LEWUKA, Udak, dan Uruor. Tiga kampung masih punya hubungan suku, bahasa, dan kekerabatan yang kental hingga saat ini. Dua kampung yang pertama: Lewuka(k) dan Udak, takluk dan seolah terjepit di kaki bukit nan asri. Sedang yang lain, Uruor, berada di atas padang savana dengan panorama alam mempesona sejauh mata memandang. Jarak Lewuka dan Udak sejauh emperan dua rumah yang berhimpitan satu dengan yang lainnya.
Berbeda dengan Uruor, yang sedikit agak jauh melewati tebing Karabau Knoki (pintu kerbau) dari bawah kaki kampung Udak dan Lewuka kemudian berjalan kaki melewati padang luas sebelum mencapai Uruor di atas padang tersebut. Ada yang menyebut Kerbau atau Karbau Knoki sesuai dialek masing-masing kampung atau desa sekitar. Nyaris 50-60-an tahun sejak Indonesia merdeka, ruas jalan menuju tiga kampung itu belum pernah dibangun sekadar dilewati kendaraan roda dua.
Orang kampung masih memanfaatkan tenaga untuk memikul barang bawaannya. Termasuk warga masyarakat nelayan Lamalera dan sekitarnya yang pergi menjual dan membeli makanan di kampung-kampung di sekitar Lewuka, Udak maupun Uruor. Bahkan sampai Kalikasa, kota kecamatan Atadei atau desa-desa lain seperti Karangora, Watuwawer, Atawolo, Bauraja, dan lain-lain.
Kala itu warga masyarakat sungguh terpenjara dalam ketertinggalan. Negara seolah tak sudi hadir membuka isolasi fisik agar orang-orang kampung dari tiga kampung itu agar memiliki akses dengan dunia luar. Itu dulu. Kini pun masih terasa. Mobil penumpang ke Udak dan Lewuka, mesti melewati jalur jalan wilayah selatan Lembata yang sangat buruk, minim perhatian pemerintah mulai dari pusat sampai daerah sejak Lembata menjadi daerah otonom 20 tahun lalu.
Berniat ke Lewuka, Udak atau Uruor dengan berkendara, ada baiknya pengunjung baru siapkan diri baik-baik. Nyali pengunjung atau tamu akan diuji karena oto (bis kayu), moda transportasi ke tiga kampung itu, akan berlenggak lenggok kiri-kanan dengan keras. Kalau supir tak sigap, jurang sedalam puluhan meter jadi alamat terakhir. Namun, (Alm) Bastian N Ujan, seorang pengusaha lokal dari Udak yang lama bermukim di Dili, Timor Leste nekad membuka jalan hingga Udak. Jalan di Karabau Knoki ia buka dengan alat berat milik pribadi sehingga orang leluasa pulang-pergi Udak-Lewoleba.
Badan penumpang oto atau pengunjung pun bakal terasa macam di-gebuk. Kondisi medan yang sulit itu terlihat baik melalui (Desa) Wulandoni, kota Kecamatan Wulandoni maupun dari Lewoleba, kota Kecamatan Nubatukan & kota Kabupaten Lembata, melalui kampung Pukaj Lerek, Nubatukan. Jalur Lewoleba-Uruor juga menjadi langganan saya jalan kaki pergi-pulang Boto untuk mengambil bekal selama sekolah di SMA Kawula Karya Lewoleba tahun 1987-1990.
Lewuka secara resmi terbentuk menjadi Desa Belobao di Kecamatan Wuandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Sedangkan kampung Udak menjadi Desa Udak Melomata. Sedangkan Uruor terbentuk menjadi Desa Belobatang, Nubatukan. Di kalangan orang kampung Lewuka, Udak dan Uruor tempo doeloe, Udak lebih familiar dengan sebutan Lewu.
Sejak beberapa tahun lalu, Udak resmi menjadi sebuah desa definitif dengan nama Desa Udak Melomata. Berada di wilayah Kecamatan Nubatukan, Lembata. Kehadiran Udak Melomata sebagai sebuah desa resmi menambah koleksi desa di Lembata, kabupaten yang “merdeka” dari Flores Timur, kabupaten induk dua puluh tahun lalu.
Melarat dan Merasul
Meski berada di tengah kepungan lembah, berada di kaki bukit, beranda di ngarai terjal, toh, tempo doeloe semangat juang orang-orang kampung Lewuka pigi melarat (pergi merantau, dalam konteks Flores Timur dan Lembata tempo doeloe) melanjutkan pendidikan atau bertaruh nasib di luar kampung bahkan di tanah Jiran Malaysia, sangat tinggi. Kelak, anak-anak kampung baik dari Lewuka, Udak dan Uruor merasul di mana saja mereja tinggal.
Drs Apoly Bala Wutun, M.Pd, salah satu anak kampung Lewuka, yang memutuskan melarat, bertaruh nasib melalui pendidikan untuk masa depannya kemudian mengharumkan nama Gereja, bangsa, dan negara melalui tugas perutusannya sebagai pengikut setia Kristus Yesus. Kala itu orangtua di kampung-kampung punya kebanggaan tersendiri kalau anak-anaknya bisa melarat, merantau atau sekolah mengandalkan hasil tanaman berupa kopi, kemiri, kelapa, pinang, padi, jagung, ubi-ubian dari kebun orangtua mereka. Apalagi melanjutkan pendidikan calon imam, suster, bruder, biarawan atau biarawati.
Apoly Bala –begitu panggilan akrab Apoly Bala Wutun– salah seorang guru, dirigen bahkan komponis papan atas Nusa Tenggara Timur tak hanya lagu-lagu Gerejani. Namun, lebih dari itu. Ia adalah salah seorang anak asli Lewuka yang lahir dari kampung kecil kemudian dikaruniai Tuhan talenta luar biasa besar agar kelak ia boleh merasul melalui karya seni yang ia hasilkan.
Belum lagi terhitung para guru, dosen, imam, biarawan dan biarawati yang mengabdi baik di dalam maupun luar negeri. Selain Apoly Bala Wutun, dalam catatan saya –sekadar menyebut beberapa– banyak putra-putri asal kampung Lewuka, Udak, dan Uruor yang mengabdi di berbagai bidang profesi tak hanya dalam namun juga luar negeri.
Saya sebut saja beberapa di antara mereka. Misalnya Pastor Benediktus Genule Ujan SVD di Kalimantan; Pastor Yeremias Balapito Duan MSF; Pastor Stanis Beda Elanor, CM; Pastor Elfridus Ujan SVD di Bostwana, Afrika; Fr Alberto Geroda Atawolo, CMM, misionaris di Brazil; P Dr Pankras Kraeng SSCC; Pastor (Alm.) Thoby Muda Kraeng SVD; Sr Leny Kraeng, CP di Ruteng, Manggarai, ujung barat Pulau Flores.
Selain itu, Sr Moniq Ujan di Italia; Br Dominggus Geroda Sinuor, SVD misionaris di Brazil; Sr Virgo Sinuor, OSF; Sr Helena Maria, SSpS (adik Apoly Bala Wutun) ; Pastor Jery Ujan CSsR; Sr Leonita Kraeng, PRR di Kenya; Pastor Cornelius Dominikus Boli (Rumly) Ujan SVD, misionaris di Paraguay; Pastor Dr Bernardus Boli Ujan SVD, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero dan mantan Sekretaris Komisi Liturgi Konfrensi Waligereja Indonesia (KWI).
Berikut kalangan awam seperti Drs Herman Yosef Loli Wutun, Ketua Umum Induk KUD; psikolog Dr Rufus Pati Wutun, dosen Universitas Nusa Cendana Kupang, Hyronimus Sorywutun, mantan Direktur Perusahaan Daerah (PD) Flobamora; Dr Andre Ata Ujan, dosen Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta.
Juga Dr Joseph Laba Sinuor, dosen Universitas Pelita Harapan Tangerang, Banten; Jeremy Emanuel Laba Ujan, master ceremony (MC) beken pemilik usaha Publik Speaking J-Smart, Alberth Olak Sinuor, mantan guru di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang saat ini menjabat Ketua DPD Partai NasDem Flores Timur, (Alm) Drs Rikardus Labi Ujan, pengajar Akademi Manajemen Kupang / Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Kupang, dan lain-lain.
Mereka semua ini adalah segelintir dari generasi tiga kampung di atas yang melarat kemudian marasul di bidangnya masing-masing. Saya percaya, sebagian dari mereka ini pernah melewati Karabau Knoki, pintu keluar-masuk jalan selebar “badan kerbau”, melewati tebing di atas bukit tak jauh dari Lewu guna merenda hari esok untuk kebaikan dan kemuliaan nama Tuhan.
Karabau Knoki bukan tempat lalu larang kerbau, binatang dalam artian sesungguhnya. Karabau Knoki adalah kisah tentang jalan setapak kecil berbahaya untuk orang-orang kampung Lewuka, Udak maupun Uruor. Jalan yang hanya bisa dilewati kambing atau babi hutan. Karena itu, butuh kehati-hatian orang kampung atau pelancong yang gemar mengakrabi alam liar dan menantang. Mengapa? Kalau tak hati-hati, maka maut senantiasa mengintai bila terperosok dan jatuh.
Sekitar tahun 1979-1983, didampingi para guru saya dan rekan-rekan dari SDK Boto pernah melewati “pintu masuk” Udak dan Lewuka di Karabau Knoki. Setelah meninggalkan Boto, kampung halaman, kami menuruni areal terjal menuju kampung Liwulagang (kini jadi desa defintif). Dari Liwulagang, kami mendaki jalan berbukit hingga Fit Fule (“leher kambing”) sebelum mencapai puncak, di area padang sabana tak jauh dari Uruor.
Dari Uruor, perjalanan dilanjutkan melewati padang sabana. Meski panas membakar, toh, tak menyurutkan langkah kami. Menjadi peserta Pekan Olahraga dan Kesenian (Porseni) Tingkat Wilayah di Kecamatan Nagawutun, kala itu, yang terpusat di Lewuka, kampung Apoly Bala Wutun. Ini pengalaman mengasyikkan karena bersiap menjadi juara tingkat pool sebelum puncaknya tingkat kecamatan di Loang, kota Kecamatan Nagawutun.
Menuruni jalan setapak yang sangat curam, tangan kami mesti dipegang guru. Selain menjaga keselamatan, barang-barang bawaan di dalam klombu atau serbet tak jatuh ke jurang di Karabau Knoki. Pemandangan alam yang indah sepanjang dari Uruor ke Udak, menjadi penghalau rasa takut. Tak lama wajah Udak dan Lewuka yang masih asri memanjakan jiwa.
Lewuka dan Palu
Siapa sangka suatu waktu Apoly Bala Wutun, orang anak kampung dari Lewukak, di pedalaman Lembata menginjakkan kaki di Palu, Sulawesi Tengah? Tentu, sebagai umat beriman, tukang pikul Salib Kristus, semua itu karena rencana dan karya Tuhan semata. Bagaimana tidak? Pada Senin, 20 Agustus 2018, Apoly Bala Wutun berada di Auditorium Universitas Tadulako (Untad), Sulawesi Tengah. Apoly Bala mendapat undangan khusus dari Rektor Untad Prof Dr Ir Muh Basir, SE, MS.
Ia diundang mengikuti Dies Natalis ke-37 Untad, Wisuda Sarjana ke-93, dan Pengukuhan Dua Guru Besar Fakultas Teknik Untad. Kehadiran Apoly Bala di Untad karena dia adalah pencipta sekaligus aransir Hymne Untad. Pihak rektor memandang perlu memberikan Piagam Penghargaan kepada Apoly Bala Wutun atas jasanya menciptakan Hymne Universitas Tadulako.
Prosesi pemberiaan Piagam Penghargaan kepada Apoly Bala Wutun, anak kampung dari Lewukak, mendapat perhatian Jefrianto, seorang blogger. Jefrianto, menulis dengan bernas dengan judul Penantian 35 Tahun Apoly Bala Terjawab dalam weblog pribadinya yang dimuat pada 22 Agustus 2008. Saya merujuk artikel Jefri dalam blognya. Tulisan itu sekaligus menjadi panduan mengetahui siapa sosok Apoly Bala Wutun.
Di dalam auditorium, sosok pria berperawakan kecil, berjalan pelan menuju panggung, begitu pemandu acara menyebut namanya; mempersilahkannya naik ke atas panggung. Pria dengan uban keperakan yang menutupi hampir seluruh rambutnya ini, mengenakan setelan jas hitam dengan kopiah motif tenun khas NTT.
Di atas panggung, tampak Muh Basir bersiap menyambutnya. Hari itu, Senin (20/8/2018), bertepatan dengan puncak peringatan Dies Natalis ke-37 Untad, yang dirangkaikan dengan pelaksanaan wisuda sarjana ke-93 dan pengukuhan dua guru besar Fakultas Teknik Untad.
Dipandu oleh pemandu acara, Muh Basir menyerahkan piagam penghargaan kepada Apoly Bala. Saat menerima Piagam Penghargaan tersebut, bola matanya basah dan berkaca-kaca. Ia tak kuasa menahan haru dengan apresiasi yang begitu tinggi terhadap karya gubahannya. Sejak 35 tahun hingga saat ini Hymne Untad mewarnai perjalanan sejarah Untad.
Siapakah Apoly? Karya apakah yang dihasilkannya sehingga diapresiasi Untad? Itu tak lain karena Apoly adalah masetro musik liturgi pencipta lagu dan syair Hymne Untad. Hymne Utad tersebut kembali ditemukannya setelah 35 tahun berselang, lewat sebuah peristiwa yang tidak disengaja.
Apoly lahir di Lewuka, Wulandoni, Lembata. Ia lahir dari pasangan petani kecil: Lukas Djuang Wutun dan Ibu Ero. Kedua orangtuanya sudah berpulang. Ia menyelesaikan Sekolah Rakyat (SR) di Lewuka, kemudian lanjut Seminari San Dominggo Hokeng, Flores Timur dan STF Ledalero, Maumere.
Saat menjalani TOP di Katedral Kupang, ia mundur dan tak melanjutkan cita-citanya menjadi imam. Sejak itu ia mengabdi sebagai guru di SMPK Santu Yosep Naikoten Kupang. Lulus dari FIP Undana ia menjadi dosen di Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang dan pensiun saat menjabat PR I Unwira.
Terkait Hymne Untad, Apoly menceritakan, sekitar 1982 ia melihat pengumuman sayembara Hymne Untad di salah satu koran nasional. Oleh karena sering menggubah lagu, ia tertarik mengikuti sayembara tersebut. “Saya lupa koran apa yang mengumumkan sayembara tersebut. Seingat saya, pada saat itu cuma dua koran yang ada di Kupang, yaitu Kompas dan Pos Kupang. Karena sayembaranya bersifat nasional, saya pikir tidak mungkin terbit di media lokal, sepertinya memang terbit di Kompas. Sayembara ini seingat saya dilaksanakan sesudah pelaksanaan wisuda perdana Untad tahun 1981, karena setelah wisuda tersebut, dirasa perlu untuk adanya sebuah Hymne,” ujar Apoly.
Tidak butuh waktu lama baginya untuk menggubah lagu dan syair Hymne Untad tersebut. Setelah karya gubahannya selesai, karya tersebut dikirimkan via pos kepada panitia. Apoly mengatakan, dirinya juga mengkliping pengumuman sayembara tersebut. “Dulu saya sempat kliping pengumuman sayembarannya. Namun, karena tidak ada kepastian tentang hasil sayembaranya, kliping tersebut kini sudah entah di mana,” kata Apoly menyesal.
Apa yang diceritakan Apoly terjadi. Selepas ia mengirimkan naskah lagu dan yair Hymne Untad beserta riwayat hidupnya kepada panitia sayembara, hingga 35 tahun berselang, tidak ada secuilpun kabar tentang hasil sayembara tersebut. Dirinya pun baru mengetahui jika lagu gubahannya sudah digunakan Untad selama 35 tahun, setelah tanpa sengaja anak bungsunya menemukan syair Hymne Untad ciptaannya, tertera dalam Statuta Untad.
“Anak bungsu saya yang sekarang sedang kuliah di Universitas Indonesia (UI), pada 2017 lalu, iseng mengetik nama saya pada mesin pencarian google. Tanpa sengaja, dia menemukan nama saya tercantum dalam syair Hymne Untad yang ada di Pasal 6 Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) No 8 tahun 2015 tentang Statuta Universitas Tadulako,” jelasnya.
Dalam lampiran Pasal 6 Statuta Untad, tertulis nama Apoly Bala sebagai pencipta lagu dan syair. Sementara pada aransemen tercantum nama DN Kumontoy. Sontak, si anak bungsu langsung mengontak Apoly untuk memberitahukan hal tersebut. “Setelah saya dengar infonya, saya minta dia cetak isi lengkap statuta tersebut. Saat pulang untuk liburan Natal 2017, salinan statuta tersebut diserahkannya ke saya dan ternyata setelah saya cek, syair dan lagu tersebut memang yang saya buat puluhan tahun lalu,” ujarnya.
Mengetahui karyanya digunakan Untad, pada Januari 2018, Apoly mengirimkan surat klarifikasi yang dikirimkan oleh anaknya ke email Rektor Untad. Namun selang beberapa bulan, email tersebut tidak direspon. Akhirnya sekitar Maret atau April, dengan isi surat yang sama, Apoly mengirimkan secara fisik ke alamat kampus Untad. “Dalam surat tersebut, saya lampirkan riwayat hidup (CV), identitas, serta karya-karya yang pernah saya hasilkan,” ujarnya.
Ia menambahkan, ketika surat fisik dikirim, selang beberapa hari, balasan surat tersebut datang. Ia mengaku ditelepon oleh Pak Yos dari Untad, yang ternyata berasal dari daerah yang sama dengannya di Lembata. Pada kontak terakhir Juni 2018 lalu, meneruskan pesan Rektor Untad, Yos bertanya kepada Apoly, apakah ingin datang ke Palu pada pelaksanaan wisuda 5 Juli lalu, atau pada peringatan Dies Natalis ke-37 Untad, 20 Agustus. “Saya jawab, kalau bulan Juli saya belum siap. Saya putuskan datang pada peringatan Dies Natalis Untad,” ujarnya.
Tiba di Palu pada 8 Agustus, Apoly dipertemukan dengan Rektor Untad. Dalam pertemuan tersebut kata dia, Rektor mengaku menerima dua surat tersebut. “Saya awalnya bertanya-tanya ada beberapa kemungkinan, bisa saja dulu pihak Untad yang lalai, atau surat pemberitahuan sudah dikirim, tapi tidak sampai ke tangan saya,” ujarnya.
Pada momen pertemuan tersebut, Rektor secara pribadi dan atas nama institusi meminta maaf secara langsung kepada Apoly. Rektor bahkan segera membentuk tim khusus untuk menyelidiki hal tersebut. “Kesan saya saat bertemu langsung pak rektor, orangnya sangat luar biasa, sangat objektif. Dia mengatakan kepada saya, lagu tersebut adalah lagu yang monumental dan sampai kapanpun akan jadi identitas kampus. Sama seperti yang dikatakan Pak Yos waktu pertama kali mengontak saya, bahwa lagu saya tersebut sangat populer di Untad,” urainya.
Untuk menyelidiki terkait sejarah Hymne Untad tersebut Apoly dibawa oleh Yos menemui salah seorang mantan Pembantu Rektor II Untad di tahun 1980-an. Dari pertemuan tersebut, mantan PR II Untad tersebut menjelaskan, pernah PR II Untad tersebut dalam suatu kesempatan di tahun 1980-an, bertemu dengan Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana), bernama Frans.
“Dalam pertemuan tersebut, dia (PR II Untad red.) sempat mencari orang yang menang sayembara hymne tersebut. Rektor Undana menanyakan siapa namanya, namun dia ternyata lupa nama pemenangnya. Jika pertemuannya pada 1980-an, kemungkinan Rektor Undana yang ditemuinya adalah Prof Frans Likadja dan pertemuannya menurut saya mungkin belum berselang lama setelah sayembara,” jelasnya.
Mantan PR II Untad tersebut, kata dia, juga menyebutkan jika karya yang dikirim waktu itu hanya lagu dan syair, sehingga menganggap jika dulu ia juga mengirim aransemen lagunya, harus dikaji kembali, karena baik maupun pihak Untad, tidak lagi memiliki data terkait hal tersebut.
Terkait penghargaan yang diterimanya, Apoly mengaku senang karyanya ternyata digemari orang. Hal ini kata dia, juga menjadi motivasi baginya untuk berkarya, untuk membuat orang lain merasa senang, apalagi kata dia ini untuk lembaga. “Harapan saya untuk Untad, sudah tersirat dalam syair lagu ini. karena syair lagu ini berisi pesan dan doa serta harapan yang dibungkus dengan lagu, agar gaungnya sampai kepada pendengarnya,” ujarnya.
Tertarik kata ‘Tadulako’
Apoly mengisahkan, saat melihat pengumuman sayembara tersebut, hal yang menarik baginya justru adalah kata ‘Tadulako’ pada nama universitasnya. Mengapa ia tertarik? Dalam bahasa daerahnya, kata Tadulako itu terdiri dari dua kata: yaitu Tadu dan lako. Tadu berarti tinju dan Lako artinya musang hutan. “Karena penasaran dengan nama itu, saya seperti terinspirasi untuk membuat lirik dan melodinya,” kisahnya.
Oleh karena lagu itu bentuknya hymne, ia memahami bahwa hymne ini lagu pujian. Di di dalam pujian, ada salah satu unsur penting yaitu doa. Makanya, bait-bait awal hymne tersebut dimulai dengan ungkapan doa. “Lagu ini dibagi dalam tiga bagian, di mana masing-masing dua baris. Bagian pertama isinya doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, bagian kedua berisi misi perguruan tinggi, sedangkan bagian ketiga berisi pujian kepada almamater,” jelasnya.
Hymne tersebut memiliki unsur religius. Sebagai manusia, jelasnya, sebagai manusia usaha tanpa adanya campur tangan Tuhan tidak ada arti. Ia mengaku proses pengerjaan lagu itu lumayan cepat karena inspirasinya langsung muncul. Saat bertemu Rektor Untad pada 8 Agustus 2018, ia sempat menanyakan arti kata ‘Tadulako’.
Melalui rektor dan beberapa pihak, ia mendapatkan jawaban bahwa istilah Tadulako lekat dengan jiwa kepemimpinan, utamanya kepemimpan yang bersifat kolektif. “Jika memang demikian maknanya, maka mestinya melalui institusi ini, mahasiswa harus belajar menjadi pemimpin di masyaraat. Untad ini sebenarnya adalah perguruan tinggi yang memimpin dan mendidik calon pemimpin, sehingga untuk itu, Untad wajib menggali nilai budaya dan makna serta ciri khas Tadulako untuk diaplikasikan kepada mahasiswanya,” ujarnya.
Untuk mengisi masa tuanya, Apoly, pria yang membuat arensemen lagu Flobamora, lebih banyak menghabiskan waktu berkumpul bersama keluarga di kediamannya di Jalan Nangka, Kelurahan Oeba, Kota Kupang. Sejak pensiun sebagai ASN tahun 2010 ia menikmati keseharian di dunia yang bersentuhan dengan musik. Ia juga melanjutkan aktif dalam Paduan Suara Sekarsari yang sudah ia bina puluhan tahun.
Herman Wutun, kerabat dekatnya dari Uruor, Jumat, 24 Januari 2010, mengabarkan bahwa Apoly menurut mata selamanya. Apoly menghadap Ata Rajan, Tuhan, di Rumah Sakit Siloam. Herman mengaku, Apoly sosok bersahaja, sederhana, keras pendirian, ulet dan disiplin. Ia memberi diri bagi banyak orang dalam kesederhanaan, selama 30 tahun lebih membina paduan suara Sekar Sari hingga ajal menjemputnya,” kata Herman Wutun, Ketua Umum Induk KUD.
Warga masyarakat kampung Lewuka, Udak, dan Uruor tentu mengenang sosok Apoly Bala Wutun, anak kampung inspiratif. Ia meninggalkan kampung, melintas Karabau Knoki guna melarat agar kelak berguna bagi bangsa dan negara di rantau. Pun masyarakat Lembata dan Nusa Tenggara Timur, tentu merasa kehilangan masetro musik yang berjasa memajukan musik lokal dan Gerejani. Pun Universitas Tadulako dan masyarakat Sulawesi Tengah tentu mengenangnya sebagai sosok yang telah berjasa menciptakan Hymne Untad bagi masyarakat dan civitas akademika Untad.
Pastor Dr Bernardus Boli Udjan SVD, kerabatnya dari Lewuka mengenang Apoly sebagai sosok yang amat berjasa untuk kita semua orang. “Beliau berjasa untuk liturgi Gereja khususnya sebagai komponis lagu-lagu liturgi dan dirigen handal, juga pendidikan di Nusa Tenggara Timur. Kita kehilangan besar. Semoga semangatnya kita warisi dan teruskan kepada yang lain. Terima kasih, Pak Apoly Bala untuk segala jasa dan kebaikan. Semoga Almarhum berbahagia di surga dan bersatu dangan para kudus dan malaikat dalam madah syukur pujian tanpa henti bagi Tuhan,” ujar tuan Boli Ujan.
Pastor Yeremias Bala Pito MSF, kerabat lain Apoly dari Lewukak, mengenang almahrum dalam curahan hati menggugah. Ia menulis, hari ini semua terhenyak atas kepergian seorang pribadi yang telah panjang menghiasi pelataran musik gereja, musik daerah NTT mengisi serambi hati seluruh insan Flobamorata, tulus, tidak pernah berpikir untung dalam rupa fulus.
“Apoly Bala melukis indah jajar musik indahnya membuatku selalu kagum dalam ekspresi setiap bertemu. Kucium tangan halusmu yang sudah membuat NTT-ku berdenyut di nadi musik yang penuh tanpa balutan atau pernak pernik cerdik lainnya, namun sungguh murni mengharumkan lantunan nada dan suara putra-putri Flobamorata. Tidak cukup melukis retas jalan yang telah dibentang dan surut aku mengakui akan meneruskan laku yang telah dipaku, tapi biarkan bergerak sekehendak zaman. Doakan kami yang berusaha meneruskan segala yang telah diletakkan agar pada titiknya boleh berkanjang pada muara yang semestinya. Beristirahatlah dengan damai, Bapak Apoly Bala. Tuhan terimalah hamba-Mu ini dalam kebahagiaan kekal di Surga. Amin,” kata tuan Bala Pito.
Jakarta, 24 Januari 2020
Ansel Deri, Orang Kampung Asal Boto; Mengenang Alm. Apoly Bala Wutun
Sumber foto: Copas jefrianto dan dok Herman Wutun