Oleh J. S U M A R D I A N T A
Novel ini bertutur tentang ironi kehidupan penduduk Anand Nagar, perkampungan kumuh di sudut kota Calcutta, India. Dengan penuh impresi, Dominique Lapierre, mengisahkan tiga tokoh protagonist: Stephen Kovalski, pekerja sosial keturunan Polandia; Hasari Pal, penarik angkong (rickshaw); dan Max Loeb, dokter muda Amerika. Novel ini adalah karya fiksi yang didasarkan pada riset yang panjang dan intensif. Novel ini membuat pembaca meremehkan hal-hal yang begitu diagungkan masyarakat seperti jabatan, uang, dan kekayaan, dan sekaligus mengajak pembaca menyadari kembali pentingnya perkara-perkara kecil namun indah yang tenggelam ditelan gemuruh rutinitas keseharian. Pendeknya, karya sastra ini membuat hidup manusia jadi semakin relatif.
DOMINIQUE LAPIERRE, penulis Prancis, menciptakan kisah dramatis perihal perjuangan parianya kaum paria (the out sider) untuk bertahan hidup, menghadapi kekerasan yang melembaga, dan praksis sosial budaya yang begitu menyantuni pluralisme di lingkungan slum yang jorok, rombeng, dan dekil. Ia mengisahkan bagaimana di Anand Nagar. Penderitaan, kematian, dan kehancuran bergandengan tangan dengan belas kasih, harapan, dan cinta yang menyala. Ini sebuah epik kepahlawanan dan keyakinan; bukti nyata bahwa ketegaran menaklukkan kesulitan dan ketabahan manusia melampaui segala bentuk tragedi. Kisah ini menunjukkan bagaimana manusia terus belajar menyalakan harapan ketika berada dalam situasi yang paling kelam dan kurang manusiawi.
Kaum laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang terlempar di kota bengis Calcutta, pada paruh kedua abad ke-20, menjadi setting cerita ini. Calcutta, ibu kota Provinsi Bengali, adalah kota tempat bencana urban terbesar di dunia terjadi. Di sini orang bisa mati di pinggir jalan dengan hanya dikelilingi ketidakpedulian. Kota yang didirikan tahun 1690 oleh sekelompok saudagar Inggris ini juga menjadi seperti tabung mesiu yang tumpat pedat kekerasan dan anarki. Selain konflik komunal, penduduk kota ini juga harus bergulat dengan cuaca panas terburuk di dunia yang berjalan selama delapan bulan.
Mereka menjadi korban fenomena endemik lingkaran setan kemiskinan bernama deprivatisasi ekonomi. Orang dipaksa menuruni anak tangga sosial yang mengubah kedudukan petani dari penggarap menjadi petani tanpa tanah, kemudian buruh tani, dan akhirnya terpinggirkan sama sekali. Hasari Pal adalah salah satunya. Kisah Hasari menjadi fokus dalam pemabahasan resensi ini, mengingat Hasarilah jantung dari seluruh ide penulis novel ini.
Perjalanan Hasari berawal dari bencana kekeringan berkepanjangan yang memaksanya menjual Rani, sapi yang selama ini telah setia menemaninya mengolah sawah. Saat itu tampak bahwa Rani tidak mau pergi. Sembari sekuat tenaga bertahan, Rani mengeluarkan lenguhan yang menyayat hati ketika ditarik ke luar dari kandang. Semua orang menangkap firasat buruk dari reaksi Rani. Satu isyarat bahwa Radha, kekasih Dewa Khrisna, telah murka. Tapi, tidak ada pilihan lain bagi Hasari kecuali pergi menuju kota yang kelak menghancurkan kehidupannya.
Keluarga Hasari, seperti jutaan kaum petani lainnya di Provinsi Bihar dan Bengali, terseret di kaki lima Calcutta. Supaya tidak mati kelaparan mereka terpaksa menyuruh anak-anak mengemis di pinggir jalan. Sungguh, bagi seorang petani, ini adalah suatu tindakan nista yang betapapun miskin masih memiliki harga diri. Sebagai petani yang selalu bangga akan dirinya, Hasari pun dipaksa melakukan tindakan paling hina: mengais remah-remah roti dan buah busuk di tempat pembuangan sampah. Begitu hinanya hingga ia membayangkan diri tak ubahnya anjing buduk yang berkeliaran di jalanan.
Bila mendapat sedikit uang, Hasari acap kali membeli beberapa conthong beras sangria, makanan yang sangat populer di kalangan kaum miskin karena dapat mencega rasa lapar. Beginilah caranya, karena butirnya keras, beras sangria ini harus dikunya berlama-lama untuk memperpanjang ilusi seakan-akan mereka sungguh menyantap makanan lezat. Memang kelaparan telah lama menggerogoti jutaan orang Calcutta sampai pada titik di mana batas antara kaya dan miskin adalah ukuran isi perut mereka. Tidak ada apa pun yang lebih bisa meredakan kesedihan dan ketakutan daripada makanan enak bagi mereka yang terpaksa hidup menggelandang di kaki lima, tanpa sepotong seng atau kain sebagai pelindung.
Setelah sekian lama menggelandang, berkat jasa Ram Chander, tetangga desa di kampung halaman, Hasari memperoleh pekerjaan sebagai penarik angkong. Bekerja sebagai manusia kuda penghela angkong sudah merupakan anugerah yang disyukuri keluarga gelandangan seperti Hasari. Amat jarang bagi gelandangan bisa mendapatkan penghasilan 15 rupe se hari. Untuk itu ia harus berlarian sepanjang hari bertelanjang kaki mengangkut orang di jalanan Calcutta yang panas aspalnya melelehkan telapak kaki dan di tengah arus lalu lintas yang sudah tumpat pedat serta masih disesaki bus tingkat, trem, lori, taksi, telagahri (gerobak panjang yang ditarik dorong 4 sampai 5 kuli).
Yang paling berat dalam kehidupan manusia kuda penarik angkong bukanlah beban fisik. Di desanya, Hasari pun terbiasa melakuakn pekerjaan-pekerjaan yang sama melelahkannya dengan mengangkut dua penumpang gendut dari Jalan Park ke Bara Bazar tapi pekerjaan-pekerjaan itu hanya bersifat musiman, dengan masa jeda yang panjang di mana orang bisa beristirahat. Akan tetapi, kehidupan penarik angkong adalah sebentuk perbudakan yang berlangsung merentang setiap hari sepanjang minggu dan setiap minggu sepanjang tahun.
Yang paling dahsyat dari semua itu adalah perasaan balas dendam yang tiba-tiba menguasai Hasari ketika musim hujan tiba. Ketika itu, kota raksasa Calcutta menjadi milik penarik angkong, yang oleh pengemudi taksi, bus, dan lori biasanya dihina dan direndahkan. Pengangkut manusia yang disiksa dan dipukuli polisi, budak yang bermandi peluh dan bisa mati terjeblos lubang drainase itu tiba-tiba menjadi tuan. Bagi Hasari, sampai mati pun akan tetap terngiang di telinganya permintaan para penumpang yang dengan nada putus asa memintanya mengangkut mereka di atas angkong. Karena peristiwa itu, tiba-tiba Hasari tidak lagi menjadi binatang yang disingkang-singkang dan dihina, yang disodok-sosdok dengan kaki dari belakang supaya lari lebih cepat, dan yang ditipu sepuluh atau duapuluh pis oleh penumpang setelah sampai di tempat tujuan. Sekarang orang saling berebut, menawarkan dua, tiga, bahkan empat kali lipat upah dari biasanya, sekadar untuk bisa menempati tempat duduk rombeng dari satu-satunya perahu yang bisa mengapung di lautan Calcutta. Bagi Hasari, hujan yang mengucur dari langit itu bukan air, tetapi bungkahan emas yang kelak menyelamatkan rencana perkawinan Amrita, anaknya.
Hasari adalah petani miskin realistis yang tidak suka berangan-angan dan bangla rupanya telah menumbuhkan sayap di tubuhnya yang renta untuk tetap tegar dan berpengharapan. Bangla adalah liqueur kampung, minuman keras paling mematikan yang disuling di suatu kawasan dekat tempat pembuangan sampah akhir Calcutta. Bangla dibuat dari segala macam sampah sayur dan buah-buahan, isi perut binatang, dan sari tetes tebu yang difermentasi selama berbulan-bulan dalam gentong kedap air di dasar kolam busuk tidak mengalir. Di India, minuman keras murahan ini setiap tahun merenggut nyawa manusia sama banyaknya dengan malaria. Satu-satunya yang tidak merugikan dari minuman ini hanyalah harganya yang murah meriah.
Setelah berbulan-bulan tinggal di kaki lima, akhirnya Hasari berhasil memboyong keluarganya ke rumah komunal Hindu di Anand Nagar. Proses perpindahan ini agak menegangkan dan menggetarkan karena sampai melibatkan campur tangan godfather wilayah itu. Kedatangan keluarga jembel ini harus di kompensasi dengan dibukanya panti-panti minuman gelap milik sang mafioso. Di rumah komunal, ketegangannya begitu tinggi sehingga, bagaikan kilat, kematian bisa datang kapan saja. Yang sangat mengherankan dari semua itu adalah di tengah semua mimpi buruk itu, ternyata kehidupan terus berlangsung, dan tak sedetikpun berhenti.
Anand Nagar adalah kamp kosentrasi dengan rekor menyedihkan sebagai daerah hunian terpadat di planet bumi, dua ratus ribu orang per mil per segi. Tujuh puluh ribu tinggal bersama dalam situasi semrawut dan ketiadaan sarana higienis. Di sini, udara begitu pekat, mengandung karbon dioksida dan sulfur sehingga polusi merupakan pembunuh berdarah dingin. Di sini menjadi tempat di mana lepra, TBC, disentri, dan semua penyakit karena malnutrisi akut telah menurunkan tingkat harapan hidup warganya menjadi terendah di dunia. Di sini kemiskinan ekstrem meluas. Ghetto ini dianggap sebagai daerah berbahaya dengan reputasi buruk tempat mangkal keluarga mafia yang mengontrol urusan spekulasi tanah untuk kandang ternak, penyulingan minuman keras, pengadilan di tempat, pondok permadatan dan pelacuran.
Perkampungan kumuh ini ibarat sebuah panci mendidih yang selalu siap bergejolak. Gabungan dari segala yang ada di kampung kumuh ini menjadikan penghuninya melarat dan putus asa: sempitnya lapangan kerja, pengangguran yang merajalela, upah yang luar biasa rendah, pekerja anak-anak di bawah umur, tidak adanya kemungkinan menabung, lilitan utang yang tidak pernah bisa dilunasi, penggadaian harta milik pribadi yang lambat atau cepat akan lepas dari tangan pemilik, dan tiadanya privasi karena belasan orang harus hidup dalam satu kamar tanpa ventilasi. Namun toh, keajaiban dari kamp konsentrasi ini juga adalah gabungan dari semua elemen yang merusak itu dengan diimbangi faktor-faktor lain yang memungkinkan penghuninya tidak saja tetap bertahan secara manusiawi, tetapi bahkan bisa mentransedensikan kondisi mereka menjadi contoh ketangguhan spiritual bagi umat manusia. Di perkampungan kumuh ini orang benar-benar menjadikan cinta dan sikap saling membantu sebagai praktik nyata keseharian. Mereka tahu bagaimana harus bertoleransi terhadap segala kepercayaan dan kasta, bagaimana menyantuni para pengemis, orang cacat, dan pengidap lepra, bahkan orang gila. Di sini mereka yang lemah dibantu bukan diinjak dan anak yatim dengan cepat akan diadopsi oleh tetangga.
Sebelas keluarga, hampir delapan puluh orang, termasuk keluarga Hasari, tinggal di deretan bangunan bujur sangkar dengan panjang sekitar sepuluh meter dan lebar sekitar tiga meter. Mereka pemeluk Hindu. Memang demikian peraturannya; orang dari agama yang berlainan tidak akan tinggal dalam rumah komunal yang sama, di mana perbedaan adat kebiasaan sekecil apa pun bisa menjadi perkara besar. Toleransi dan gaya hidup santun terhadap keragaman agama semacam ini juga berlaku bagi pemeluk agama yang lain. Dalam masyarakat, di mana praktik-praktik keagamaan dianggap begitu penting, memang lebih baik dari awal mencegah segala hal yang memicu timbulnya potensi konflik. Di sini, setiap jam di setiap hari merupakan waktu untuk satu bentuk perayaan atau peringatan. Disini pulah kaum Hindu, Sikh, Muslim, dan Kristen seakan bersaing secara sehat dalam menunjukkan semangat dan spiritualitas mereka. Di samping perayaan-perayaan keagamaan yang utama, kelahiran, perkawinan, dan segala macam perayaan peringatan menjadikan rumah komunal ini terus menerus hidup dengan penuh gairah.
Di Anand Nagar, bisa terjadi secara berturut-turut, misalnya hari ini adalah hari perayaan haid pertama seorang gadis, lalu esoknya perayaan bagi semua gadis yang sudah mencapai usia menikah menghaturkan persembahan ke lingga Dewa Shiwa untuk memohon seorang suami yang sehebat sang dewa, lalu hari berikutnya lagi perayaan seorang calon ibu untuk bulan pertama kehamilannya, dan lalu setelah itu lagi, perayaan satu puja besar lengkap dengan Brahmin, rombongan pemusik dan kenduri besar untuk mengagungkan saat ketika seorang bayi menerima sesuap nasi yang pertama dari tangan ayahnya.
Di Anand Nagar, para bekas petani, seperti Hasari, bukanlah petani yang berhenti jadi petani. Mereka membangun kembali kehidupan desa mereka di tempat pengungsian baru. Satu bentuk kehidupan yang diadaptasikan; walau mengalami distorsi, di mana mereka saling berbagi dalam satu dunia komunal, menghormati nilai-nilai sosial keagamaan, dan tetap memprtahankan tradisi kepercayaan leluhur. Kemiskinan memang bukan kesalahan mereka, melainkan akibat siklus bencana permanen yang menimpa tempat-tempat asal mereka. Orang miskin tidak akan menutup pintu untuk orang miskin lainnya. Inilah hukum di perkampungan kumuh ini. Hanya si miskin yang membutuhkan bantuan si miskin lainnya. Semakin absolut kemiskinan seseorang semakin hangat sambutannya kepada orang lain.
Bagi petani yang terbiasa sehari-hari mandi di kolam, tinggal di gubuk yanh bersih dan menyantap makanan pedesaan yang sehat, kemungkinan hidup di perkampungan kumuh tanpa air, tanpa saluran pembuangan air, dan kadang-kadang tidak ada kakus, memang tidak banyak menawarkan kegembiraan. Namun, apa pun itu, masih jauh lebih baik daripada kaki lima di jalanan. Dari sudut bencana, tumpukan kardus masih tetap lebih baik daripada menggelandang di kaki lima. Di perkampungan, paling tidak, beberapa potong kain dan lempengan besi yang dipasang pada empat kayu pancang akan memberi mereka sesuatu yang menyerupai tempat tinggal, sekadar tempat berteduh dari udara musim dingin dan beberapa bulan setelah itu musim hujan yang meluap.
Di Anand Nagar, kaum perempuan setia dengan tradisi India yang selalu memberi semua masakannya dengan cabai dan rempah-rempah yang pedas dan panas. Alasan utama tradisi ini, karena cabai dan rempah-rempah merangsang keluarnya keringat, memperlancar peredaran darah, dan mempermudah perpadaun bahan makanan. Cabai pertama-tama untuk membujuk rasa lapar jutaan orang yang kuraqng gizi. Dan, rempah-rempah menjadikan bahan makanan apa pun, bahkan yang sudah busuk, bisa masuk perut. Makanan bukanlah benda mati di Anand Nagar, melainkan satu karaunia kehidupan.
Di sini, kerbau, sapi, anjing, ayam, dan babi berkeliaran di antara anak-anak yang bermain layang-layang. Layang-layang memang mainan yang sangat digemari, karena sepotong kertas yang melayang di atas atap rumah itu seakan membawa serta impian anak-anak untuk lari dari nasib yang melilit mereka. Layang-layang yang meninggi di awan menggambarkan seluruh kerinduan mereka untuk pergi menjauh dari penjara lumpur, bau busuk got mampat penuh kotoran manusia, kebisingan, dan kemiskinan berlarut-larut.
Bukan hanya penderitaan dan kekelaman saja yang ada di Anand Nagar tapi juga cahaya-cahaya dunia. Ibu Sabia adalah salah satunya. Ibu seorang anak penderita TBC akut ini adalah teladan kehidupan. Sepanjang hari-harinya yang penuh cobaan tidak pernah wajah perempuan itu menunjukkan kemurungan. Ia selalu bersyukur kepada dewa yang telah menghidupkan sinar harapan yang begitu kuat di tempat laknat ini. Ia tidak pernah putus asa. Ia bahkan berjuang seperti macan betina. Padanya tidak ada fatalisme atau sikap menyerah. Dari mulutnya tidak pernah terdengar kata-kata keluhan atau pemberontakan. Yang ada padanya hanya senyum pengharapan. Dalam penderitaannya, perempuan ini mengajarkan keimanan dan cinta. Dan, ciri lain perkampungan kumuh ini adalah apa pun yang terjadi, kehidupan terus berlangsung dengan kekuatan dan semangat yang tiada hentinya diremajakan. Kematian Selima, perempuan muda yang menemui ajal di meja operasi saat menjual janin anak kelimanya yang berusia tujuh bulan, yang tidak menenggelamkan keluarganya dalam kesedihan merupakan salah satu contohnya.
Harta kekayaan cahaya dunia yang juga dimiliki perkampungan ini adalah para penderita lepra. Dengan sangat menyentuh Dominique Lapierre mengisahkan kehidupan mereka. Dalam salah satu rumah komunal di Anand Nagar itulah enam ratus penderita lepra tinggal. Mereka berdesakan sepuluh atau dua belas orang dalam satu kamar. Di India sendiri, ada sekitar lima juta orang di antara seluruh penduduk yang menderita lepra. Rasa ngeri dan takut yang ditimbulkan oleh muka yang rusak, tangan kaki yang buntung, dan borok yang kadang penuh ulat, menyebabkan para penderita lepra di Anand Nagar dikucilkan sama sekali. Walaupun mereka bebas berkeliaran di seluruh perkampungan, tapi ada satu peraturan tak tertulis yang melarang mereka memasuki rumah atau lingkungan tempat tinggal orang-orang yang sehat. Apabila peraturan itu dilanggar, sebagaimana yang telah terjadi beberapa kali, maka akan ada pengeroyokan massa sampai ajal. Sebetulnya ketakutan para warga yang sehat itu lebih banyak disebabkan oleh ketakutan akan adanya pengaruh setan yang dianggap bisa ditimbulkan penderita lepra daripada ketakutan tertular penyakit lepra. Walaupun untuk memperbaiki karma-nya penduduk akan memberikan sedekah kepada penderita lepra, tetapi kebanyakan orang India memandang lepra sebagai kutukan para dewa.
Parapenyandang lepra adalah orang-orang yang membutuhkan cinta lebih dari siapa pun juga. Mereka adalah parianya para paria. Mereka inilah yang banyak mendapatkan pertolongan dari klinik keliling yang dikelola Bunda Teresa. Meski demikian situasi dalam ghetto kaum terkutuk itu sungguh meriah penuh sukaria yang gaduh. Di dalam ghetto itu, di mana akan ditemui suara canda tawa yang meriah, dipadu segala macam bau, di tengah kerumunan tubuh-tubuh setengah busuk dan cacat, pembaca bisa mendapatkan “kebijaksanaan yang menakjubkan tentang harapan” dan mengagumi bahwa betapa begitu banyak daya hidup dan kegembiraan yang bisa memancar dari kepapaan yang begitu rupa.
Sistem tubuh mereka memang begitu berantakan tapi mayat-mayat berjalan itu benar-benar masih hidup. Mereka saling dorong, berbantah, dan bercanda. Di Negeri Bahagia, kekuatan kehidupan tampaknya selalu menang melawan kematian. Hanya tempat di mana orang hidup begitu berdekatan dengan kematianlah yang bisa memberikan begitu banyak kasih sayang dan solidaritas. Dalam ketakberdayaan fisiknya, mereka bersemangat dengan tenaga yang begitu besar. Mereka sungguh-sungguh penuh dengan daya hidup. Melihat kenyataan itu, tak seorang pun bisa mengatakan bahwa penderita lepra hanyalah orang-orang apatis, seonggok daging busuk, atau sekumpulan gelandangan yang menyerah pada nasib. Para laki-laki dan perempuan ini adalah kehidupan itu sendiri. KEHIDUPAN dengan huruf besar, kehidupan yang berdegup, kehidupan yang bergetar dalam diri mereka sebagaimana juga ia bergetar di tempat lain di kota yang penuh berkat ini, Calcutta.
Kendati dililit nestapa, uang terkesan dihamburkan oleh penduduk Anand Nagar untuk upacara keagamaan. Penghuni slum ini hidup dalam satu atmosfir bersama para adikodrati. Setiap campur tangan atas peruntungan, baik atau jelek; pekerjaan, hujan, kelaparan, kelahiran, kematian, bahkan apa pun, dianggap berasal dari para dewa. Dan itulah sebabnya mengapa perayaan-perayaan terpenting di negeri itu, sebagaimana dikisahkan, bukanlah peringatan-peringatan peristiwa sejarah, bukan pula hari besar Kemerdekaan India, tetapi peringatan yang berkaitan dengan peristiwa keagamaan. Tidak ada penduduk yang menghormati para dewa dan nabinya dengan penuh semangat seperti penduduk Anand Nagar – walapun mereka yang dilangit seringkali seolah tidak peduli, dan menyerahkan kota itu kepada nasibnya sendiri yang tragis. Setiap hari, di perkampungan kumuh itu dan di daerah-daerah di bagian lain kota, terdengar suara arak-arakan yang menjadi saksi perkawinan mistis antara manusia dan penciptanya.
Salah satu dewa yang sangat dipuja orang-orang Anand Nagar adalah Viswakarma, dewa pelindung peralatan kerja. Dengan penuh semangat dan keimanan, setiap tahun, mereka menjamu dewa pemberi nasi itu dan memohon berkahnya atas mesin dan peralatan kerja yang menjadi gantungan hidup mereka. Begitu buruknya kemiskinan yang melilit sehingga pekerjaan apa pun, bahkan yang paling rendah sekalipun, sudah merupakan satu karunia untuk mereka. Hal ini tentu saja dapat dipahami, bila di tengah merajalelanya pengangguran, bagaimana mungkin orang akan menolak pekerjaan yang paling tidak akan memberi sesuap nasi buat keluarga mereka setiap hari? Dan, ketika satu keluarga jatuh ke dalam kemiskinan yang paling ekstrem karena si ayah, pencari nafkah keluarga, sakit atau meninggal, bukankah bisa dimengerti kalau salah satu anak harus siap mengambil alih tongkat estafet dengan bekerja apa pun?
Di Calcutta, daun-daun pepohonan di lapangan jatuh lebih awal ketimbang di daerah pedesaan. Usia uzur cenderung datang terlalu awal bagi para penarik angkong seperti Hasari. Para penarik angkong rata-rata penyakitan. Hasari menderita TBC. Untuk mengelabui para penumpang dan memberi kesan sehat, para penarik angkong biasanya mengunyah sirih agar ludah mereka berwarna merah dan tidak ketahuan bahwa sebenarnya mereka berbatuk dahak campur darah. Ketika Hasari menceritakan dirinya muntah darah, istrinya pun terisak-isak. Dan penulis novel ini mengatakan bahwa kaum perempuan memang seperti binatang, mereka bisa merasakan badai yang akan datang jauh-jauh hari sebelum laki-laki menyadarinya.
Orang India bilang ular cobra selalu mematuk dua kali. Dengan kata lain, tidak akan ada bencana yang berdiri sendiri. Paru-paru Hasari telah digerogoti TBC. Dia telah ditimpa begitu banyak pukulan sehingga satu pukulan lagi tidak akan terlalu ada pengaruhnya. Roda bundar karma belum mau melepaskan cengkeramannya. Kendati terserang TBC akut Hasari belum mau menyerah dan mati. Ia sudah menjalani masa yang sulit sejak meniggalkan desa. Ia yakin bahwa satu hari nanti karma-nya akan lebih ringan dan ia akan dilahirkan kembali dengan nasib yang lebih baik. Sebagai penganut Hindhu yang saleh, Hasari tidak ingin mati sebelum menikahkan Amrita, anaknya. Untuk itu, Hasari harus menyiapkan mas kawin. Memang Indira Gandhi telah melarang kebiasaan kuno ini tetapi ternyata itu tidak menghalangi keberlangsungannya pada masa India modern dalam bentuknya yang lebih menindas.
Anak perempuan penarik angkong memang bukan calon pasangan pengantin yang diburu orang. Kendati demikian, Hasari tidak mau memberikan anak gadisnya kepada seoarng laki-laki lumpuh, buta, atau lepra. Bagi Hasari, hanya orang-orang terbuang saja yang setuju menikahi seorang gadis tanpa mas kawin. Hasari, laki-laki malang itu, tidak henti-hentinya menghitung, tetapi tetap saja ia mendapatkan angka yang tidak masuk akal baginya. Lima ribu rupee adalah jumlah yang harus dikumpulkannya untuk bisa mendapatkan anak laki-laki yang paling biasa. Lima ribu rupee itu artinya dua tahun penuh berlarian di antara dua kayu penghela angkong atau berhutang seumur hidup kepada lintah darat di perkampungan kumuh itu. Tahun-tahun kehidupan yang penuh sengsara sebagai gelandangan yang akhirnya tersangkut di perkampungan kumuh telah menjadikan Hasari bisa menerima kompromi-kompromi yang ideal antara keimanan dan tuntunan untuk mempertahankan hidup. Hasari, demi mendapatkan suami untuk anaknya, sekaligus penghormatannya kepada dewa, akhirnya setuju menjual kerangka tubuhnya seharga lima ratus rupee ke perusahaan penyedia alat peraga kedokteran yang banyak bertebaran di Calcutta. Ironis memang, di kemudian hari Hasari mati ketika menikahkan anaknya. Jasad Hasari diangkat saat pesta pernikahan anaknya sedang berlangsung. Hasari mati dalam keagungan. Dalam tradis Hindhu, seorang ayah – sebelum mati memang punya kewajiban religius menikahkan anak perempuannya. Ajaib, lima ribu rupee akhirnya bisa dipenuhi Hasari, kecuali dengan menjual kerangka tubuh juga dari mengumpulkan uang hasil menghela angkong di musim hujan menjelang kematiannya dan hasil menjual arloji yang ditemukan Sambu anak laki-lakinya di tempat pembuangan sampah.
Begitu banyak cinta yang terpancar dari perkampungan kumuh yang menyedihkan itu. Novel City of Joy menunjukkan makna sesungguhnya pepatah India, “Segala yang tidak diberikan berarti hilang tanpa bekas”. Bencana bagi manusia Anand Nagar, konstruktif dan menyelamatkan. Dominique Lapierre berhasil membuktikan ucapan Pujangga India, Rabindranath Tagore, “Penderitaan itu agung, tetapi manusia tetap lebih mulia dari penderiataan”. Orang-orang papa, terhina, dan kelaparan di Anand Nagar benar-benar tak terpatahkan. Semangat hidup mereka, kemampuan mereka memelihara harapan, kemauan mereka untuk tetap bertahan hidup membuat mereka selalu mampu mengatasi kutukan karma mereka.
Pertama kali novel City of Joy diterbitkan di Prancis, Spanyol, Italia, Belanda, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat pada tahun 1985. Novel ini juga telah difilmkan dengan dibintangi Patrick Swayze. Hingga tahun 1992 saja novel ini telah terjual enam juta kopi dalam 31 bahasa. Separuh dari royalitinya (pada 1992 sebesar dua juta dolar Amerika) telah disumbangkan untuk pembangunan pusat-pusat penampungan anak-anak penderita lepra dan polio, klinik pengobatan, sekolah, bengkel rehabilitasi, berbagai program pelatihan, gerakan sanitasi, dan pendayaan proyek irigasi di sembilan belas desa di Provinsi Bengali yang diharapkan bisa mencegah 100 ribu penduduk melakukan urbanisasi. Terjemahan judul novel ini mestinya “Kota Sukacita”. Selain lebih dekat dengan teks aslinya judul terjemahan demikian secara literer berkesesuaian dengan isi buku.
Judul : Negeri Bahagia
Penulis : Dominique Lapierre
Penerjemah : Wardah Hafidz
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Halaman : 799 halaman
***********************************************
J. Sumardianta, guru sosiologi SMA Kolese de Britto, Yogyakarta.
Sumber: Majalah BASIS No. 03-04, Tahun Ke-54, Maret-April 2005.
Hai pak sumar , semangat pak