Bira-Kapal itu setinggi hampir 3 orang laki-laki dewasa. Panjangnya mencapai 30 meter. Tampak 12 kayu penyangga kapal menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri, menjaga agar badan raksasanya tidak roboh. Perlu usaha yang agak payah untuk naik menuju buritan kapal yang baru akan selesai dibuat 2 bulan lagi tersebut.
Diatas tampak 3 orang sedang membengkokkan kayu sepanjang 2 meter untuk dipasang di ujung haluan. Salah satu pekerja menjelaskan bahwa kami tidak sedang berdiri di geladak utama. Mengejutkan, rupanya kapal ini akan lebih tinggi lagi. Tempat yang tadinya kami kira geladak utama nantinya akan menjadi restoran didalam kapal.
Kapal yang sedang digarap oleh Muhammad Djafar dan anaknya ini adalah jenis Padewakang, salah satu model kapal khas Sulawesi Selatan selain Pinisi. Kapal Padewakang berusia lebih tua dari kapal Pinisi. Deperkirakan, kapal ini telah dipergunakan oleh orang Makassar pada abad ke-16 untuk mencapai benua Australia. Keunikan dari kapal padewakang adalah layarnya berbentuk segi empat. Bentuk kapal dengan layar seperti ini juga terdapat dalam relief kapal pada candi Borobudur.
Melihat pembuatan kapal tradisional disini cukup mengejutkan. Tidak seperti teknologi modern saat ini dalam membuat kapal, disini semua dilakukan dengan cara yang masih tradisional. Semua peralatan yang digunakan berasal dari kayu. Terlihat hanya sebuah bor dan las listrik alat modern yang digunakan.
Bagi seorang Panrita Lopi (tokoh adat ahli perahu), ilmu pasti dalam pembuatan kapal tidak sepenuhnya berlaku. Mereka lebih mengandalkan pengalaman dan perasaan. Perahu yang sedang dibuat sekarang misalnya, Muhammad Djafar tidak membutuhkan design atau gambar. Hanya mengandalkan perasaan. Demikianlah yang dilakukan nenek moyangnya selama berabad abad dan turun temurun. Kecuali jika ada permintaan design khusus dari si pemesan kapal.
Metode yang bertolak belakang dengan metode modern juga masih lekat dengan tradisi pembuatan kapal di wilayah Tanahberu ini. Bahkan, ritual-ritual khusus sebelum dan sesudah pembuatan masih dilakukan. Misalnya ritual Sambung Lunas, pelarungan lunas dan upacara Selamatan.
Menurut Rahma Djafar, anak ke enam dari Muhammad Djafar, para Panrita Lopi memperlakukan sebuah kapal seperti tubuh manusia dan kadang meyakini sebuah kapal memiliki jenis kelamin.“Berdasarkan perasaannya, seorang ahli kapal dapat mengatakan jenis kelamin sebuah kapal ketika sudah setengah jadi, apakah ini kapal laki-laki atau perempuan,” ujarnya.
Ahmad Abdul, Penyusun Dokumentasi dan Publikasi Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar, bahkan mengatakan dahulu seorang Panrita Lopi dapat mengetahui nasib kapal yang dibuatnya.”Menurut cerita, mereka bisa tahu kapal yang dibuatnya akan tenggelam oleh apa atau karam dimana”.
kebudayaan.kemdikbud.go.id