Oleh Nardi Maruapey *
PRAKTEK pendidikan di bangsa ini sering keluar jalur atau tidak sesuai dengan konsep yang sesungguhnya berdasarkan cita-cita pendiri bangsa yakni berbasis pembentukan etika dan moral manusia menjadi beradab.
Pendidikan saat ini lebih cenderung menjadikan peserta didik sebagai generasi masa depan hanya untuk mencapai kepintaran saja sehingga mengabaikan hal-hal lain.
Hal-hal lain yang dimaksud itu seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial dalam masyarakat, saling berbagi pengetahuan dengan sesama dan tentunya moralitas generasi. Hasilnya manusia yang keluar dari proses pendidikan akhir-akhir ini lebih bersifat individualistik.
Padahal orientasi yang diharapkan dari semangat awal pendidikan Indonesia pra dan pasca kemerdekaan adalah menyadarkan manusia Indonesia dari ketidaksadaran akibat penjajahan dan mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan yang telah hilang. Atau sederhananya dengan pendidikan dapat membentuk karakter manusia Indonesia.
Seperti dalam gambaran bapak pendidikan nasional kita, Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan adalah upaya menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi- tingginya (Zahara Idris, 1991: 9).
Pendidikan yang menjadi cita-cita Ki Hadjar Dewantara adalah membentuk anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir dan batin. Luhur akal budinya serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia pada umumnya.
Namun, ada kontradiksi ketika kita melihat antara konsep pendidikan sebagaimana yang dicita-citakan dahulu dengan sistem pendidikan hari ini. Misalkan, dalam sistem pendidikan formal kita sudah sangat tergantung pada modal atau pendidikan kita telah dikapitalisasi. Sehingga pendidikan akan menjadi batu sandungan terhadap para kelompok yang tidak memiliki kapital yang cukup.
Kita tentu bisa mengecek itu dalam buku Orang Miskin Dilarang Sekolah (2004), yang ditulis Eko Prasetyo bahwa kini wajah pendidikan semakin dicemari oleh mahalnya biaya dan kekerasan yang terjadi di dalamnya.
Para korban lagi-lagi adalah orang miskin yang menjadi mayoritas penduduk negri ini. Kepercayaan atas pendidikan kian luntur, apalagi jaminan masa depannya juga kabur.
Dan pendidikan yang dikapitalisasi akan cenderung melahirkan generasi hedonis, pragmatis. Di lain sisi, keluaran pendidikan kita cenderung melahirkan generasi yang berkarakter pekerja dari pada pemikir akibat dari berbagai sistem yang diterapkan. Lembaga sekolah sudah selayaknya perusahaan industri.
Ini juga akan berdampak pada bagaimana indikator kita melihat kualitas sumber daya manusia (SDM) pada seseorang. Cak Nun menegaskan itu lewat tulisannya “SDM versus Manusia Indonesia Seutuhnya” (2020), bahwa SDM yang kita maksud selama ini sesungguhnya adalah SDM atau sumber daya industrial (pada) manusia.
Cak Nun mengatakan kalau term SDM tidak lahir, misalnya, dari arena kebudayaan atau keberbudayaan, dengan sumber daya primer yang dimaksudkan adalah potensi kepribadian seseorang dalam kaitan-kaitan kebersamaan makhluk hidup: integritas dan kasih sayang sosial, kesalehan hati, empati dan toleransinya kepada orang lain, akhlak dan tasamuh-nya.
Kalau perkembangan pendidikan kita terus demikian, maka ini adalah malapetaka bagi masa depan generasi dan bangsa. Olehnya itu, perlu adanya alternatif demi menjelaskan pengaruh pendidikan terhadap peradaban dan kualitas suatu bangsa.
Alternatif yang dimaksud adalah pendidikan yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan atau pendidikan yang humanis. Pendidikan humanis merupakan cerminan untuk melihat masa depan.
Sehingga pendidikan humanis mampu menjadi solusi terbaik terhadap hilangnya nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan kita.
Pendidikan Humanis
Secara konsep, pendidikan humanis ialah pendidikan yang menempatkan seseorang sebagai salah satu subjek terpenting dalam pendidikan sebagai pelaku yang sebenarnya dalam pendidikan itu sendiri.
Paulo Freire menjelaskan pendidikan humanis sebagai pendidikan yang mempertegas dan memperjelas arah pendidikan yang membebaskan dan memerdekakan, yaitu sebuah upaya pemberdayaan masyarakat tertindas menuju sebuah paradigma kritis dan trasformatif dalam mewujudkan sebuah kebebasan sebagai hak asasi setiap manusia.
Pendidikan mesti dimaknai sebagai proses humanisasi (upaya memanusiakan manusia) yang mengandung implikasi bahwa tanpa pendidikan, manusia tidak akan menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya.
Dalam pendidikan humanis, yang melandasi dan medasarinya adalah adanya
kesamaan kedudukan dan kebebasan manusia. Ini berarti bahwa manusia satu dengan yang lain adalah sama, dan bebas sebagai fitrahnya.
Tujuan
Sejatinya, tujuan dalam pendidikan yang humanis adalah membentuk seorang individu yang memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab sebagai makhluk individual sekaligus sosial.
Bahwa dengan pendidikan humanis kemudian dapat membentuk manusia dan sekaligus generasi yang berkarakter, punya akhlak, moral etik dan tentunya kecerdasan secara intelektual. Sederhananya pendidikan humanis itu tujuannya menjadikan manusia yang seutuhnya.
Sehingga yang dibutuhkan pelaksanaan dari pendidikan yang humanis adalah sistem pendidikan, kurikulum yang dijalankan, proses pembelajaran, sistem penilaian serta kebijakan-kebijakan yang diberlakukan haruslah bersifat humanis pula untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
**********
Nardi Maruapey, Mahasiswa FKIP Universitas Darussalam Ambon