dengan basis materiil harus jelas juga. Seorang bankir investasi yang muda-usia di Wall Street, New York, dengan penghasilan 600.000 dollar AS setahun, dengan sendirinya cenderung bergaya hidup tinggi, kecuali dia seorang yang amat asketis atau penganut setia counter-culture.
Dalam kasus Indonesia, gaya hidup tinggi berdiri di atas suatu shadow economy yang gelap gulita. Kita tahulah berapa penghasilan resmi seorang anggota DPR atau DPRD, seorang bupati, atau seorang gubernur. Namun, mengapa gerangan mereka dapat memperlihatkan gaya hidup seorang bankir investasi di Wall Street? Bagaimana hal ini mungkin terjadi?
Salah satu sebabnya barangkali harus dicari dalam perilaku dan penerimaan masyarakat sendiri. Orang jarang mempersoalkan bagaimana mungkin seorang pejabat pemerintah atau seorang politikus dapat mempunyai beberapa rumah yang harga masing-masing bisa mencapai beberapa miliar rupiah dan mengoleksi lebih dari lima atau enam mobil mewah, sementara orang tahu, dengan penghasilan dari golongan gaji mana pun hal itu tak mungkin dilakukannya? Tetangga atau orang serukun tetangga sudah senang kalau pejabat itu membuka sebuah lapangan voli untuk para pemuda, mendirikan sebuah taman kanak-kanak, atau menyumbang bagi pembangunan sebuah rumah ibadat.
Tidak pernah dipertanyakan dari mana uang itu berasal atau bagaimana cara memperolehnya. Apakah mungkin seseorang dapat memproduksi sesuatu tanpa menguasai alat-alat produksi dan terlibat aktif dalam hubungan produksi? Sikap tak acuh masyarakat ini secara tak sengaja telah memberikan suatu impunitas kepada orang-orang yang mendapat uang dengan cara yang tidak legal secara hukum dan tidak halal secara moral.
Dewasa ini kecenderungan ekshibisionisme ini agak direm dengan adanya kemungkinan seseorang dikenai pasal tindakan pidana pencucian uang di pengadilan karena dapat diterapkan prinsip pembuktian terbalik sehingga seorang terdakwa harus membuktikan asal-usul kekayaannya. Namun, gebrakan hukum belum cukup terpadu secara solid untuk membuat koruptor jera. Seorang yang melakukan megakorupsi lebih sering dihukum dengan hukuman penjara dengan jangka waktu, yang memungkinkan yang bersangkutan masih mengenyam banyak tahun kebebasan selepas penjara dengan uang yang masih lebih dari cukup.
Psikologi politik
Ini mungkin dilakukan karena jumlah uang yang harus dikembalikan kepada negara sering kali jauh lebih kecil daripada besarnya dana publik yang telah dirampasnya melalui korupsi. Contoh yang ekstrem tentulah Muhammad Nazaruddin, yang punya obsesi jadi salah satu orang terkaya di Indonesia apabila dia telah bebas dari penjara (Tempo, 17-23 Juni 2013).
Ini semua rupanya berhubungan dengan psikologi politik di Indonesia, yaitu kejahatan ekonomi dipandang kurang berbahaya dibandingkan dengan kejahatan yang mengancam stabilitas politik atau keamanan nasional. Pemerintah akan memberikan perhatian dengan kewaspadaan yang tinggi apabila diketahui ada sekelompok orang sedang merencanakan suatu subversi politik. Akan tetapi, pemerintah tidak memperlihatkan kewaspadaan yang sama kalau sudah diketahui ada orang-orang tertentu melakukan subversi ekonomi melalui korupsi atau kolusi dalam angka-angka yang astronomis.
Mungkin masih ada yang ingat bahwa selama Orde Baru, pemerintahan Soeharto amat waspada terhadap paham-paham liberal dalam politik, sementara ekonomi nasional berjalan menurut pola pasar bebas yang serba liberal. Pada masa Reformasi sekarang sering diributkan neoliberalisme, tetapi sasaran utama kritik adalah perusahaan asing di Indonesia. Patut diingat bahwa perusahaan bisnis mana pun di dunia selalu mempunyai satu tujuan yang sama: menciptakan keuntungan dan mengakumulasi modal, dan bukan menciptakan kesejahteraan masyarakat karena ini merupakan tugas negara.
Kalau suatu perusahaan bisnis asing masuk ke Indonesia, maka dia masuk ke suatu negara yang mempunyai pemerintah yang sah. Perilaku ekonomi perusahaan itu dapat dikendalikan melalui peraturan yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian, kalau suatu perusahaan asing terlalu merugikan kepentingan rakyat Indonesia, tanggung jawab pertama ada pada pemerintah, yang tak dapat mengendalikan perilaku ekonomi perusahaan bisnis asing itu agar kehadiran dan kinerjanya membawa manfaat juga bagi kesejahteraan rakyat di tempat perusahaan itu beroperasi.
Mencontoh China
China dapat menjadi contoh soal tentang bagaimana kekuatan ekonomi global dapat dikendalikan dan sedikit banyaknya dijinakkan sehingga membawa manfaat juga bagi ekonomi nasional, antara lain dengan menetapkan persentase dari keuntungan per tahun yang tak boleh dibawa keluar sebuah perusahaan asing, tetapi harus diinvestasikan kembali di China. Globalisasi di China kemudian dikenal sebagai managed globalization.
Semua ini dapat menunjukkan bahwa sikap alert Pemerintah Indonesia terhadap ancaman politik jauh lebih tinggi daripada kewaspadaan terhadap bahaya ekonomi, dan hukuman terhadap kejahatan ekonomi tak sepadan dengan besarnya kejahatan terhadap ekonomi nasional. Rupanya dalam psikologi politik kita apa yang dianggap sebagai ancaman nasional adalah apa yang membahayakan kekuasaan politik, sementara apa yang menghancurkan kesejahteraan sosial tak dianggap sebagai bahaya nasional. Maka, janganlah kita terlalu heran kalau para koruptor kakap datang ke pengadilan dengan wajah tersenyum simpul. Ekshibisionisme sosial di sekitar kita adalah konstruksi sosial dari sikap permisif kita sendiri.
Ignas Kleden Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Sumber : Kompas, 25 Juni 2013