SETIAP akhir pekan, ia selalu mampir di kos saya di Oebobo, depan toko Calvary, Jalan WJ Lamalentik, Oebobo atas, tak jauh dari lampu merah El Tari, depan kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur. Kalau bukan kangkung Oeba atau ubi kayu, bunga dan daun atau bunga pepaya ada di kantong kresek hitam. Matias Nara Tifaona atau akrab dengan sapaan Tyas segera bergabung dengan sesama anak kos yang rata-rata dari lereng Labalekan yang tengah melanjutkan kuliah di berbagai perguruan tinggi di Kupang. Tatkala saya mendata beberapa mahasiswa asal Nagawutun dan Wulandoni untuk saya himpun dalam wadah Ikatan Pelajar Mahasiwa Paroki St Joseph Boto (IMPB) Kupang, Robertus Rudi Olaguna (Rudy), mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Katolik (Unika) Widya Mandira Kupang nyeletuk polos.menyebut nama Tyas Tifaona.
“Ada satu juga orang Fafelima yang kuliah di Fakultas Ekonomi Unika. Beberapa kali saya sempat bertemu. Tapi saya kurang begitu kenal. Dia tinggal di Oeba. Baik juga kalau dia kita ajal gabung di organisasi kita ini,” ujar Rudy Pukan. Kami ketawa. Ketawa karena Rudy menyebut “Fafelima”, kampung asal Tyas Tifaona. Fafelima atau lebih pas Faflima adalah sebutan akrab di kalangan warga pedalaman lereng Labalekan untuk Imulolong. Sedang orang Fafelima yang dimaksud adalah Matyas Nara Tifaona. Sebagai sesama mahasiswa asal Lembata di lereng Labalekan, Tyas beberapa kali sudah sering mampir di kos saya di Oebobo. “Sayur-sayuran, pisang, dan aneka buah-buahan di Pasar Oeba sangat banyak. Jadi, saya mampir sebentar sekalian beli sayur dan ikan tembanh baru naik bemo lampu 6 jurusan terminal Kupang arah Oebufu. Nanti bisa tambah-tambah kita makan siang atau makan malam bersama di kos kaka,” katanya.
No Tyas, begitu saya menyapanya sudah beberapa kali bertemu saat saya masih sekolah di Lewoleba kurun waktu 1987-1990. Setelah bergeser dari Ur(u) Mitem ke Bluwa, Lewoleba, saya tinggal di rumah Pak Markus Kedati Klobor, tak jauh dari rumah Pak Yohanes Galot Tifaona, ayah Tyas Tifaona. Sesekali saya bertemu Pak John dan isterinya yang singgah di Bluwa di tengah ia menunaikan tugas sebagai pegawai penyuluh lapangan Keluarga Berencana Kecamatan Atadei di Kalikasa. “Bapa pernah cerita ibu jari kaki pernah ketiban batu saat ikut bantu tukang gali perigi di rumah kami di Bluwa. Kukunya sampai terlepas,” kata Tyas Tifaona kepada saya mengulang cerita Pak John Tifaona, sang ayah. Saya pun “buka kartu” pengalaman unik saat masih sekolah di SMA Kawula Karya Lewoleba. Saya dan dua sahabat, Gerardus Ratu dari Ndondo, Ende dan Eman Kia Tokan pernah tak makan sehari saat berangkat sekolah. “Periuk nasi satu-satunya dibawa anjing dan raib entah kemana. Usai kami masak nasi dan ikan lupa cuci dan gantung di dinding. Sekitar jam 07.00 lewat, anak-anak sekolah yang berjalan menuju sekolah di atas bukit menemukan periuk tergeletak di pinggir jalan. Ternyata periuk itu dibawa anjing karena masih amis. Dengan kecewa saya ambil periuk itu lalu bawa ke dapur dan segera berangkat sekolah tanpa sarapan sampai jam pelajaran siang,” kata saya. Kami ngakak di kos Oebobo.
Lama tak bersua
Usai menunaikan kuliah saya memilih masuk Jakarta. Sejak awal kuliah, saya mewujudkan niat masuk Jakarta. Tujuannya, dua adik saya juga punya kesempatan kuliah. Adik saya, Paul, memilih masuk Dili, Timor Timur membantu kaka Albert Glinger de Ona, seorang kerabat dari kampung yang sudah lama menjadi mandor hutan tanaman industri (HTI). Paul bergabung sebagai buruh HTI di Kabupaten Kovalima dan tinggal di Foholulik, tak jauh dari Suai, kota Kabupaten Kovalima. Sejak itu, saya juga kehilangan kontak dengan Tyas Tifaona setelah ia menyelesaikan kuliah jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Unika Widya Mandira Kupang.
“Untung ada medsos jadi kita bisa bertemu kembali. Saya berterima kasih kita pernah merasakan dan melewati masa-masa sulit saat masih tinggal di Kupang,” kata Tyas Tifaona saat kami bertemu di kompleks Gedung DPR/MPR RI Senayan, Jakarta tahun 2016. Beberapa hari sebelumnya, Tyas mengontak saya via telepon selular. Ia meminta kami bertemu usaia ia mengikuti Ujian Sertifikasi Manajemen Resiko Level 1 kerjasama Bank NTT dengan Badan Sertifikasi Manajemen Resiko di Jakarta. Tyas mengaku, setelah lulus kuliah, ia melamar dan diterima bekerja di Bank NTT. “Rejekinya diterima bekerja di Bank NTT. Ya, saya syukuri saja apa pekerjaan saat ini. Tuhan selalu menunjuk jalan kepada kita selama kita meniatkan hati dengan tulus untuk mengabdi bangsa dan negara,” kata Tyas merendah.
Namun, kabar gembira datang dari Tyas Tifaona. Sejak 18 Agustus 2020 lalu, pihak manajemen Bank NTT mempercayakan Matias Nara Tifaona sebagai Pemimpin Cabang Bank NTT Mbai, Kabupaten Nagekeo, Flores. Tyas bersama 11 orang rekannya mengikuti seleksi untuk mengisi empat pos pimpinan cabang Bank NTT Cabang Surabaya, Bajawa, Labuanbajo, dan Mbai. Setelah melewati seleksi, enam orang lulus kemudian mengikuti seleksi lanjutan. “Saya temasuk yang dinyatakan lolos. Kemudian dipercaya sebagai Pemimpin Cabang Bank NTT Cabang Mbai sejak 18 Agustus lalu. Saya baru saja melapor diri kepada Bupati Nagekeo, Pak Don Bosko sebelum memulai tugas di Mbai,” kata Tyas.
Siapa Matias Nara Tifaona? Tyas berasal dari Dusun Imulolong (Faflima), Kecamatan Wulandoni, Lembata. Lahir di Hadakewa, 6 Oktober 1978 dari pasangan Yohanes Galot Tifaona & (alm) Rosa Kedapi Ikeng. Tyas tamat Sekolah Dasar Katolik (SDK) Kalikasa dan SMP Negeri 1 Kalikasa, Atadei. Tyas melanjutkan sekolah di SMA Negeri Lewoleba. Ia kemudian masuk jurusan Manajemen FE Unika Widya Mandira Kupang tahun 1996 dan selesai 2002. Tahun 2005, ia diterima bekerja di Bank NTT Cabang Lewoleba. Hanya selang setahun, pada 2006 ia pindah ke Labuanbajo, Manggarai Barat, Flores hingga Mei 2008. Pada Juni 2008 ia dipindahkan ke Pulau Sabu, Kabupaten Sabu Raijua.
“Tahun 2011 saya diberi kepercayaan menjadi Koordinator Unit Simpan Pinjam Desa ata USPD Sabu Timur. Kemudian tahun 2015 dipindahkan menjadi Kepala Kas Cabang RSUD dr Hendrik Fernandez Larantuka. Tak lama, tahun 2017 menjadi Kepala USPD Boru, Kecamatan Wulanggitan. Kemudian pada Maret 2019 menjadi Pemimpin Bank NTT Cabang Pembantu Boru. Pada Juni 2019 menjadi Wakil Pemimpin Cabang Sabu. Pada Februari 2020 dipercaya sebagai Wakil Pemimpin Cabang Larantuka sebelum pindah ke Mbai,” kata Tyas Tifaona, suami Wilhelmina Korebima dan ayah dua putra: Nopa dan Johan.
Semasa kuliah Tyas aktif sebagai anggota Resimen Mahasiwa (Menwa) Unika Widya Mandira. Di luar kampus, ia adalah anggota Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Kupang. Ia menyadari sebagai mahasiswa organisasi intra dan ekstra universiter adalah wadah efektif menempah diri untuk masa depan di mana saja ia bekerja. Disiplin dan kerja keras adalah sesuatu yang dibutuhkan. Pengalaman perjuangan orangtua dan saudaranya dari Imulolong hingga meraih sukses adalah pelajaran hidup yang selalu ia jadikan cermin. Kedua orangtuanya juga selalu memotivasi dirinya dalam berjuang menggapai cita-citanya. “Nasehat kedua orangtua selalu saya pegang. Sukses itu sekadar konsekuensi dari konsistensi kita dalam bekerja keras dan bekerja cerdas. Selebihnya, doa adalah hal yang tak bisa ditawar,” katanya.
Kisah sukses orang-orang dari lereng Labalekan selalu menjadi inspirasi hidup. Tyas menyebut, sosok Btigjen Pol (Purn) Anton Enga Tifaona, sang kakek adalah orang yang selalu memotivasi banyak anak kampung dalam bertahan hidup dan sukses meraih karier di berbagai bidang. Entah imam, suster, bruder, guru bahkan petani. Begitu juga putera Anton Enga Tifaona, Kombes Pol Daniel Boli Tifaona, yang saat ini berdinas di Mabes Polri. “Saat opa Anton liburan di Imulolong, ia berpesan agar generasi muda tak boleh patah semangat meski kami masih serba kekurangan sana sini. Namun, kalau sudah punya semangat berjuang maka sukses pasti akan kita raih,” kata Tyas Tifaona. Selamat bertugas, ade kepala. Salam ke Mbai. Dewa beka. Molo…
Jakarta, 21 Agustus 2020
Ansel Deri
Orang udik dari kampung;
Catatan untuk Tyas Tifaona