Jakarta, berandanegeri.com. SUSTER Franselin Sabu, SSpS meminta saya bertemu di rumah kerabatnya dari Adonara, Flores Timur. Persisnya di sekitaran Jalan Otto Iskandar Dinata (Otista), Kelurahan Bidaracina, Jakarta Timur. Tak jauh dari Gereja Santo Antonius Padua Bidaracina, paroki saya. Jauh-jauh terbang dari Ruteng, kota Kabupaten Manggarai, biarawati itu bertaruh waktu di Jakarta demi sejumlah panti rehabilitasi kusta di bawah naungan Yayasan Santo Damian Cancar, Keuskupan Ruteng, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, milik Kongregasi Suster Misi Abdi Roh Kudus atau dalam kata bahasa Latin, Congregatio Missionalis Servarum Spiritus Sancti (SSpS).
Ada Panti Rehabilitasi Kusta dan Cacat Santo Damian Cancar, Kabupaten Manggarai, Panti Rehabilitasi Kusta dan Cacat Santo Damian Unit Binongko, Manggarai Barat, dan Panti Rehabilitasi Kusta dan Cacat Unit Ngalu, Waingapu, Sumba Timur. Meski singgah di rumah kenalannya di Bintaro, Tangerang, Provinsi Banten. “Ada kenalan yang menahan saya harus nginap di rumahnya. Mereka menyediakan mobil dan supir kapan saja bisa mengantar saya selama di Jakarta. Jadi, kita ketemu di Otista agar tidak mengganggu aktivitas ade,” kata Sr Franselin, SSpS, Ketua Yayasan Santo Damian Cancar, Manggarai dari balik telepon genggam. Tak sulit mencari alamat kerabatnya setelah tukang ojek online mengantar saya ke alamat yang dituju.
Pagi ini, Sr Franselin mengontak saya dari Cancar, Manggarai, Flores. Ia mengabarkan, personil kelompok musik SLANK menyambangi anak asuhnya. Jauh-jauh dari Jakarta, SLANK berbaur dengan pengelola dan penghuni Panti Rehabilitasi Kusta dan Cacat Santo Damian Unit Binongko, Labuan Bajo, Manggarai Barat, ujung barat Flores. Informasi kehadiran personil SLANK di panti rehabilitas kusta di bibir pantai itu membuat Sr Franselin segera meluncur ke panti rehabilitasi kusta dan cacat yang terlekat di kampung Binongko tersebut. Ingatan biarawati asal Adonara berdarah kampung Kluang, Boto, Lembata ini menyasar anak-anak asuhnya di panti rehabilitasi yang sebagian tinggal dan akrab dengan alam pedesaan dan pantai. Berikut kerja keras sebagian besar penghuni panti yang saban waktu bertaruh peluh di kebun atau laut untuk melatih kemandirian mereka.
“Selama ini kita menampung, merawat, dan menyayangi para penghuni dengan cara berbeda. Mereka saling membantu satu sama lain dalam kondisi keterbatasan. Bagi yang punya kemampuan bertani, kita ajak mereka ambil bagian menolong temannya agar cepat mandiri. Jadi kalau penghuni panti ingin makan nasi atau jagung, kita minta donatur bantu tofa, pacul, parang atau klewang. Begitu pula kalau ingin makan ikan, kita minta donatur bantu kail atau sampan,” kata Sr Franselin. Menurutnya, di Ngalu jumlah orang kusta sebanyak kurang lebih 65. Mereka tinggal di rumah dan dilayani di sana pengelola. Kalau ada perawatan khusus dibawa ke klinik. Sedangkan di Binongko ada 20 orang. Kemudian di Cancar ada 80 orang tinggal dalam panti. Sebanyak 24 orang tinggal di luar.
Biarawati yang ramah ini mengaku sudah menyatu dengan Manggarai. Ia menambahkan, selama mempersembahkan hidup dan karyanya bagi Tuhan melalui panggilan hidup membiara selama 34 tahun, nadinya sudah menyatu dengan komunitas SSpS Ruteng. Selama menjadi misionaris di Juba, kota negara Sudan Selatan, benua Afrika selama 6 tahun ia mengaku Tuhan sungguh luar biasa baginya.
Pimpinan SSpS Flores bagian barat mengutusnya kembali ke Manggarai, tanah Congka Sae, Manggarai, untuk kembali melayani Tuhan melalui sesama yang berkekurangan dalam fisik dan mental di Panti Rehabilitasi Kusta dan Cacat Santo Damian Cancar. “Jubah sangat indah dan saya bahagia melayani umat di negara baru itu meski beratap desingan peluruh akibat konflik yang mendera negara baru pecahan dari Sudan. Tetapi Tuhan mengutus saya kembali menjadi misionaris di Manggarai agar saya dapat melakukan sesuatu yang berguna dari Nusa Bunga untuk dunia,” kata Sr Franselin, anak kedua dari pasangan Alm Fransiskus Ola Ebang dan Almhr Juliana Kebang de Ona.
Tentang Sudan Selatan
Saya tertarik dengan kisah Sr Franselin SSpS tatkala menjadi misionaris di Juba, Sudan Selatan. Bayangan tentang Addis Ababa, tanah Misi di negara pecahan Sudan yang kering kerontang, tandus, dan panas sirna. Ia mengaku pada Minggu 5 September 2010 pukul 11.30 waktu setempat, untuk pertama kali ia menginjakkan kaki di tanah Addis Ababa, Sudan Selatan, Afrika. Udara kota negara Republik Demokratik Ethiopia yang terletak di Benua Afrika itu dingin dan hujan terus mengguyur. Setelah mengurus visa ke Sudan, Sr Franselin didampingi rekan-rekan biarawati sesama kongregasi yang bertugas di Addis Ababa, berkesempatan melihat-lihat kota itu sebelum ia terbang ke Juba, ibu kota Sudan Selatan.
“Addis Ababa sangat indah. Setelah menelusuri beberapa tempat saya lihat para penghuni kota itu hidup berdampingan dengan damai. Kaum wanitanya juga cantik seperti kebanyakan orang Arab,” ujar Sr Franseline kepada saya melalui surat elektronik (e-mail) dari Addis Ababa, Ethiopia, Selasa, 14 September 2010. Setelah proses visanya selesai, seharusnya pada Senin, 13/9, pukul 10.00 waktu Addis Ababa biarawati asal Pulau Adonara, Keuskupan Larantuka, Flores Timur, itu bertolak ke Juba. Namun, penerbangan baru terjadi pada pukul 04.00 sore.
Saat itu seluruh penumpang sudah di dalam pesawat, tetapi hujan lebat sekali sehingga para penumpang disuruh turun. Penerbangan akhirnya ditunda sampai besok siang pukul 13.30. “Seluruh penumpang diinapkan di hotel yang disiapkan maskapai penerbangan. Hotel ini juga menyediakan fasilitas internet sehingga saya bisa menghubungi rekan-rekan suster di komunitas,” kata biarawati kelahiran Boto, Lembata, NTT, ini.
Menurut Sr Franselin, sebelum menjadi misionaris di Sudan Selagan ia bertugas di sebuah komunitas SSpS di Bima, Nusa Tenggara Barat. Di Bima ada sebuah karya sosial di bidang kesehatan yang ditangani para suster suster SSpS.Namun, belum beberapa lama mengemban misi sosial kemanusiaan itu, ia mendapat tugas baru di Sudan, Afrika Selatan. Sebelum menjalani misinya di Benua Afrika, Sr Franselin bertolak ke Australia guna mengikuti kursus persiapan selama enam bulan.
Pada awal September 2010, ia terbang ke Addis Ababa, Ethiopia, melalui Dubai, Uni Emirat Arab. Tepat pada 5 September, ia menginjakkan kaki di Addis Ababa. Sebelum masuk Juba, ia terus membayangkan negara tujuannya, Sudan, yang tinggal seminggu melakukan jajak pendapat, referendum, untuk Sudan Selatan pada 9 Januari 2011. “Kita semua perlu berdoa agar referendum berjalan lancar, aman, dan damai agar nama Tuhan semakin dimuliakan di muka bumi,” kata Sr Franselin, biarawati yang lahir sebagai anak kedua kemudian mengikuti jejak Pastor Petrus Payong SVD (Alm), kakak sulungnya sebagai pelayan Sabda. “Saya sungguh merasakan kasih Tuhan dengan melayani sesama. Selama 34 tahun hidup membiara, saya sudah 28 tahun menyatu dengan orang-orang yang saya kasihi di Pusat Rehabilitasi Kusta Cancar dan sesama saudara saya di Manggarai. Di sini saya melayani dengan cara berbeda. Kalau ada yang berbaik hati menawarkan beras, pisang, ibu atau sayur maka saya minta tofa, klewang, benih agar anak asuh bisa bekerja memberdayakan diri dan saling melayani. Begitu pula kalau ada yang orang baik hati mau beri ikan untuk anak asuh saya minta bantuan kail atau sampan,” kata Sr Franselin.
Jakarta, 6 September 2020
Ansel Deri
Orang udik dari kampung;
Pernah ke Labuan Bajo