Oleh JB Kleden
“PENGGALI Kubur Gantung Diri di Kuburan – Diduga Depresi Akibat Postingan Facebook”. Judul berita Harian Pagi Kupang, Timor Expres, Kamis (10/10) membuat batin tersentak. Martinus Riwu (47) warga Kelurahan Airnona, penggali kuburan di TPU Mapoli itu ditemukan tewas gantung diri, Rabu (19/10) sekitar pukul 11.50 Wita. Kapolsek Oebobo, Kompol Ketut Saba mencurigai korban bunuh diri dengan cara gantung diri karena merasa malu dengan sebuah postingan di facebook.
Berita kecil ini mungkin dilewatkan banyak orang. Tetapi ia menyentak perhatian saya. Lagi-lagi cara kita bermedia sosial (bermedsos) memakan korban. Haruskah kita melakukan perang untuk stop menggunakan medsos?
TIDAK BERMEDSOS? Nggak gaul bro. Sekarang kita berada di era digitalisasi di mana medsos sudah menjadi kebutuhan pokok, mulai dari anak kecil hingga orang tua lanjut usia. Orang bisa tahan lapar dan haus, bisa tahan tinggal di dus kardus. Bahkan bisa betah hanya dengan kain sepotong sekadar menutup aurat. Tetapi hari gini orang tidak akan bertahan jika tidak bisa bermedsos. Lebih baik sakit gigi daripada kehabisan paket data untuk berselancar di dunia maya. Medsos telah menjadi candu bagi banyak pengguna internet, terutama kalangan milenial.
Medsos yang digunakan banyak jenisnya. Ada facebook, twitter, instagram, whatsapp dan lain sebagainya. Berbagai jenis medsos itu, yang semula digunakan sekadar menunjukkan eksistensi diri di dunia maya, kini telah menjadi bagian dari sarana interaksi dan komunikasi massa paling gaul dan efektif saat ini. Medsos telah menjadi media komunikasi tinggi (high technology) yang memiliki fungsi sebagai efisiensi penyebaran komunikasi (hemat biaya, tenaga, pemikiran dan waktu) juga memperkuat eksistensi informasi (mendidik, mengarahkan, menghibur) dan sebagai alat kontrol sosial yang paling efektif. Generasi milenial bahkan menggunakannya sebagai social peer pressure.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa medsos kini, memiliki kekuatan dan potensi yang luar biasa dalam mempengaruhi pandangan publik mengenai sesuatu. Apa saja yang dituangkan di media sosial, termasuk curhat sekalipun, dengan sangat cepat meluas dan mampu merasuki pemikiran jutaan orang dalam hitungan detik. Maka tidak mengherankan kalau bersamaan dengan perluasan fungsi medsis itu, para penyedia dan pengelola medsos terus berlomba melakukan pembaharuan fitur sesuai dengan kebutuhan kekinian kita.
KITA bangga dengan semua pencapaian ini. Medsos telah membuat penggunanya menjadi raja Midas yang mampu membuat apapun yang tersentuh olehnya menjadi emas. Namun lagi-lagi, hal-hal seperti itu malah banyak disalahgunakan. Kasus-kasus yang terjadi sebagai ekses dalam bermedsos tentunya tidak asing lagi, seperti yang sering kita dengar dan baca. Penggali kuburan Mapoli di Kupang, NTT yang gantung diri karena depresi akibat postingan di facebook hanyalah salah satu dari jutaan pengguna medsos yang mengalami krisis dan berujung pada bunuh diri.
Apakah berita-berita seperti itu masih menyentuh simpati dan masuk ruang empati kita? Ataukah memang kita bangga bahwa status kita mampu membuat orang depresi lalu mengambil keputusaan membunuh diri daripada menanggung malu secara sosial?
Jika itu tujuannya maka pada titik ini kita tidak bisa berbicara tentang suatu akar apapun yang berarti selain kepongahan. Maka mungkin kita lebih sedikit rendah hati untuk berbicara tentang keadaban bermedsos. Ini bukan lagi soal “masuk akal” tapi “masuk rasa”. Karena bukan kasus gantung diri itu sendiri yang benar menusuk rasa, tetapi bahwa yang gantung diri hanya pasrah memilih mengakhiri hidupnya karena ketakberdayaan menghadapi depresi yang digelombangkan status tertentu di medsos yang secara sengaja digelontorkan untuk menelanjangi pribadi orang.
KEADABAN bermedsos tidak sekadar dipahami sebagai peradaban media sosial yang lebih merupakan prestasi aksi nalar (measure of mind) dari pengguna untuk bermedsos secara cerdas. Keadaban bermedos lebih merupakan hasil olah batin (inward cultivate) untuk membangun lingkungan bersosial-media yang saling memiliki dan bertanggungjawab. Kalau peradaban medsos berurusan dengan etika bersosial media, maka keadaban bermedsos berurusan dengan peri kesopanan dan budi pekerti pengguna medsos. Peradaban melahirkan etika, keadaban membangun ethos. Kalau peradaban sosial media menghendaki kita taat aturan main berkenaan tatacara bermedsos, maka keadaban bermedsos membuat seorang pengguna merasa malu untuk membuat status yang tidak sopan terutama berkenaan dengan realitas perasaaan kehidupan asasi seseorang.
Tidak bisa ditampik bahwa medsos sering digunakan untuk mempublikasikan perseteruan pribadi bahkan kelompok. Kita tidak bisa hindari itu. Kehidupan sosial tidak bisa bebas dari perbedaan kepentingan. Selama ada perbedaan kepentingan, konflik adalah sebuah keniscayaan yang wajar. Konflik mencerminkan adanya dinamika dalam kehidupan sosial, namun tidak semua konflik itu sehat. Dengan demikian tidak semua konflik musti dicurhatkan di medsos.
Sesuai dengan fungsinya, media sosial seyogyanya menjadi tempat untuk mensharekan persoalan sosial yang berdampak pada upaya pembaikan kehidupan bersama. Bukan mempublikasikan seluk beluk ketelanjangan pribadi orang. Memang menumpahkan emosi dan menuliskannya pada status yang kita miliki memang sangat menyenangkan dan dapat membantu mengurangi kekesalan dalam hati terhadap seorang pribadi atau kelompok sosial. Namun, apakah itu juga menyenangkan pihak yang kena cuitan kita? Maka kita harus mempertimbangkan dengan baik-baik sebelum kita memposting status di medsos. Agar status kita tidak merugikan dan melecehan harga diri seseorang secara sosial, meskipun oleh pemilik status dimaksudkan untuk menyadarkan yang bersangkutan.
Ini penting disadari karena dalam bermedsos yang terjadi adalah komunikasi monolog. Jika kita membuat status mengenai masalah pribadi seseorang misalnya, yang terjadi adalah perpindahan dan penyebar-luasan masalah orang tersebut dari pembuat status kepada seluruh flowersnya. Bukan menyelesaikan permasalahan. Karena pesan yang diterima hanyalah sebatas apa yang terberi dalam status tertulis. Pembaca tidak berurusan dengan maksud pembuat status atau apa yang tidak tertulis dibalik sebuah status.
Di sini pembaca status akan menerima pesan seturut asas “quidquid recipitur, secundum modum recipientis recipitur”. Apapun yang diterima, selalu diterima menurut modus si penerima dan bukannya menurut modus si pemberi. Sebuah status yang luar biasa dengan maksud baik, namun jika diterima oleh pengguna medsos dengan kapasitas terbatas, maka hasilnya juga terbatas. Jika penerima tidak sanggup mengelolanya dengan baik, maka bunuh diri bisa saja terjadi.
DALAM perspektif ini pemilik akun atau pengguna medsos yang merasa tahu apa yang terjadi dengan statusnya, bukan hanya berkhayal tetapi juga berbahaya. Di sinilah keadaban bermedsos menjadi penting. Keadaban bermedsos memberikan kemungkinan perluasan ruang untuk bertukar pikiran dan berganti alternatif, tanpa perlu membuat seseorang merasa malu dan kehilangan harga diri secara sosial, lalu memilih bunuh diri.
Mudah-mudahan rekayasa keadaban bermedsos mendapat titik masuk ke Kementerian Kominfo dalam kebijakan pembinaan medsos, bukan saja karena man can never be human enough, tetapi juga terutama karena dalam hidup bersama di era digitalisasi tanpa suatu konsensus pada level moral dan religious, kita perlu jembatan-jembatan yang tak terbakar, yang tak mudah putus, karena kita tak bisa hidup sendirian lagi.
Medsos adalah jembatan-jembatan penghubung komunikasi antar manusia di era digitalisasi. Sebuah jembatan dibangun untuk memudahkan hidup manusia. Keadaban bermedsos membantu kita menemukan kegembiraan hidup pada setiap ruas jembatannya. Keadaban bermedsos membuat orang menempatkan media sosial sebagai bagian dari mastering conflict resolution. Keadaban bermedsos membantu orang untuk menemukan kebebasan kreatif dalam menyelesaikan masalah tanpa harus membawa orang ke dalam krisis baru yang berakhir dengan bunuh diri.
Orang yang suka mempostingan hal-hal yang negatif, yang suka menghina dan mencaci maki orang lain di laman media sosialnya, pastilah orang aneh dan sakit jiwa. Memang ada sesuatu yang sentimental juga di sini. Seperti yang katakan Eli Sagan dalam At The Down of Tirany: Siapa saja yang memandang rendah kehormatan tuan, bunuhlah dia, Sebab semua petani adalah ibarat padi-padian, siapa yang membabatnya memilikinya.” Dengan melakuan itu mungkin penulis status akan merasa lebih enak. Namun adakah selebihnya hanya sepi?
MUNGKIN apa yang kita sebut kemajuan hanyalah apa yang tak berharga untuk yang lain. Dan Martinus Riwu (47) warga Kelurahan Airnona, penggali kuburan di TPU Mapoli itu pun gantung diri karena merasa malu dengan sebuah postingan di facebook. Memang ada sesuatu yang sentimental di sini, but It’s treat….
Being a long distance… Ludwig Josef Johann Wittgenstein, seorang filsuf terkemuka abad 20 yang memiliki andil besar dalam filsafat bahasa, matematika, dan logika, telah mengingatkan bahwa masalah filsafat sebenarnya adalah masalah bahasa. Mungkin ia hanya mempertegas kembali kisah Menara Babel. Atas cara yang sama kita bisa mengatakan masalah dalam bermedsos sebenarnya adalah masalah bahasa juga.
Dalam membuat status sering sekali kita menjadikan bahasa sebagai sebuah permainan. Para followers dibuat terpikat untuk turut bermain di sana tanpa harus berpikir terlalu serius. Namun hidup manusia bukanlah permainan. Hidup manusia terlalu agung untuk tidak dirayakan di media sosial namun terlampau mahal kalau hanya untuk dijadikan permainan dalam medsos.
Medsos hanyalah sebuah konstruksi yang diciptakan untuk memudahkan relasi sosial manusia di dunia maya. Ia punya peradaban tersendiri yang musti ditaai agar konstruksi yang dibangun bertahan dalam terpaan hujan dan badai. Tetapi menggunakan medsos tanpa keadaban hanya akan membuat kita terjebak dalam tragedi Dr Faust yang hanya merasakan perih menikam jantung setelah semua impian dalam mitologi tentang dunia maya hadir dalam smartphone di genggaman kita.
KARENA Martinus Riwu gantung diri gara-gara bermedsos, maka baiklah sebelum berselancar dalam dunia maya, kita mendengarkan nasehat Ludwig Josef Johann Wittgenstein ini, bahwa tentang segala sesuatu yang tidak bisa dikatakan, sebaiknya orang musti diam. Ia berbicara tentang hukum alam semesta tetapi tapi intinya arif untuk semua bidang kehidupan termasuk dalam bersosial media.
Keadaban atau peri kesopanan dalam bermedsos membantu kita untuk menemukan kegembiraan hidup dan mempertahankan harapan, bahwa media sosial tetap menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi semua manusia untuk berselancar di jagat raya menemukan indahnya janji dan harapan yang diwahyukan ilmu, filsafat dan mitologi.
Karena Martinus Riwu gantung diri gara-gara depresi akibat sebuah postingan di facebook, kita pun berakhir pekan dengan cerita tentang keadaban bermedsos agar kita selalu ingat dalam media sosial ada kebenaran yang mengerikan, juga ada kekhilafan yang selalu ikut serta. Selamat berakhir pekan.
JB Kleden, Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Kupang