Oleh Ansel Deri
Sekretaris Papua Circle Institute
SUARA penyanyi asli Papua, Edo Kondologit, terdengar indah melantunkan syair lagu, Aku Papua dari laman Youtube. Lagu itu, karya Franky Sahilatua, penyanyi legendaris Indonesia. Suara merdu Edo dan suara hati masyarakat Papua mengungkapkan kekaguman dan rasa cinta pada tanah leluhurnya dalam dekapan NKRI. Tanah leluhur warga paling timur Indonesia itu meliputi Papua dan Papua Barat.
Tanah yang bergelimang harta dari perut gunung Nemangkawi di wilayah ulayat suku Amungme dan Komoro, berupa emas, perak, tembaga, dan hasil tambang lainnya. Tanah (terutama Papua) yang menyedot Freeport-McMoRan & Gold Inc, raksasa tambang dunia asal AS melebarkan sayap usaha pertambangannya melalui PT Freeport Indonesia.
Begitu pula wilayah Papua Barat, yang terus bersolek dengan keberadaan Liquefied Natural Gass (LNG) Tangguh, perusahaan gas alam di Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Bintuni, yang dioperasikan British Petroleum Berau, Ltd, selaku operatornya.
Selain itu juga irisan pulau kepala burung itu berada di bawah otoritas Papua Nugini, negara tetangga RI. Tanah Papua, entah Papua entah Papua Barat, merujuk Aku Papua, ialah tanah yang kaya. Ia ibarat surga kecil jatuh ke bumi. Seluas tanah, sebanyak batu ialah harta harapan. Ia tanah leluhur, bersama angin, daun anak-anak Papua dilahirkan dan dibesarkan.
Kekerasan
Namun, Papua terus bergelimang kekerasan sejak Indonesia merdeka. Pada Sabtu (19/9), misalnya, pendeta Yeremia Zananbani roboh dan maut menjemputnya di Kampung Hitadipa, Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya. Penerjemah Alkitab bahasa Moni itu tewas setelah tubuhnya terkena timah panas orang tak dikenal.
Beberapa hari sebelumnya dalam pekan itu, Serka Sahlan dan rekannya, Pratu Dwi Akbar Utomo serta Badawi, tukang ojek yang mengalami nasib serupa Zananbani. Peristiwa tragis ini seolah menambah luka bagi Papua setelah pada 2018, pendeta Germin Nirigi, juga tutup mata selamanya di Mapnduma, Kabupaten Nduga.
Dua insiden itu segera menyeret nama kelompok kriminal bersenjata sebagai pihak terkait di balik insiden kelam itu. Pun nama institusi keamanan segera mendapat tudingan serupa. Namun, siapa pelaku sesungguhnya, seolah hanya mata Tuhan yang tahu insiden di atas surga kecil itu. Papua diselubung duka saban waktu.
Mengapa kekerasan berujung kematian begitu nyata di atas surga kecil (yang) jatuh ke bumi itu? Papua dan Indonesia dibuat heboh, tentuya. Apakah semua pemangku kepentingan, terutama para elite, pemimpin gereja lokal, dll di tanah Papua sungguh ikut bekerja untuk menjaga keamanan dan kedamaian warga di atas surga kecil itu?
Menurut Cypri JP Dale dan John Jonga dalam Paradoks Papua (2011), merujuk hasil studi Forum Kerja (Foker) LSM Papua dan LIPI, ada sejumlah akar konfl ik Papua. Foker LSM Papua menyebut akar konfl ik di antaranya, persoalan ketidakadilan yang berkaitan aspek ekonomi. Dominasi pendatang dalam politik pemerintahan, dominasi dan penindasan budaya dan pengembangan SDM yang bias, serta kekerasan militer.
Sementara itu, LIPI memetakan sejumlah sumber lain seperti marginalisasi dan diskriminasi, kegagalan pembangunan dan kekerasan negara, serta pelanggaran HAM. Jauh sebelumnya, dalam tubuh pemerintahan lokal juga sudah disadari Gubernur Papua Barnabas Suebu. Bas membagi akar persoalan konflik Papua dalam tiga kelompok. Pertama, pelanggaran HAM. Kedua, ketimpangan pembangunan antara Papua dan luar Papua. Ketiga, kemiskinan yang akut dan meluas.
Pascainsiden Intan Jaya, Jakarta langsung bereaksi. Presiden Jokowi melalui Menko Polhukam Mahfud MD membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kekerasan dan Penembakan di Intan Jaya. TGPF menuju Papua dan segera bekerja selama dua minggu berdasarkan SK Menko Polhukam No 83/2020.
Merawat Papua
Publik utamanya di Papua menyambut baik langkah cepat merespons insiden Intan Jaya. Kepedulian negara terhadap warga terkait nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan nasib orang tertindas ialah keharusan. Bahkan sejak awal, gereja secara institusi, hierarki maupun umat Allah juga menaruh sikap tegas membela orang-orang kecil bahkan kaum tertindas.
Socratez Sofyan Yoman dalam Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat (2007) menguraikan perhatian dua misionaris, Theo PA van den Broek, OFM dan J Budi Hermawan, OFM yang peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan care terhadap orang-orang tertindas.
Perhatian atau kepedulian mereka seperti itu bukan hanya perlu, tetapi menjadi keharusan bagi gereja untuk terlibat dalam misi pembelaan dan perlindungan terhadap manusia agar hak-hak dasar masyarakat diakui, dihormati, dan diutamakan.
Masyarakat sangat mengharapkan gereja mampu mengambil sikap dalam perjuangan dan penderitaan mereka. Lebih-lebih belakangan masyarakat tanah Papua menaruh kepercayaan besar pada gereja. Pada peran gereja inilah mereka merasa diakui dan dihormati sebagai manusia sejati. Inilah cara gereja berperan serta bersama pemerintah, merawat Papua agar menjadi mozaik indah, surga kecil (yang) jatuh ke bumi. Surga yang perlahan terhindar dari kekerasan sebagaimana di Intan Jaya.
Namun, dalam jangka panjang, ada beberapa langkah strategis meminimalisasi kekerasan di Papua. Dalam konteks lokal, intelektual Papua Paskalis Kossay mengingatkan pemerintah tidak perlu membuat konsep yang muluk-muluk, tetapi sesuai apa yang dihadapi setiap hari dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Kossay, ada beberapa hal. Pertama, mengubah cara pandang terhadap masalah Papua. Selama ini Jakarta masih melihat Papua dari perspektif keutuhan wilayah. Padahal, saat ini Papua tidak lagi menjadi ancaman serius dari luar. Ancaman yang ada hanya dari dalam dan masih dikategorikan sebagai gangguan keamanan dalam negeri.
Kedua, Otsus Papua ialah dasar membangun Papua dengan hati. Presiden ke-6 RI SBY dalam Pidato Kenegaraan di hadapan Sidang Bersama DPR dan DPD RI pada 16 Agustus 2016 mengatakan otsus ialah kerangka dasar mengelola pelayanan publik, pembangunan dan pemerintahan daerah. Pemerintah telah menerapkan pendekatan yang terintegrasi guna mempercepat pembangunan. Bahwa membangun Papua dalam bingkai NKRI menjadi tugas kolektif semua anak bangsa.
Namun, praktik di lapangan banyak tumpang tindih pelaksanaan kebijakan yang diterapkan di tanah Papua. Belum ada sinkronisasi kebijakan dengan amanat otsus. Setiap lembaga negara baik di pusat maupun daerah bergerak parsial, mengedepankan ego sektoral.
Nah, bila hal itu terus terjadi bukan tidak mungkin niat dan kerja keras merawat Papua, bakal melewati jalan terjal.
Namun, langkah para pemangkut kepentingan (stakeholders) baik pemerintah pusat, maupun Pemerintah Provinsi Papua bekerjasama, terutama dengan kelompok kultural setempat, pimpinan gereja, tokoh masyarakat, ondoafi, intelektual, dan mahasiswa mutlak diperlukan.
Bukan tidak mungkin, akar persoalan serius kekerasan yang kerap melanda Papua, potongan surga yang jatuh ke bumi segera ditemukan. Namun, pekerjaan tambahan segera diseriusi, yaitu merawatnya dengan hati tanpa prasangka terhadap satu sama lain.
Sumber: Media Indonesia, 10 Oktober 2020