DALAM pekerjaan kita apa pun kita semua terpanggil untuk menjadi ‘pemimpin’. Bila roh pemimpin itu melekat dalam diri kita apakah kita sudah merasa berhasil memimpin orang lain? Apakah kepemimpinan kita dilandasi rasa ‘kasih sayang’? Apakah kita mampu memberikan pengaruh positif kepada orang lain sehingga bermaanfaat bagi mereka dan pada akhirnya mereka merasa berubah? Apakah kita mampu menjadi rule model dan menyapa dengan sikap rendah hati? Pertanyaan-pertanyaan reflektif ini menggugah Josef Bataona untuk membagikan pengalamannya sebagai pemimpin entah itu di Unilever, Bank Danamon, ataupun di Indoofood. Pengalaman-pengalaman Josef Bataona ini ia terbitkan sebagai buku. Sudah tiga buku tentang ‘kepemimpinan’ yang lahir dari tangannya (buku pertama berjudul Kisah Rp 10.000 yang Mengubah Hidupku, buku keduaberjudul # Curhat Staf dan buku ketiga berjudul Leader as Meaning Maker, ketiga buku ini diterbitkan oleh Penerbit Kompas). Pria kelahiran Lamalera, Kabupaten Lembata ini baru-baru ini menerbitkan buku ketiganya dengan judul Leader as Meaning Maker.
Buku Leader as Meaning Maker menarik bagi mereka yang mau mempraktekan seni kepemimpinan dengan kasih sayang, memimpin dengan pesan-pesan positif, memimpin dengan sikap rendah hati, memimpin dengan menjadikan diri rule model, memimpin sebagai pemimpin yang mendengarkan.
Dalam bukunya ini, Josef Bataona banyak menimba inspirasi selain dari pengalamannya, ia banyak menimba inspirasi dari penulis-penulis seperti Dale Carnegie, Stephen Covey, Maxwell, Shannon L. Alder, Maya Angelou.
Memimpin dengan Kasih Sayang
Josef Bataona dalam bukunya Leader as Meaning Maker pada sub judul “Leading with Love” menginterupsi para pemimpin betapa memimpin dengan kasih sayang adalah point paling penting dalam memimpin. Ia menulis:
“Saya rutin menyimak video pendek “Minute with Maxwell’ yang dikirim pada saya setiap hari. Ada satu hal yang ingin saya angkat dan bagi kepada pembaca semua, walaupun saya sangat yakin semuanya sudah paham, namun tidak ada salahnya untuk terus saling mengingatkan. Ia mulai videonya dengan ungkapan berikut ini:
“When you stop loving your people, you should stop leading your people.”
Alasannya sederhana. Saat seorang leader memimpin dengan kasih sayang, yang senantiasa muncul bukan tentang siapa leadern-ya. Apa pun yang mereka lakukan bukan berkaitan dengan siapa leaderitu, melainkan tentang orang lain, orang yang mereka pimpin. Ungkapan berikut juga tidak kalah menarik:
“It is wonderful when the people believe in leaders, but more wonderful when the leader believe in people. That is leading and love all about.”
Maxwel mengakui, leadership itu sulit, dan penuh tanggung jawab yang berat. Banyak di antara kita yang mungkin telah lelah menjadi seorang leader.Walaupun demikian, apa yang memotivasi kita untuk terus berperan sebgai leader adalah karena kita mengasihi orang-orang (hal 17).”
Tulus Mendengarkan
Dale Carnigie adalah inspirator yang banyak menginspirasi Josef. Buku Dale Carnigie yang membuat namanya terkenal adalah “How to Win Friends and Influence People”. Rasa kasih terhadap manusia, membangkitkan semangat, mengekspresikan gagasan, adalah nilai-nilai penting yang dapat kita peroleh dari buku ini. Josef dalam tulisannya “Ketertarikan dan Tulus Mendengarkan” dengan inspirasi dari Carnigie bertutur:
“Dalam paparannya di buku The Leader in You, Dale Carnegie mengungkapkan:
“Tunjukan ketertarikan yang tulus kepada orang lain. Tidak ada cara yang lebih baik untuk membuat orang tertarik kepada Anda. Orang akan merespon orang yang tertarik secara tulus kepada mereka. Mereka tidak punya pilihan lain selain merespon. Ini salah satu fakta paling dasar dari psikologi manusia. Kita tersanjung dengan perhatian orang lain. Itu membuat kita merasa istimewa, merasa penting.’
Pemimpin yang andal senantiasa meluangkan waktu untuk mendengarkan, turun dan hadir secara fisik di tengah karyawan, bahkan di daerah yang jauh sekalipun. Pemimpin hadir melalui kedua telinga yang terbuka lebar serta hati yang siap untuk mendengarkan. Banyak hal yang sesungguhnya karyawan ingin sampaikan kepada pimpinan bilamna mereka mendapat ruang dan kesempatan di tempat kerja mereka (hal 40).”
Pemimpin yang Bertanya
Mantan CEO Harley Davidson, Rich TeerLink bersama konsultan pengembangan organisasi Lee Ozly, dalam karya mereka yang berjudul More Than Motorcycle: The Leadership Journey at Harley-Davidson menulis jalan yang ditempuh management Harley Davidson untuk ke luar dari gempuran kekalahan mereka terhadap produk-produk Jepang.
Seperti paham betul dengan ‘technology makes it possible, people make it happen’, raksasa motor ini mengkonsentrasikan seluruh langkahnya untuk membenahi orang dan organisasinya. Di sektor kepemimimpinan mereka berpendapat: When the crisis goes away, leaders have to stop taking answer to their people instead take question to their people. Bertanya sebagai sarana kepemimpinan memiliki derajat efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jawaban.
Dalam Tulisannya “Mengenal dan Memotivasi Team” (hal 98) Josef juga menekankan pentingnya seorang pemimpin yang terus bertanya, ia menulis:
“Melalui cuitan di Twiter awal Mei lalu, Steve Keating sengaja menggugah perhatian kita dengan menceritakan pengalamnnya bertanya kepada banyak orang yang menduduki posisi leader: what motivates your people? Menurut Steve dalam menjawab pertanyaan itu, seorang authentic leaders mempunyai Jawaban, sementara yang lainnya mempunyai respon. Apa perbedaan keduanya itu ?
Jawaban didasari oleh apa yang ia ketahui. Sementara itu, respon didasari oleh apa yang ia pikirkan atau yang ia pikir ia tahu. Authentic leader tahu apa yang memotivasi orang-orangnya , sebab ia bertanya kepada mereka, sementara leader yang lain hanya berasumsi bahwa mereka tahu, atau mengira bahwa apa yang memotivasi seseorang akan juga memotivasi orang lain.
Berasumsi bahwa mereka tahu apa yang memotivasi orang lain adalah kesalahan yang umum dilakukan leader yang tidak efektif. Setiap orang itu unik. Mereka memiliki pengalaman hidup yang berbeda yang membentuk keyakinannya, apa yang disukai atau tidak disukai, serta apa yang memotivasinya. Membuat asumsi dengan menggeneralisasi hal tersebut merupakan kesalahan yang fatal.
Authentic leader meluangkan waktu berharganya untuk memahami apa yang menjadi motivator unik dari setiap individu. Terkadang, itu berarti membantu timnya menemukan apa yang memotivasi mereka, karena seringkali orang tidak berhenti mempertimbangkannya sebagai pertanyaan penting (apa yang memotivasi) bagi diri sendiri.
Authentic leader tahu bahwa setiap orang pada dasarnya punya motivasi. Namun, ada yang kehilangan motivasi dalam perjalanan hidup ini sehingga perlu diingatkan dan di-refresh. Sementara, anak buah lain yang sudah punya motivasi perlu dibantu untuk tetap mempertahankan motivasinya.
Apa pun lingkungan tempat tim Anda berada, salah satu tanggung jawab utama sebagai seorang leader adalah membantu mereka untuk mempertahankan motivasi atau menumbuhkan kembali motivasi yang sudah redup. “
Legacy
Stephen Covey, penulis buku The 7 Habits of Highly Effective People, menganjurkan 7 kebiasaan untuk mendorong manusia melihat dunia dengan cara yang baru. Salah satu point yang diajukan adalah bagaimana kita ‘menuju ke tujuan akhir’. Akan seperti apa kita 5 tahun atau 10 tahun ke depan ditentukan oleh kebiasaan kita hari ini. Kata-kata seperti apa yang hendak kita dengarkan pada saat pemakaman kita? Ditentukan oleh kebiasaan kita hari ini. Legacy menjadi sesuatu yang penting di mata Stepen Covey.
Dalam tulisannya “Legacy”, Josef juga menanamkan pada karyawannya betapa pentingnya legacy. Ia menulis:
“Megamendung Learning Center menjadi saksi betapa banyak karyawan yang telah memutuskan misi hidupnya melalui program 7 Habits of Highly Effective People. Program ini sekaligus mengajak peserta untuk memutuskan saat ini juga, legacy apa yang akan ditinggalkan setelah mereka pergi? Mereka ingin diingat sebagai apa atau siapa? Dan, tentu saja ini buah dari kesan yang mendalam yang menyentuh emosi orang sekitarnya. Saat saya pensiun dari Unilever akhir Juli 2011, karyawan kami memberikan sebuah lukisan besar (foto di atas) sebagai my leaving legacy , yang menceritakan bahwa langkah yang telah kami lakukan bersama, yakni membangun budaya positif untuk memacu pertumbuhan setiap karyawan sudah membuahkan hasil (hal 204).”
Filsuf Emmanuel Levinas, dengan sangat tepat menggambarkan bahwa tanggung jawab muncul karena “tatapan wajah” orang lain. “Tatapan wajah” orang lain, menurut Levinas, memanggil saya untuk bertanggung jawab terhadapnnya. Dengan menampakkan diri saja mereka sudah membebankan tuntutan yang tidak terbatas kepadaku. Wajah orang lain, kenyataan bahwa mereka – entah laki-laki entah perempuan, entah orang dewasa entah anak-anak – ada dan menatapku sudah membuat aku menjadi seorang hamba yang bertanggung jawab atas keberadaan mereka atas hidup dan tingkah laku mereka. Josef Bataona dalam seluruh uraian bukunya Leader as Meaning Maker telah menghidupi spirit dari Levinas ini. Terpanggil untuk bertanggung jawab terhadap orang lain. (Paskalis Bataona)
- Bila Anda tertarik untuk memiliki buku Leader as Meaning Maker eksklusif dengan tanda tangan penulis, dapat menghubungi kami lewat WA: Paskalis Bataona 081280642742.