Oleh Rizal Mallarangeng
PADA 6 November 1997, dalam usia 88 tahun, Isaiah Berlin telah pergi, meninggalkan sekian banyak tulisan yang dapat di sejajarkan dengan karya-karya pemikiran terbaik di abad ke-20 ini.
Dalam banyak esai panjangnya, Isaiah Berlin yang semasa kecilnya sempat menjadi saksi pergolakan Revolusi Rusia pada 1917, sering mengingatkan kita betapa berbahayanya bagi sejarah kemanusiaan ide-ide besar yang mengklaim kebenaran bagi dirinya sendiri. Dari ruang studinya di Oxford, dia mengabdikan hidupnya untuk menjelaskan dan mendalami sejarah ide-ide semacam ini.
Isaiah Berlin adalah seorang intelektual sejati yang hidup dan menghirup nikmatnya udara kehidupan melalui eksplorasi dan pertarungan ide-ide. Di tangannya, ide-de tidak lagi menjadi sekedar konsepsi-konsepsi abstrak yang dingin. Bagai seorang penyihir, dia sanggup menghidupkan kembali berbagai pemikiran klasik yang telah beku dan dilupakan, misalnya Hamann, Vico, Herzen, de Maistre, dan mencari kaitan ide-ide mereka dengan gagasan-gagasan besar yang di zaman modern ini mengharu-birukan nasib manusia.
Dia banyak menelusuri asal-usul, substansi, dan kaitan antara gagasan-gagasan besar karena dia percaya pada kekuatan pemikiran. Dia pernah berkata, “Konsep-konsep filosofis yang dilahirkan di ruang studi yang sepi seorang profesor dapat menghancurkan sebuah peradaban.” Baginya kekuatan-kekuatan sosial dan material memang penting, tetapi semua ini hanya akan menjadi kekuatan buta tanpa arah jika tidak dibingkai oleh ide-ide. Dia sangat yakin bahwa dunia pemikiranlah yang memberi petunjuk ke arah mana sejarah harus bergerak.
Satu dari ide-ide besar yang menarik perhatiannya adalah ide atau konsepsi kebebasan positif. Konsepsi ini berasal dari spektrum pemikiran yang luas, mulai dari Palto, Rousseau, Hegel, de Maistre hingga Marx. Menurut konsepsi ini, manusia bebas adalah manusia yang menjadi tuan bagi dirinya sendiri, yang menjadi manusia sejati, yang mencapai hidup sepenuh-penuhnya. Manusia semacam ini bukanlah manusia yang senantiasa diperbudak oleh berbagai nafsu dan kesadaran palsunya. Kebebasan hanya mungkin terjadi jika manusia memang bisa merealisasikan potensinya yang sejati, yang “benar”, yang “lebih tinggi”.
Konsepsi ini, menurut Isaiah Berlin, berbau romantik. Kebebasan tidak lagi dikaitkan dengan pembatasan tindakan sewenang-wenang terhadap individu, tetapi dengan proses pemenuhan kesempurnaan hidup manusia. Jadi, dalam konsepsi ini, walaupun seseorang secara legal dan faktual tidak dikekang oleh siapapun, dia tetap bukan manusia yang bebas sejauh dia masih diperbudak oleh kesadaran palsunya, oleh pikiran dan perasaannya yang “keliru”.
Yang menarik adalah, bagi Isaiah Berlin, konsepsi kebebasan semacam ini bisa berbahaya, bahkan sangat berbahaya. Kenapa? Karena, dengan sedikit manipulasi makna, pengertian “tuan” dalam konsepsi ini dapat menjadi “bangsa”, “Negara”, “partai”, atau “kelas”. Sementara “hidup yang sepenuh-penuhnya” dapat diartikan hidup dalam “masyarakat sosialis”, “masyarakat baru”, “sejarah baru”. Berkaitan dengan hal ini, diri manusia pun diartikan sebagai makhluk yang terdiri atas dua kenyataan yang berlawanan, yaitu dirinya yang sejati, yang lebih tinggi, yang benar, dan dirinya yang lebih rendah sumber nafsu dan kesadaran palsu.
Jika pembalikan makna ini sudah terjadi, maka, menurut Isaiah Berlin, terbentanglah jalan yang sangat lebar bagi seorang despot untuk memerintah dengan sewenang-wenang dan memberangus kebebasan individu. Bukankah tetek-bengek nasib individu adalah hal yang terlalu kecil untuk dianggap serius bagi sebuah bangsa, atau partai, atau negara, yang sedang mengejar tuntunan sejarahnya untuk membangun masyarakat baru? Bukankah dalam proses pemenuhan tuntutan sejarah ini Diri yang Lebih Tinggi ( yaitu Sang Bangsa, Sang Partai, Sang Negara) memang layak memberangus Diri yang Rendah (manusia yang hanya terbawa oleh kesadaran palsu, yang tidak mengerti tuntunan sejarah)?
Konsepsi kebebasan positif, dengan kata lain, sangat cocok untuk menjadi alasan pembenar bagi tirani dan kekuasaan despotik. Dalam konsepsi ini tidak ada argumentasi yang secara prinsipil dapat mengatakan kepada Sang Penguasa untuk membatasi kekuasaannya dan menghargai kedaulatan masing-masing individu. Sekali Sang Penguasa berhasil memanipulasi beberapa pengertian kunci yang ada dalam konsepsi ini, maka ia seolah-olah mendapat cek kosong, carte blanche, untuk melakukan apa saja yang dianggapnya perlu dalam mengejar “tuntutan sejarah”, “masyarakat baru”, atau apapun yang sanggup menjamin tercapainya “hidup yang sepenuh-penuhnya”.
Karena itulah tidak mengherankan jika Isaiah Berlin, yang dikenal sebagai penentang gigih para pemimpin garis keras Israel, berkata bahwa konsepsi kebebasan semacam inilah yang berada di balik banyak malapetaka kemanusiaan pada abad ke-20.
Di abad ini, kita tahu muncul banyak pemimpin besar yang atas nama bangsa, partai, kelas, atau negara, melindas nasib orang per orang untuk mengejar tujuan-tujuan yang dianggapnya bersifat historis, luhur, atau progresif. Hitler, Stalin, Mao, Pol-Pot: tangan mereka berlumuran darah justru untuk menggiring bangsa mereka ke arah “kebebasan” yang lebih sejati.
Sumber Tulisan dari buku Dari Langit, Rizal Mallarangeng, Penerbit KPG.