Oleh I G N A S K L E D E N
Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.
Dalam sebuah esainya Sutardji menulis “puisi adalah alibi kata-kata“. Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.
Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu.
Adapun kekuatan-kekuatan yang dianggap menindas kebebasan kata-kata dengan memberinya beban makna bisa berasal dari dalam bahasa, seperti semantik atau sintaksis, tetapi dapat pula berasal dari lingkungan luar bahasa, seperti konvensi sosial, kekuasaan politik, atau norma-norma moral.
Mengikuti Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi, dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna. Proposisi-proposisi tentang pemikirannya ini kemudian dirumuskannya dalam sebuah manifesto yang dikenal sebagai Kredo Puisi.
Menilik isinya, kredo Sutardji yang terkenal itu (dalam O Amuk Kapak: Tiga Kumpulan Sajak, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981) pada dasarnya lebih berisikan kredo penyair karena di sana ditegaskan peran penyair dalam pembebasan kata-kata dari penjajahan makna: Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Bagi saya, pemikiran-pemikiran dalam Kredo Puisi menjadi menarik bukan dalam kedudukannya sebagai suatu teori tentang puisi, tetapi terutama sebagai rencana kerja seorang penyair. Kredo itu membuat kita terkesan dan mungkin terkejut, bukan karena argumen-argumen yang diajukannya mengenai sense dan nonsense, tetapi dia menjadi menarik sebagai suatu program, suatu desain, dan bahkan suatu tekad.
Harga dan nilai kredo tersebut tidak selayaknya diukur berdasarkan konsistensi dalil-dalilnya, tetapi terutama berdasarkan pertanyaan: apakah penyairnya sanggup mewujudkan apa yang telah dia deklarasikan.
Mantra
Sutardji mengatakan bahwa bagi dia menulis puisi “adalah mengembalikan kata pada mantra”. Mengembalikan kata kepada mantra adalah mengeluarkan kata dari konvensi makna dan membiarkannya menemukan kekuatannya sendiri.
Kita dapat bertanya: kalau kata dikembalikan kepada mantra, ke mana gerangan hendak dikembalikan kalimat dalam bahasa? Jawaban atas pertanyaan ini diberikan oleh panyairnya 24 tahun kemudian—setelah Kredo Puisi 1973—dalam esai “Pantun” yang diumumkan Kompas Minggu (14 Desember dan 21 Desember 1997).
Di situ pemikiran Sutardji bahwa kata pada dasarnya tak ada hubungan intrinsik dengan maknanya—suatu pandangan yang kemudian semakin dipertegas oleh teoretisi post-modernis—diteruskannya dengan pandangan lain bahwa sampiran dalam pantun tak ada hubungan intrinsik apa pun dengan isi pantun.
Di sini Sutardji secara frontal menolak pemikiran beberapa peneliti pantun dari Barat, yang berasumsi bahwa ada suatu hubungan intrinsik yang tidak selalu kita ketahui antara bagian sampiran dan bagian isi dalam pantun. Adalah menarik bahwa perlawanan yang dilancarkannya tidak dilakukan dengan berteori, tetapi dilaksanakan dalam praktik, yaitu praktiknya sebagai seorang penyair.
Cara yang ditempuhnya ialah mengambil satu dua pantun dan mengubah sampiran pantun itu dengan bunyi-bunyi yang tidak ada maknanya secara leksikal, tetapi tetap mempertahankan persyaratan formal pantun berupa jumlah baris dalam satu bait, jumlah suku kata dalam satu baris kalimat, dan persamaan bunyi pada akhir kalimat. Ternyata bahwa setelah sampiran diubah ke dalam bunyi-bunyi yang tanpa makna, pantun itu tetap utuh dan masih dapat dinikmati juga.
Pulau pandan jauh di tengah
di balik pulau angsa dua
hancur badan dikandung tanah
budi baik dikenang juga
Oleh Sutardji dua kalimat sampiran dalam pantun ini diubah dengan bunyi-bunyi yang tak ada maknanya dalam kode leksikal sebagai berikut:
Cacau landan taktak zizangah
tuta kadu pagara mua
hancur badan dikandung tanah
budi baik dikenang jua
Atau sebuah pantun lainnya:
Kalau ada sumur di ladang
bolehlah saya menumpang mandi
kalau ada umurku panjang
bolehlah kita bertemu lagi
Oleh Sutardji dua kalimat sampiran itu diubah dengan bunyi-bunyi tanpa makna sebagai berikut:
Zuku zangga tukali tangtang
zegeze geze papali podi
kalau ada umurku panjang
bolehlah kita bertemu lagi
Dengan cara ini Sutardji membuktikan bahwa sampiran sama sekali tidak dan tidak perlu berhubungan dengan isi pantun dalam kandungan pesannya. Kita tahu, keterangan umum tentang sampiran biasanya dihubungkan dengan alasan fonetik dan alasan estetik. Sampiran diharuskan terdiri atas jumlah suku kata tertentu dalam tiap baris, dengan suku kata terakhir yang harus mengandung persamaan bunyi dengan suku kata terakhir dari bagian isi yang menjadi pasangannya.
Rima pada pantun mengikuti formula ab/ab, yang berarti akhir baris pertama harus mempunyai kesamaan bunyi dengan akhir baris ketiga, sedangkan akhir baris kedua mempunyai rima dengan akhir baris keempat. Di sini hubungan sampiran dan isi hanyalah hubungan formal menyangkut struktur pantun, tetapi tidak ada hubungan substansial antara keduanya.
Menerobos Batas Bahasa
Meski demikian, Sutardji maju selangkah lagi dan menyatakan bahwa sampiran, justru karena tak mengandung makna tertentu, memperlihatkan the other side of language atau sisi lain dari bahasa, karena makna dalam isi pantun diperhadapkan dengan sampiran yang tanpa makna tertentu. Dengan demikian, pantun menjelma menjadi dialektik antara sense dan nonsense, atau kontestasi antara makna dan tanpa-makna.
Rupa-rupanya keadaan tanpa makna itu tetap dibutuhkan dalam bahasa umumnya dan dalam puisi khususnya, karena dia menjadi kontras yang membuat makna semakin tampak seperti halnya cahaya lampu hanya menjadi nyata dalam gelap dan tidak tampak di bawah sinar matahari.
Dengan demikian, kalau mantra adalah sisi lain dari makna dalam kata, maka sampiran pada pantun adalah sisi lain dari makna dalam kalimat. Pada mantra fonem-fonem yang digabungkan tidak menghasilkan makna, dan atas cara itu membawa orang keluar dari dunia kata-kata yang bermuatan makna yang telah dibakukan.
Pada sampiran kata-kata yang membentuk kalimat dalam sampiran memang mempunyai makna kalau diambil satu per satu secara terpisah, tetapi dalam keseluruhan pantun, menjadi kehilangan makna karena tak ada pertautan pesan dengan bagian isi pantun.
Menarik untuk disimak bahwa penerobosan yang dilakukan Sutardji terhadap makna membawa dia kepada percobaan lain untuk menerobos batas-batas bahasa. Penerobosan terhadap batas-batas bahasa ini dilakukan dengan melakukan penyimpangan dari semantik dan penyimpangan dari sintaksis. Semantik menunjuk hubungan antara bahasa dan suatu obyek di luar bahasa, sedangkan sintaksis menunjuk hubungan internal antara unsur-unsur bahasa itu sendiri.
Penerobosan terhadap semantik dilakukan dengan memakai fonem-fonem atau bunyi-bunyi bahasa yang tidak ada maknanya secara leksikal. Meski demikian, penyairnya sadar juga bahwa hanya dengan bunyi-bunyi tanpa makna itu tidak mungkin lahir sebuah puisi dalam arti yang kita kenal. Maka, dalam beberapa sajaknya Sutardji menerapkan teknik menyusun pantun dalam bentuk yang lebih diperluas.
Jumlah baris dalam bait jauh lebih bebas dan tidak hanya terbatas pada empat baris, jumlah suku kata juga dibuat tanpa mengikuti pakem pantun, dan rima juga tidak harus mengikuti formula ab/ab.
Akan tetapi, yang dipertahankan dari unsur pantun adalah kontras antara sampiran dan isi, kontestasi antara makna dan tanpa makna. Dengan demikian, fonem-fonem yang tanpa makna itu seakan-akan menjadi sampiran dalam sajak-sajak Sutardji, tetapi isi sajaknya masih selalu dimunculkan dalam kata-kata dengan makna yang kita kenal.
Contoh paling tipikal dari kecenderungan ini dapat kita amati dalam beberapa baris sajak berikut ini.
hai Kau dengar manteraku
kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu
mapakazaba itazatali
tutulita
papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukuzangga zegezegeze zukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
ku zangga zegezegeze aahh….!
nama nama kalian bebas
carilah tuhan semaumu
Dalam sajak ini dua kalimat pertama “Kau dengar manteraku/Kau dengar kucing memanggilMu” adalah seruan kepada sesuatu yang rupa-rupanya mengatasi semua kategori manusia termasuk bahasa, mungkin sesuatu yang tak terbatas, yang kudus, atau yang ilahi, yang dicoba didekati dengan memanggilNya dengan berbagai nama yang tidak kita kenal dalam kode leksikal bahasa Indonesia.
Kode leksikal
Nama dan kode-kode yang digunakan penyairnya adalah bunyi-bunyi seperti mapakazaba, itazatali, tutulita, dan seterusnya. Betapa pun gelapnya kode tersebut, dalam berbagai pengulangan dapat kita rasakan intensitas suatu hasrat yang tak terucapkan dengan bahasa, yaitu bunyi-bunyi seperti zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze, tetapi rupanya seruan-seruan magis itu tak sanggup juga mendekatkan wujud yang tak terbatas atau yang kudus itu kepada penyair, yang akhirnya berkata dengan pasrah, dan mungkin dengan putus harapan: “nama nama kalian bebas/carilah tuhan semaumu”.
Perjuangan dengan yang tak terbatas, yang ilahi, atau yang kudus dapat kita amati dengan lebih jelas dalam sajaknya yang berjudul Shang Hai. Teknik yang diterapkan penyair di sini adalah menerjemahkan kata-kata dalam kode leksikal ke dalam tanda-tanda non-leksikal.
Semantik diterjemahkan menjadi semiotik sebagaimana dikatakan oleh Emile Benveniste. Meski demikian, penggunaan kode-kode non-leksikal itu disusun dalam suatu struktur yang dengan mudah membuat kita menerjemahkannya kembali ke dalam kata-kata biasa dalam kode leksikal. Hubungan di antara signifier (tanda non-leksikal) dan the signified (kode leksikal) tidak dibuat eksplisit, tetapi memberi kemungkinan bagi pembaca untuk menemukannya.
Ping di atas pong
pong di atas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
tak ya pong tak ya ping
ya tak ping ya tak pong
kutakpunya ping
kutakpunya pong
pinggir ping kumau pong
tak tak bilang ping
pinggir pong kumau ping
tak tak bilang pong
sembilu jarakMu merancap nyaring
Ada tiga cara membaca sajak ini. Cara pertama adalah cara semiotik yang melihat semua bunyi bahasa dalam sajak itu sebagai tanda dan hubungan antartanda. Cara yang kedua adalah cara semantik yaitu melihat hubungan kode leksikal dengan makna.
Cara yang ketiga adalah cara hermeneutik yaitu melihat hubungan antara kode bahasa dengan makna, dan hubungan makna dengan konteks kebudayaan yang luas. Cara ketiga inilah yang akan saya gunakan dalam membaca sajak Shang Hai.
Dibaca dengan cara hermeneutis maka sajak itu dapat menunjukkan suatu perjuangan eksistensial untuk memihak makna atau tanpa makna, persaingan antara percaya dan rasa sia-sia, tukar-menukar antara benci dan rindu, atau pingpong antara ada dan tiada.
Ping di atas pong
pong di atas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
Ada sesuatu yang intens dan tegang dalam larik-larik tersebut yang kita tak tahu sepenuhnya apa. Akan tetapi, untuk keperluan penafsiran, kita secara eksperimental dapat mengganti fonem ping dan pong dengan kata-kata yang ada dalam kode leksikal bahasa Indonesia. Sebagai contoh gantilah fonem ping dengan kata-kata seperti: ada, percaya, rindu, dan dekat, dan gantilah fonem pong dengan kata-kata seperti: tiada, sia-sia, benci atau jauh maka akan terasa ketegangan itu.
Dengan peralihan ke dalam kode leksikal, maka larik-larik di atas akan berbunyi:
Ada di atas tiada
tiada di atas ada
ada ada bilang tiada
tiada tiada bilang ada
mau tiada? bilang ada
mau mau bilang tiada
mau ada? bilang tiada
mau mau bilang ada
ya tiada ya ada
ya ada ya tiada
Atau kalau kita menggantinya dengan kode leksikal lainnya, maka kita dapati larik-larik berikut:
Rindu di atas benci
benci di atas rindu
rindu rindu bilang benci
benci benci bilang rindu
mau benci? bilang rindu
mau mau bilang benci
mau rindu? bilang benci
mau mau bilang rindu
ya benci ya rindu
ya rindu ya benci
Sajak ini termasuk sajak Sutardji yang paling mempesona saya karena hanya dengan dua fonem yang tak ada maknanya secara leksikal kita diberi ruang yang lapang untuk membangun makna tentang dialektik yang keras di antara dua jenis energi yang diberi nama “ping” dan “pong”.
Makna baru
Dialektik ini rupanya tak menghasilkan suatu sintesa yang memuaskan, sehingga akhirnya meledak dalam kalimat terakhir sajak yang berbunyi sembilu jarakMu merancap nyaring. Anda tahu “merancap” adalah bunyi senjata tajam yang sedang diasah. Maka, jarak dengan yang tak terbatas telah menjadi sembilu yang terus diasah dengan denting bunyi yang nyaring.
Namun, di sinilah Sutardji berhadapan dengan kontradiksinya sendiri: usaha untuk keluar dari makna akan membawa kita kepada makna baru, seperti yang terjadi pada setiap metafor. Penghancuran makna mengharuskan kita untuk melakukan penciptaan makna, sementara dekonstruksi makna akan membawa kita kepada rekonstruksi makna.
Bunyi-bunyi yang tak ada dalam kamus pada akhirnya harus diterjemahkan kembali dengan kata-kata dalam kode leksikal, sebagaimana mantra diterjemahkan menjadi doa, dan mistik diterjemahkan menjadi lirik. Sebagai contoh sajak Sutardji Shang Hai yang baru kita uraikan dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam sajak Sapardi Djoko Damono berjudul Sonet: X. Sajak ini dimulai dengan pertanyaan:
Siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lalu
siapa mengkristal di kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
Dan ditutup dengan pertanyaan:
siapa tiba-tiba menyibak cadarku
siapa meledak dalam diriku
: siapa Aku
Setelah bertanya dan mengaduh dengan berbagai pertanyaan yang serba gelisah, muncul juga jawaban berupa suara dalam diri orang yang bertanya: siapa Aku, siapa Aku yang menggema dalam dirimu? Demikian pun, kesimpulan Sutardji yang terungkap dalam kalimat sembilu jarakMu merancap nyaring dengan mudah mengingatkan kita akan rindu dendam dan mungkin juga frustrasi Amir Hamzah dalam sajaknya PadaMu jua“, yang baik saya kutipkan beberapa baitnya sebagai perbandingan:
Satu kekasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa
Di mana Engkau
rupa tiada
suara sayup
hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
engkau ganas
mangsa aku dalam cakarmu
bertukar tangkap dengan lepas
Permainan antara rindu rupa dan rupa tiada, dan pergantian tangkap dengan lepas pada Amir Hamzah kurang lebih paralel dengan sembilu jarakMu merancap nyaring pada Sutardji, yang menyatakan kegelisahan dan rasa penasaran ini dengan lebih jelas dalam sebuah sajaknya yang lain:
Kuharap isiNya kudapat remahNya
kulahap hariNya kurasa resahNya
kusangat inginNya kujumpa ogahNya
kumau Dianya kutemu jejakNya.
Daya Pukau
Kalau yang tak terbatas itu dihayati juga sebagai yang kudus, maka pengalaman dengan yang kudus itu, menurut penyelidikan fenomenolog agama, Rudolf Otto, dihayati sebagai perjumpaan dengan mysterium tremendum et fascinans: misteri yang menyebarkan rasa gentar dan memancarkan daya pukau.
Orang tertangkap dalam daya pukau, tetapi terlepas kembali dalam rasa gentar, bertukar tangkap dengan lepas seperti dikatakan Amir Hamzah. Pada beberapa penyair Indonesia daya pukau itu terasa lebih menonjol dan penyair melantunkan sukacita akan kepenuhan pengalaman itu. Chairil Anwar dalam pembukaan sajak Doa berkata:
Tuhanku
dalam termangu
aku masih menyebut namaMu
yang dapat kita bandingkan dengan beberapa kalimat dalam sajak Rabindranath Tagore:
I will utter your name, sitting alone among
the shadows of my silent thoughts
I will utter it without words, I will utter it without purpose
Chairil menutup sajaknya dengan stanza berikut:
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Larik-larik itu terdengar bagaikan parafrase pengalaman penyair Inggris, William Blake, ketika berkata dalam sajaknya:
Hold infinity in the palm of your hand
and eternity in an hour
Sutardji jelas mengalami keterpukauan itu, tetapi berkali-kali merasa bahwa yang dekat tetaplah jauh, yang nampak tetap tersembunyi, daya pukau tetaplah menyebar rasa gentar. Ambivalensi tanggapan dan suasana hati ini dapat ditemukan secara intens dalam berbagai sajaknya tetapi muncul dalam nada rendah yang amat simpatik dalam sajak yang berikut ini:
Siapa dapat meneduh rusuh
dalam hatiku dalam hatimu
siapa dapat membalut luluh
yang padamu yang padaku
siapa dapat turunkan sauh
dalam hatiku dalam hatimu
siapa dapat membasuh lusuh
apa kautahu apa kautahu?
Pelanggaran kategori
Kalau semantik diterobos melalui mantra, maka sintaksis diterobos melalui categorial transgression atau pelanggaran batas kategori sebagaimana dimaksudkan oleh Paul Ricoeur. Pelanggaran batas kategori ini dilakukan oleh Sutardji dengan beberapa cara, direncanakan ataupun tidak. Di beberapa tempat jelas-jelas dia memakai kata benda dalam fungsi sebagai kata sifat.
Yang paling mawar
yang paling duri
yang paling sayap
yang paling bumi
yang paling pisau
Ada dua hal terlihat dalam contoh ini. Di satu pihak kata benda digunakan sebagai kata sifat, sementara di lain pihak kata benda dapat diberi bentuk superlatif. Kita dapat bertanya mengapa gerangan penyairnya mengatakan “yang paling mawar” dan bukan “yang paling harum”, “yang paling duri” dan bukannya “yang paling tajam”, atau “yang paling sayap” dan bukannya “yang paling bebas”?
Salah satu jawaban yang mungkin ialah ajektif harum, tajam, dan bebas dalam perasaan penyair sudah mengalami devaluasi arti yang terlalu parah akibat tekanan konvensi sosial atau hipokrisi moral, sehingga dia mengambil substantif sebagai gantinya. Sementara itu, dia ingin memastikan bahwa kalau ada bau harum yang terbit dalam perasaannya, maka itu adalah harum mawar dan bukan harum parfum misalnya. Di sini pelanggaran kategori diterapkan untuk mengejar presisi dan kepenuhan makna yang dituju.
Penyimpangan lainnya dilakukan dengan menyamakan dalam fungsi atributif yang sejajar kata-kata dari berbagai jenis kata yang berbeda. Larik-larik berikut ini dapat memberi ilustrasi:
Siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit
siapa laut yang paling larut siapa tanah yang paling pijak siapa
burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal
siapa tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau
tak aku yang paling rindu?
Atau larik-larik lainnya:
Yang mana sungai selain derai yang mana gantung selain sambung
yang mana nama selain mana yang mana gairah selain resah yang
mana tahu selain waktu yang mana tanah selain tunggu
Dalam bait yang dikutip pertama kita bertemu dengan jenis-jenis kata sebagai berikut: derai adalah kata benda, rumit kata sifat, larut kata sifat, pijak kata kerja, sayap kata benda, tunggal kata sifat, tidak kata keterangan, aku kata ganti dan rindu kata kerja. Semua kata-kata ini diberi bentuk superlatif dengan bantuan kata keterangan “paling”, sementara menurut tata bahasa, superlatif hanya dikenakan pada kata sifat.
Dalam bait lainnya kita melihat pasangan kata-kata dalam kedudukan sebagai predikatif, tetapi tidak selalu simetris berdasarkan jenis katanya. Sungai dan derai memang simetris karena keduanya kata benda, juga gantung dan sambung adalah simetris karena keduanya kata kerja.
Akan tetapi, gairah dan resah tidak simetris karena gairah adalah kata benda sementara resah kata sifat. Juga tahu dan waktu tidak simetris karena tahu adalah kata kerja sedangkan waktu kata benda. Atas cara yang sama tanah dan tunggu juga tidak simetris, karena tanah adalah kata benda dan tunggu kata kerja.
Dekonstruksi Bahasa
Suatu percobaan Sutardji lainnya yang patut dicatat ialah usahanya mendistorsikan kata-kata dalam kode leksikal dengan makna yang jelas ke bentuk-bentuk kata yang keluar dari kode leksikal sehingga tidak mempunyai makna lagi. Frase seperti “sepisau luka sepisau duri” dapat kita pahami melalui kode leksikal. Akan tetapi, oleh Sutardji perkataan “sepisau” dipelesetkan menjadi “sepisaupa sepisaupi” yang sudah sulit dipahami dengan menggunakan kamus.
Sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya kedalam nyanyi
Pelanggaran kategori terhadap jenis kata yang sangat sering dilakukan dan distorsi bentuk kata yang kadang-kadang dilakukan, sangat mungkin telah digerakkan oleh motif pribadi penyair untuk menerobos batas bahasa sehari-hari. Sekalipun demikian, di banyak tempat penerobosan kategori dan distorsi bentuk kata ini dilakukan untuk meningkatkan efek fonetik melalui pengerahan aliterasi dan asonansi secara maksimal.
Dalam perasaan saya, semenjak Amir Hamzah hanya sedikit sekali penyair kita yang sanggup memainkan bunyi bahasa dalam aliterasi dan asonansi secara kuat dan efektif. Sutardji jelas salah satu dari yang sedikit itu, dan salah satu yang paling berhasil dalam memainkan bunyi bahasa.
Untuk mengambil sebuah contoh saja:
Rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tanya dari segala
nyata sebab dari segala abad sungsang dari segala sampai duri
dari segala rindu luka dari segala laku igau dari segala risau
kubu dari segala buku resah dari segala rasa rusuh dari segala
guruh sia dari segala saya duka dari segala daku Ina dari segala
Anu puteri pesonaku!
datang Kau padaku!
Kalau gairahnya untuk bunyi bahasa menyebabkan dia menerobos kategori-kategori jenis kata, maka kesukaannya pada visualisasi sajak dalam tipografi yang unik menyebabkan dia sering mempersetankan aturan-aturan ejaan yang berlaku. Sutardji menulis kata berulang tanpa pernah menggunakan tanda sambung (-) dan pengulangan itu pun bisa dilakukan lebih dari dua kali. Dengan ringan saja dia menulis “kakekkakek”, “bocahbocah”, atau “terkekehkekeh”. Atau “minumminum”, “senyumsenyum”, “jingkrakjingkrak” dan “nyanyinyanyi”.
Jadi rupa-rupanya, dalam pandangan Sutardji, yang harus diterobos bukan saja makna kata-kata yang dibakukan dalam kamus, tetapi juga bentuk fisik kata-kata yang dibakukan dalam ejaan. Penyair seakan mencium bau kolonisasi dalam sistem ejaan. Karena, seperti halnya makna kata-kata, sangat mungkin pula bentuk kata yang diatur dalam ejaan telah dipaksakan oleh kepentingan politik, kebutuhan pasar, serta kecenderungan-kecenderungan tertentu, yang tidak selalu menguntungkan pemakaian bahasa secara efektif.
Begitulah, catatan-catatan ini mudah-mudahan memperlihatkan sekadarnya bahwa jauh-jauh hari sebelum diskusi tentang teori-teori post-modernis marak di Indonesia semenjak 1990-an, Sutardji sebagai penyair telah menyadari, kalau bahasa tak lain tak bukan hanyalah suatu konstruksi sosial. Karena bahasa adalah konstruksi, dia dapat juga dinegasikan melalui dekonstruksi.
Upaya dan perjuangan Sutardji untuk menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapatlah dipandang sebagai percobaan untuk melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran, dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.
Atau, untuk memakai kata-kata Sutardji sendiri, puisi adalah ibarat “senyap dalam sungai tenggelam dalam mimpi” tetapi dekonstruksi melalui puisi adalah ibarat “cuka dalam nadi luka dalam diri”.
Kompas, Sabtu, 04 Agustus 2007
* (Esai ini berasal dari Pidato Kebudayaan yang disampaikan pada Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di TIM, Jakarta, 19 Juli 2007, untuk menghormati penyair Sutardji Calzoum Bachri 66 tahun. Dalam penerbitan ini seluruh catatan kaki dihilangkan)