Oleh Dr. Cicilia Damayanti, Konsultan Pendidikan
Pendahuluan
Hari buruh yang jatuh setiap tanggal 1 Mei selalu menyisakan gugatan kepada penguasa di Indonesia. Setiap tanggal 1 Mei seluruh buruh di Indonesia akan merayakannya dengan melakukan long march menuju istana negara untuk menuntut hak mereka dipenuhi. Meski demikian sangat disayangkan karena sampai saat ini tuntutan mereka hanya terpusat pada sistem pengupahan yang menurut mereka menjadi tolok ukur satu-satunya kesejahteraan. Ada hal lain pula yang terlupakan seperti pendidikan, padahal melalui pendidikanlah kesejahteraan dapat tercapai. Pendidikan menjadi sarana ampuh untuk membuka wawasan mereka tentang hak dan kewajiban yang harus dijalani. Pendidikan menjadi kesempatan untuk mengubah nasib kaum buruh, khususnya buruh perempuan.
Problematika Kaum Buruh Perempuan
Sebagai contoh, ketika harga minyak goreng yang melejit pada bulan Maret 2022 semakin membuka banyak hal kepada kita tentang abainya peran pemerintah kepada rakyatnya, termasuk hak buruh perempuan yang bekerja di perkebunan sawit. Menurut data dari International Labour Organization atau organisasi buruh internasional (ILO), di tahun 2022 ada 38 juta pekerja berada di sektor pertanian dan perikanan yang berarti hampir 30 % dari total penduduk bekerja. Perempuan yang bekerja di sana berjumlah sekitar 13,79 juta orang yang mewakili 36% dari total jumlah pekerja di kedua sektor tersebut.
Dari sekian banyak jumlah buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit tersebut rata-rata berpendidikan rendah, mulai dari tidak bersekolah, tingkat SD dan SMP. Dikutip dari Bisnis.com, upah mereka rata-rata Rp. 20 ribu – Rp. 40 ribu per hari selama 8 jam atau lebih. Akibat pendidikan yang rendah ini menyebabkan mereka minim pengetahuan sehingga mereka tidak mengetahui hak apa saja yang bisa mereka dapatkan sebagai pekerja. Bahkan mereka sering dianggap tidak terlihat karena sebagian besar dari mereka adalah buruh lepas. BHR institute yang melakukan penelitian di sana menemukan bahwa banyak buruh perempuan yang bekerja di perkebunan sawit adalah istri-istri pekerja perkebunan sawit, yang terpaksa bekerja untuk membantu suaminya agar target produksi perusahaan terpenuhi. Mereka sering disebut sebagai “ghost labour”, yang menyebabkan mereka tidak mendapat upah atas pekerjaan yang memiliki resiko tinggi.
Selain upah yang minim mereka juga tidak mendapatkan jaminan sosial, karena tidak tercatat sebagai pekerja. Di samping itu mereka sering mengalami diskriminasi baik fisik maupun mental. Mereka juga rentan terhadap kekerasan seksual, baik verbal seperti digoda maupun fisik seperti dicolek hingga ancaman pemerkosaan. Meskipun banyak kasus yang terjadi, para korban tidak mau melaporkannya karena minimnya akses hukum, pengetahuan, dan ketakutan personal. Ironisnya posisi tempat bekerja mereka yang jauh dari kota membuat publik tidak mengetahui tentang pelecehan seksual tersebut. Ditambah dengan petugas pengawas yang jumlahnya sangat sedikit membuat para buruh perempuan ini tidak mendapat akses informasi Kesehatan dan keselamatan kerja (K3).
Bagaimana dengan nasib buruh perempuan yang bekerja di pabrik di sekitar Jabodetabek? Sebenarnya tidak berbeda jauh dengan para buruh perempuan di perkebunan. Menurut data BPS per tahun 2021 jumlah pekerja di indsutri pengolahan meningkat sebesar 1,22 juta orang pada Agustus 2021. Peningkatan jumlah tenaga kerja ini masih tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan hidup para buruh, khususnya perempuan. Jam kerja para buruh di pabrik jam panjang dan terkadang dibagi dalam 2 shift, membuat para ibu tidak bisa memperhatikan anak-anaknya.
Kurangnya Akses Pendidikan bagi Buruh Perempuan
Semua kejadian ini berakar dari kurangnya pendidikan yang dapat membantu para buruh perempuan mengakes informasi untuk menyadari hak-hak dasar mereka di tempat kerja dan untuk berjuang bersama mengatasi hal tersebut. Sebagai perempuan, mereka memiliki peran ganda, yakni menjadi ibu dan pekerja. Peran ini kemudian menuntut mereka untuk memilih prioritas utama: bekerja. Dengan bekerja kebutuhan ekonomi keluarga mereka akan terpenuhi. Ekonomi menjadi alasan utama mereka sehingga mengabaikan peran yang lebih penting, yakni anak-anaknya. Tuntutan ekonomilah yang menjadikan mereka abai pada peran sebagai ibu. Jam kerja yang panjang sering menyebabkan mereka tidak memiliki waktu untuk anak-anaknya. Perhatian mereka tercurah sepenuhnya di tempat kerja, sehingga sering abai pada pendidikan anak-anak. Bahkan di beberapa bidang pekerjaan ada yang mengharuskan mereka bekerja dalam dua shift. Minimnya waktu untuk keluarga menjadi dilema tersendiri bagi mereka. Kehadiran mereka di tempat kerja menyebabkan anak-anak tidak mendapatkan perhatian. Sejatinya anak-anak membutuhkan kehadiran ibu yang dapat membimbingnya. Tetapi karena ekonomi menuntut mereka untuk dapat bertahan hidup, yang terjadi adalah anak-anak akan dititipkan pada sanak keluarga atau teman dekatnya. Anak-anak para buruh ini seolah tidak dapat keluar dari lingkaran kemiskinan yang menjerat. Para buruh perempuan ini saat melahirkan mereka memutuskan untuk berhenti kerja. Posisi sebagai buruh lepas menyebabkan mereka tidak memiliki hak cuti melahirkan untuk merawat anaknya. Saat anaknya tumbuh dewasa dan bisa ditinggal bekerja, sang ibu akan melamar kerja lagi di tempat yang sama.
Kejadian ini akan terus berulang sampai anak kedua, ketiga, dan seterusnya. Upah yang sangat minim dari para buruh ini menyebabkan istrinya harus ikut bekerja membantu para suami. Bagaimana kondisi anak-anaknya? Biasanya mereka akan ditinggalkan sendiri di rumah dan bermain bersama teman-temannya tanpa ada pengawasan dari orang tua. Bisa kita bayangkan bila kedua orang tuanya bekerja, pun misalnya bekerja dalam shift yang berbeda, misalnya ayah atau ibunya sedang di rumah, waktu itu akan mereka gunakan untuk beristirahat supaya bisa bekerja di shift mereka. Kondisi anak-anak yang tanpa perhatian ini menyebabkan mereka harus bisa mandiri tanpa perhatian dan bimbingan dari orang tuanya. Situasi inilah yang menyebabkan lingkarang kemiskinan seolah tidak terputus. Apa yang akan terjadi pada anak-anak ini kelak? Mereka akan kembali menjadi buruh menggantikan posisi orang tuanya. Pendidikan yang tidak cukup membuat mereka sulit untuk bekerja di sektor formal.
Lingkaran kemiskininan ini seolah sulit diputus sebab minimnya akses pendidikan. Padahal pemerintah Indonesia sudah melakukan upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan. Pada tahun 2021 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2021 tentang standar nasional pendidikan. Melalui peraturan itu pemerintah ingin memberi jaminan bahwa setiap warga negara berhak untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Bahkan sejak tahun 2015 pemerintah sudah menganggarkan dana APBN untuk program perlindungan sosial di bidang pendidikan, yakni Kartu Indonesia Pintar (KIP). Bantuan ini diberikan secara berjenjang bagi siswa SD, SMP, sampai SMA, dan di tahun 2022 pemerintah menambahkan bantuannya bagi jenjang pendidikan di perguruan tinggi. Akan tetapi bantuan ini tidak sampai menjangkau kaum buruh meskipun sudah disebutkan di awal bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Hal ini disebabkan karena persyaratan dan administrasi yang rumit, seperti perlu dibuktikan dengan terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai peserta Program Keluarga Harapan (PKH) dan memiliki Kartu Kesejahteraan Sosial (KKS). Sedangkan untuk mendaftar, masyarakat harus datang ke kantor pemerintah daerah terkait atau secara online dengan membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Sedangkan banyak kaum buruh ini berasal dari daerah dan waktu bekerja yang panjang membuat mereka kesulitan untuk mengurus syarat tersebut.
Kesenjangan akses pendidikan banyak terjadi di Kawasan tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Sarana dan infrastruktur sekolah, menurut Menteri Pendidikan Nadiem Makarim, kurang memadai di daerah tersebut seperti internet hingga sarana dan prasarana penunjang lainnya. Dikutip dari Mediaindonesia.com, UNESCO melaporkan bahwa 258 juta anak dan remaja di Indonesia mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan. Salah satu penyebabnya adalah kemiskinan. Nadiem sendiri mengakui dana BOS yang dikeluarkan pemerintah sebesar Rp. 3 triliun bagi sekolah di daerah 3T tidak mencukupi sebab biaya penyelenggaraan pendidikan di sana relatif lebih mahal. Di samping itu kurangnya pemetaan pendidikan di Kawasan 3T seperti data siswa, sarana dan prasarana sekolah, hingga kebutuhan guru menyebabkan akses pendidikan kurang terjangkau bagi setiap warga negara Indonesia.
Di samping itu, para buruh perempuan yang notabene juga tidak memiliki pendidikan yang cukup, merasa bahwa anak-anak akan baik-baik saja tanpa bimbingan orang tuanya, khususnya sang ibu. Padahal anak-anak yang tangguh dan mampu bertahan hidup adalah anak-anak yang mendapatkan perhatian penuh dari kedua orang tuanya. Tepat di sini kehadiran ibu dibutuhkan. Ibu yang hadir bagi anak-anaknya akan membantu mereka mendapatkan nilai-nilai keutamaan hidup yang tidak mungkin didapat di sekolah. Nilai-nilai seperti kejujuran, disiplin, bekerja keras, peduli pada sesama, taat pada peraturan, harus ditanamkan sejak dini dan itu dimulai dari rumah. Dapat kita bayangkan bagaimana perilaku anak-anak yang sejak lahir sudah kehilangan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya, sehingga tidak perlu heran kalau saat ini generasi muda kita terkenal sebagai generasi yang kurang peka pada orang-orang dan lingkungan sekitarnya.
Pendidikan seharusnya dapat menjadi kesempatan dan sarana untuk memutus lingkaran kemiskinan yang mereka alami saat ini. Tetapi justru keadaan ekonomi yang sulit membuat mereka sulit mendapatkan pendidikan yang layak. Para ibu yang seharusnya hadir untuk mendidik dan membimbing anak-anaknya, kenyataannya harus berjibaku sebagai buruh lepas yang sering mengalami diskriminasi. Kesempatan untuk hadir bagi anak-anaknya seolah lepas karena mereka harus bekerja demi hidup anak-anaknya.
Situasi yang sulit bagi buruh perempuan ini seolah menambah deretan panjang daftar perbudakan modern. Padahal cita-cita kemerdekaan adalah untuk membebaskan rakyat dari perbudakan. Sementara saat ini hidup para buruh perempuan di era digital seperti tidak ada bedanya dengan para budak di zaman penjajahan. Sebenarnya sangat disayangkan saat mereka berdemo yang dituntut hanya kenaikan upah. Ada yang mereka lupakan yang harusnya menjadi tuntutan utama, yakni waktu berkualitas untuk keluarga dan pendidikan yang layak untuk anak-anaknya. Diharapkan saat mereka mempunyai waktu berkualitas bersama keluarga dan mendapatkan pendidikan yang cukup bagi anak-anaknya lingkaran kemiskinan dapat diputus. Sebab melalui pendidikan mereka akan paham bahwa kesejahteraan tidak terukur melalui ekonomi semata.
Penutup
Hal terbaik yang bisa dilakukan saat ini adalah mulai melakukan pendampingan pada kaum buruh, khususnya perempuan, tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak. Pemerintah dapat mengeluarkan aturan yang lebih mempermudah kaum buruh untuk mendapatkan akses bantuan sosial dalam bidang pendidikan. Tempat penitipan anak perlu dibangun di wilayah sekitar kawasan industri agar anak-anak para buruh tetap terjamin keselamatan dan kesejahteraannya. Di samping itu pemerintah diharapkan dapat membuat RUU turunan yang dapat mengatur jam kerja para buruh dan menghapus sistem kontrak yang merugikan para buruh. Undang-undang ini diharapkan dapat menjadi jaminan bagi para buruh untuk dapat hidup sejahtera, sehingga cita-cita kemerdekaan yang ingin menghapuskan segala bentuk penjajahan di muka bumi ini dapat tercapai.
———————————————————————————–