Oleh Prof. Dr. Alexander S. Lanur, OFM
Pengantar
Pada tahun 1978 kami menulis sebuah artikel berjudul “Hubungan antar pribadi menurut Emmanuel Levinas”. Tulisan itu dimaksudkan untuk sedikit memperkenalkan pemikiran tokoh tersebut pada sidang pembaca di tanah air. Perkenalan itu terutama dilakukan dengan bantuan karyanya yang berjudul Totalite et Infini. Essai sur I’exteriorite. Perkenalan yang kami lakukan itu sulit untuk dikatakan lengkap, utuh dan komprehensif. Sebab sesudah menulis karya tersebut Levinas masih menulis banyak karya lagi sampai ia meninggal 25 Desember 1995. Pemikirannya juga semakin berkembang dan bahkan semakin radikal. Hal itu terutama nampak dalam karya yang ditulisnya sesudahnya yakni Auttrement qu etre ou au-dela de l’essence. Karya tersebut mengembangkan dan bahkan meradikalkan gagasan dasar yang disajikan oleh Levinas dalam Totalite et Infini.
Egologi dalam Filsafat Barat
Ungkapan “filsafat Barat”, sejauh dipakai oleh Levinas serta para filsuf Prancis lainnya, mau menunjukkan pengetahuan yang rata-rata dimiliki oleh seorang profesor perguruan tinggi Prancis tentang pelbagai tradisi Eropa. Ungkapan tersebut menekankan ciri-ciri modern budaya “Barat” tetapi tidak terlalu tahu akan filsafat Abad Pertengahan. Selain itu ungkapan tersebut juga menyamakan saja warisan Yunani terutama dengan teks-teks dari Parmenides, Herakleitos, Plato, Aristoteles dan Plotinus.
Sejak Parmenides sampai dengan Heidegger “filsafat Barat” menurut Levinas, sebenarnya tidak lebih daripada suatu egologi. Disebut egologi karena seluruh diskursus filsafat berpusatkan si Aku. Si Aku ini berfungsi sebagai subjek pemikiran. Selain itu si Aku tersebut juga menjadi pusat dan tujuan dunia dan sumber segala makna. Dengan demikian egologi melahirkan egosentrisme. Keduanya merupakan segi teoritis dari suatu sikap yang jauh lebih mendasar lagi. Sikap yang mendasar itu adalah objektivasi, manipulasi, teknologi, perencanaan serta eksploitasi. Sikap tersebut menciptakan suatu pola hidup tertentu. Pola itu disebut egonomi. Artinya, si Aku merupakan nomos (hukum) untuk segala sesuatu. Egonomi harus menjadi sesuatu yang efektif dan praktis. Dan untuk menunjukkan segi itu Levinas menggunakan istilah ekonomi. Istilah tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu diatur serta ditata oleh rumah (oikos). Hukum (nomos) rumah menguasai seluruh dunia si Aku.
Bagian kedua Totalite et Infini berbicara tentang Interiorite et Economie. Di situ Levinas menyatakan bahwa berada – di – dunia tidak pertama-tama ditandai oleh faktisitas melainkan oleh “kenikmatan” (jousance}. Yang dimaksudkan dengan “kenikmatan” (jousance) itu adalah kenyataan bahwa aku hidup dari (vivre de…) barang-barang material serta memelihara diriku dengan menggunakannya. Barang-barang tersebut adalah udara, air, makanan dan sebagainya. Dalam “kenikmatan” (jousance) itu, cinta akan hidup, kebahagiaan dan hidup afektif berpusatkan diri sendiri. Keadaan tersebut merupakan egoisme hidup dalam bentuknya yang biasa dan wajar. Dimensi itu membuat setiap individu menjadi sesuatu yang independent dan berdiri sendiri. Dimensi tersebut serentak pula memisahkan individu yang satu dari individu yang lain.
Karena itu eksistensi manusia di dunia ini tidak pertama-tama ditandai oleh “keadaan terlempar” (geworfen sein). Eksistensi itu, sebaliknya, ditandai oleh adanya rumah (la maison) atau tempat tinggal (la demeure). Rumah atau tempat tinggal itu menjadi suatu wilayah pribadi bagiku. Dan sebagai wilayah pribadi rumah atau tempat tinggal itu diandaikan oleh pelbagai kemungkinan untuk menggunakan dunia sebagai jaringan hubungan-hubungan yang ditandai dan ditentukan oleh maanfaat. Sebuah rumah atau tempat tinggal mendahului suatu dunia yang ditandai dan ditentukan oleh manfaat. Rumah atau tempat tinggal merupakan pusat keadaan manusia sebagai manusia.
Dari rumah atau tempat tinggal itu aku dapat keluar dan masuk ke dalam dunia. Dalam dunia itu aku dapat menemukan dan memanfaatkan pelbagai kemungkinan yang ada. Hanya karena aku memiliki rumah serta tempat tinggal sendiri, dapatlah aku membawa makhluk-makhluk lain termasuk orang-orang lain ke dalam kehadiranku. Hanya atas dasar itu pula dapatlah aku membuatnya menjadi objek yang dapat kupikirkan, kuselidiki, kumanfaatkan serta kuubah dengan bantuan pekerjaan. Semua itu juga dapat kupelajari secara ilmiah. Dunia seperti itu adalah dunia objek, teori-teori objektif, industri, teknologi, politik dan sebagainya. Adanya dunia tersebut mengandaikan adanya penguasa yang membuat dirinya menjadi pusat seluruh jagat serta mengubahnya menjadi wilayah kekuasaan serta penguasaannya. Dalam bidang filsafat dunia itu menampakkan dirinya dalam suatu pandangan yang sistematis. Dalam pandangan tersebut seluruh jagat nampak sebagai suatu keseluruhan (totalite) di depan mata si Aku yang menguasai segala-galanya. Artinya, suatu kesadaran menguasai dan mengalami segala sesuatu sebagai suatu keseluruhan (totalite). Kesadaran itu adalah dunia egologis filsafat Barat. Dunia tersebut juga dapat dicirikan sebagai ontologi. Disebut ontologis karena si Aku yang menjadi pusat itu memandang serta memikirkan segala sesuatu sebagai suatu keseluruhan (totalite) dan memandang serta memikirkannya sebagai satu pengada saja.
Nilai Positif Totalitas Teoritis dan Praktis
Agar tidak salah paham baiklah diberikan catatan berikut. Levinas mengakui secara eksplisit segi positif dan niscaya pelabagai totalisasi teoritis dan praktis yang dihasilkan oleh setiap peradaban dan yang ada di dalamnya. Dia pernah menunjukkan bahwa keseluruhan (totalite) sistematis adalah sesuatu yang baik dan tak terhindarkan.
Ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, keadilan, politik dan sebagainya pasti menjadi mustahil bila semua fakta serta pengada tidak dipandang dan diuraikan sebagai faktor-faktor yang saling berkaitan dalam bermacam-macam jaringan, perencanaan dan organisasi. Dunia yang adil tidak dapat tidak membutuhkan lembaga-lembaga. Dan dengan bantuan lembaga-lembaga tersebut manusia juga diperlakukan sebagai salah satu unsur dari suatu keseluruhan (totalite) yang lebih besar. Artinya, manusia dapat dan nyatanya dihitung, dipakai dan dipandang sebagai bagian yang berhubungan dengan bagian-bagian yang lain. Bagian tersebut tidak dapat hidup hanya dari dirinya dan hanya untuk dirinya sendiri saja. Suatu masyarakat yang tidak dihubungkan satu sama lain oleh suatu peraturan, hukum atau perundangan bersama pasti akan hilang tanpa bekas dan menghadapi ajalnya.
Kendati menerima adanya suatu totalitasi Levinas juga menetapka syarat yang harus ditepati. Syarat itu adalah bahwa keseluruhan (totalite) tersebut tidak boleh dimutlakan dan tidak boleh menjadi sesuatu yang mutlak. Sebab, bila semua hal yang disebut tadi menjadi mutlak atau dimutlakan serta menjadi tolok ukur yang tertinggi, maka hidup sebagai individu tidak lagi bernilai mutlak dalam dirinya. Karena itu semua bentuk keseluruhan (totalite) harus takluk pada tolok ukur yang lebih tinggi tadi. Tolok ukur tersebut mesti menerima dan menghormati martabat masing-masing individu.
Tolok Ukur yang Tertinggi
Manakah tolok ukur yang tertinggi itu? Tolok ukur yang tertinggi bukanlah kemanusiaan yanga ada baik di dalam diriku sendiri maupun di dalam diri orang lain. Tolok ukur tersebut adalah penampilan wajah orang lain dan percakapan serta pembicaraan. Keduanya berhubungan saangat erat satu sama lain. Wajahlah yang bercakap dan berbicara. Keduanya menggoyahkan dan meretakkan kesatuan duniaku serta meruntuhkan keseluruhan (totatalite) diriku. Tidak dapat disangkal bahwa orang lain ada. Kenyataan itu saja sudah menurunkan aku dari takhtaku dan serentak pula membuat aku menjadi hamba yang menopang hidup orang lain dan bertanggung jawab atasnya. Artinya, setiap orang – baik laki-laki maupun perempuan, baik orang dewasa maupun anak kecil – yang kujumpai menghukum aku termasuk seluruh dunia ekonomis serta egonomisku. Selanjutnya, hanya dengan menampakkan dirinya saja mereka sudah membebankan tuntutan yang tidak terbatas kepadaku. Wajah orang lain, kenyataan bahwa mereka – entah laki-laki entah perempuan, entah orang dewasa entah anak-anak – ada dan menatapku sudah membuat aku menjadi seorang hamba, yang bertanggung jawab atas keberadaan mereka, atas hidup serta tingkah laku mereka.
Dengan demikian daya dan kekuatan ekonomis sudah dihukum dan dipatahkan. Daya dan kekuatan itu dihukum serta dipatahkan bukan oleh kesetaraan, karena mempunyai hakekat yang sama, sebagai manusia melainkan oleh asimetrisnya hubungan antar pribadi. Karena hakekatnya sama maka manusia setara satu sama lain. Gagasan bahwa manusia mempunyai hakekat yang sama itu mengandaikan adanya suatu pandangan yang mengatasi kebersamaan semua individu. Tetapi apakah pandangan tersebut mengandaikan suatu sudut pandang yang bersifat egologis dan totaliter? Setiap pembicaraan dan percakapan mengandaikan adanya sudut pandang yang lain daripada sudut pandang yang egologis dan totaliter. Sebab bila aku berbicara, maka aku memperkenalkan diriku pada orang lain. Dan orang lain itu pada gilirannya menyatakan bahwa penguasaanku dan kedudukanku yang memonopoli segala sesuatu termasuk dirinya sudah berakhir. Orang lain tersebut – entah seorang laki-laki entah seorang perempuan – merebut kedaulatanku dari tanganku. Dengan berbuat demikian ia serentak pula membebaskan aku dari kesendirianku. Hubungan antar manusia yang pertama dan asali bersifat simetris. Kehadiran orang lain saja sudah memberi kepadaku perintah, paling tidak, untuk membunuhnya. Aku memandangnya seperti seorang yang berasal dari tempat yang tinggi. Keluhurannya mencirikan orang lain itu. Keberadaannya merupakan sesuatu yang mutlak. Kemutlakan itu menolak semua tuntutan dari duniaku yang hanya berpusatkan diriku sendiri saja. Kemutlakan tersebut juga mengatasi tuntutan dari duniaku dengan tuntutan-tuntutan yang jauh lebih radikal lagi. Kemutlakan tersebut oleh Levinas disebut “Yang tak berhingga”. Yang tak berhingga datang dari atas segala hal lain yang nampak dan mengatasi cakrawala Ada itu sendiri. Artinya, “Yang tak terhingga” berada dengan cara yang lain daripada Ada itu sendiri. Caranya justru adalah keberlainannya.
Hubungan antar-manusia yang Asimetris
Hubungan yang asimetris ini dapat saja disalahpahami. Artinya, hubungan tersebut dapat saja dipahami sebagai pembalikan suatu hubungan yang tidak setara yang terkandung dalam sikap si Aku yang hidup sendirian, tetapi yang menguasai segala sesuatu. Si Aku itu bertindak sebagi titik tolak dan titik pangkal toeri sosial seperti yang, antara lain, diajarkan oleh Thomas Hobbes. Dia mengajarkan bahwa manusia adalah serigala untuk manusia yang lain (homo homini lupus). Menurutnya, kodrat sebagai serigala dalam diri manusia itu harus berubah dan diubah menjadi kodrat yang lebih bersifat ilahi. Dan jalan yang ditempuh agar sampai ke perubahan seperti itu adalah peperangan, revolusi.
Selain itu ada juga orang yang berpendapat bahwa Levinas adalah seorang moralis. Sebagai seorang moralis dia menentang tindakan orang-orang, yang memperlakukan orang-orang lain hanya sebagai hamba dan budaknya saja. Karena itu mereka menarik kesimpulan bahwa Levinas mengajarkan kita agar kita menjadi hamba dan budak orang-orang lain dan bukan sebaliknya.
Kiranya bukan itulah yang dimaksudkan oleh Levinas. Dia juga tidak bermaksud menulis serta memperkenalkan suatu etika yang baru. Sebaliknya, dia hanya mau menunjukkan dan memerikan dengan bantuan analisisnya bahwa pandangan etis hendaknya menjadi titik tolak untuk setiap filsafat, yang mau setia pada fakta. Levinas menemukan bahwa aku adalah subjek yang bertanggung jawab tanpa batas atas hidup orang lain. Penemuan tersebut merupakan awal untuk pelbagai permenungan lebih lanjut. Dengan bantuan penemuan tersebut kata-kata seperti “mengada”, “pengada”, “hakekat” dan sebagainya, paling tidak mendapat “warna” yang baru. Makna kata-kata itu berubah karena kata-kata tersebut “diwarnai” oleh serta dikaitkan dengan subjek yang bertanggung jawab tanpa batas atas orang lain. Penemuan itu merupakan awal dan permulaan untuk semua pengetahuan pada umumnya dan pengenalan diri pada khususnya. Bagaimana pun juga semua pengetahuan itu secara alamiah cenderung menjadi egosentris. Karena itu semua pengetahuan tersebut juga harus dibersihkan dan dimurnikan dari kecenderungan tersebut. Pembersihan dan pemurnian itu terjadi berkat pewahyuan yang unik dari yang mutlak.
Dalam hidup sehari-hari kita juga mengalami bahwa kita lebih mempunyai kewajiban terhadap orang lain daripada membebankan kewajiban kepadanya. Artinya, aku dapat mengorbankan diriku untuk orang lain. Namun, begitu aku mewajibkan orang lain, apalagi memaksanya untuk mengorbankan diri serta hidupnya untukku, berubahlah aku menjadi seorang pembunuh. Artinya, hubungan antar manusia tetap merupakan hubungan yang asimetris. Untuk menunjukkan hubungan itu Levinas mengacu pada The Brothers Karamazov karya Dostoevski, di mana Zosima menyampaikan gagasan yang sama. Gagasan itu adalah: “Kita semua bertanggung jawab di hadapan semua orang atas segala sesuatu dan atas semua orang, dan aku lebih bertanggung jawab daripada semua orang yang lain”. Orang tidak sadar akan tanggung jawab dan akan kesalahan tersebut. Tetapi bila mereka sungguh memahaminya, maka Firdaus sudah dekat.
Penyerahan dan pengorbanan diri bukanlah pertama-tama suatu sikap yang perlu diwartakan apalagi digembar-gemborkan. Penyerahan dan pengorbanan diri itu, sebaliknya, merupakan suatu struktur dasar yang ada dalam diriku. Struktur dasar itulah yang membuat aku menjadi subjek. Kata subjek di sini hendaknya dipahami dalam artinya yang asli dan sebenarnya. Bila aku adalah subjek, maka aku adalah subjectus, seorang yang ditempatkan di bawah orang lain. Dengan kata lain, aku adalah orang yang mengemban tanggung jawab yang tidak terbatas terhadap keberadaan orang lain, siapa pun orangnya. Karena itu struktur dasarku adalah “seorang untuk yang lain” (l’un pour l’autre). Struktur dasar itu membuat aku menjadi seorang yang unik dan tak tergantikan. Mengapa? Sebab aku sadar bahwa diriku sendirilah satu-satunya orang yang mempunyai tanggung jawab yang tidak terbatas atas orang lain. Hal itu menyebabkan aku menjadi tawanan, sandera (otage) untuk orang lain. Artinya, aku bertanggung jawab tidak hanya atas pemuasan keinginannya, atas kehausan dan kelaparannya, tetapi juga atas semua tingkah lakunya, atas semua kesalahan dan kejahatannya bahkan atas penganiayaan yang dilakukannya terhadap orang-orang lain dan terhadap diriku.
Tetapi menjadi substitusi (substitution) untuk orang lain bukanlah suatu kemungkinan yang dapat dipilih oleh suatu subjek yang otonom. Sesungguhnya substitusi (substitution) itu bukanlah suatu loncatan atau pun pembebasan. Mengapa? Sebab suatu loncatan mengandaikan suatu landasan yang kokoh agar dengan sekuat tenaga seseorang dapat meloncat. Tetapi Levinas berbicara tentang diangkat, dilantik atau ditugaskan untuk kebebasan sebagai diturunkan dari takhta, dilemparkan dari pelana kuda – berhentinya daya dan kekuatan hidup. Daya dan kekuatan ini “dibalikkan” – dihentikan. Karena itu substitusi (substitution) bukanlah suatu tindakan subjek yang bebas. Dipanggil untuk kebebasan merupakan bentuk kepasifan yang paling tinggi. Karena itu muncullah gambaran tentang penyanderaan tadi. Orang yang disandera adalah seorang tawanan wajah bukan tawanan kekerasan. Dia adalah seorang tawanan sukarela berdasarkan kebebasan.
Orang-orang Ketiga
Hubungan antara aku dan orang lain bukanlah hubungan yang terjadi hanya antara dua orang saja. Hubungan itu tidak menyisihkan orang ketiga. Dalam Moi et Totalite Levinas bahkan sudah membicarakan dan menguraikan tentang hubungan yang mengatasi hubungan antara dua orang itu. Dia menampilkan ajaran tentang orang ketiga, yang tidak hadir dan tidak kelihatan namun selalu hadir dalam setiap hubungan antara aku dan orang lain. Sesamaku bukanlah satu-satunya orang lain. Sesamaku juga mempunyai seorang sesama yang juga adalah sesamaku. Dengan tampilnya orang ketiga, orang-orang ketiga, orang-orang lain, maka aku juga bertanggung jawab atas semua orang itu, atas semua perbuatan, tindak-tanduk serta tingkah laku mereka. Aku juga disandera oleh semua orang itu dan menjadi substitusi (substitution) untuk mereka semua.
Namun dengan tampilnya orang-orang ketiga itu, muncullah juga kebutuhan untuk membandingkan dan menimbang serta mempertimbangkan pelbagai kewajiban serta memikirkan dan menyusun teori-teori tentangnya. Dengan sederhana dan tulus Levinas menambahkan bahwa kehadiran orang-orang ketiga itu membawa serta perbaikan pada tuntutan-tuntutan yang tak terbatas yang dibebankan oleh orang-orang lain padaku. Aku masuk ke dalam lingkaran dan lingkup hidup sesamaku, yang mempunyai kewajiaban terhadapku. Itulah asal-usul suatu masyarakat di mana aku menjadi salah seorang warganya dengan pelbagai hak dan kewajiban yang sudah dipikirkan dan dirumuskan dengan baik. Tanggung jawab yang tak terbatas atas orang-orang lain itu diterjemahkan dalam rupa dan bentuk keadilan sosial.
Suatu Pengalaman Hidup
Menurut hakekatnya suatu filsafat adalah suatu refleksi tentang pengalaman, suatu refleksi tentang hidup. Karena itu filsafat juga mau mengungkapkan pengalaman eksistensi yang prafilosofis.
Bila Levinas berbicara tentang subtitusi (substitution), penyanderaan (otage), penganiayaan, pengalaman akan kepasifan yang mutlak dan total, kiranya ada pengalaman yang mendasarinya. Dalam autobiografi filosofisnya dia berkata bahwa hidupnya dikuasai oleh pertanda dan kenangan akan kekejaman Nazi. Bila ia berbicara tentang pengalaman kepasifan yang mutlak dan total dia mengacu pada Yesaya 53 dan pengalaman orang-orang Yahudi selama Perang Dunia II. Dalam suatu dunia yang dikuasai oleh naluri, katanya, dengan mengutip Yossel ben Yossel, adalah wajar dan biasa saja bahwa orang yang membaktikan dirinya pada yang ilahi dan yang murni menjadi korban pertama dari penguasaan itu.
Menurut Levinas, perang tersebut menyatakan pada orang Yahudi kebenaran Yesaya 53 itu. Nubuat itu mengidungkan “Hamba Tuhan yang menderita”. Dia tidak tampan dan semaraknya pun tidak ada sehingga kita memandang dia.
“Tetapi sesungguhnya penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh” (Yes. 53:4-5).
Karena mengacu pada suatu sumber yang sangat tua, dapatlah dipahami bahwa filsafat Levinas berhubungan sangat erat dengan tradisi dan refleksi tentang penganiayaan. Hal ini bahkan mengangkatnya ke tingkat yang mengatasi suatu autobiografi filosofis. Pemikirannya berasal dari suatu warisan rohani yang sangat tua umurnya.
Dalam bukunya Le dernier de Justes ( Orang budiman yang terakhir ) Andre Schwarz-Bart menampilkan dunia di mana kidung Yesaya itu menjadi suatu kenyataan yang hidup dan terus dihayati. Dia menceritakan sebuah cerita Yahudi kuno tentang Lamed Waf:
“Menurut kisah dunia bertumpu pada tiga puluh enam Orang Budiman, Lamed-Waf, yang sama sekali tidak dapat dibedakan dari makhluk hidup yang lain; seringkali mereka tak sadar akan hal itu. Tetapi andaikan hanya satu saja dari Lamed-Waf itu tidak ada, penderitaan umat manusia akan menyebarkan racun bahkan dalam jiwa anak-anak dan umat manusia akan menjerit-jerit kesakitan. Lihatlah, Lamed-Waf adalah hati dunia yang bermacam ragam; di dalam diri mereka semua kesedihan kita ditumpahkan seolah-olah dalam sebuah kolam.
Schwarz-Bart bercerita tentang sejarah atau dinasti. Dalam setiap generasi lahirlah satu orang Budiman. Garis keturunan itu berhenti dengan meninggalnya Emie Levy di kamar gas di Auschwitz. Buku ini menceritakan tentang bagaimana pada suatu sore, sesudah pertemuan di dalam sinagoga, pembicaraan beralih ke kedatangan Almasih. Bagimana kedatangannya dapat dipercepat? Salah seorang dari yang hadir menjawab: “Kita harus menderita…….ada tertulis: penderitaan serasi dengan Israel seperti pita merah serasi dengan leher seekor kuda jantan putih. Dan ada tertulis: kita akan menanggung penderitaan dunia; kita akan menanggung semua kesedihannya, dan bagi orang banyak rupanya kita akan nampak sebagai orang-orang yang dihukum, dijatuhkan dan direndahkan oleh Yang Mahatinggi. Hanya pada saat itu, pada saat Israel akan menderita dalam setiap bagian tubuhnya, dalam setiap tulangnya, di seluruh tubuh dan syarafnya, dan ditinggal tergeletak di persimpangan jalan, – hanya pada saat itulah Allah melahirkan seorang Almasih!” Dan Mordekhai, selain seorang Budiman itu berkata kepada isterinya: “Lamed-Waf menanggung sendiri penderitaan……membawanya ke surga dan meletakkan bebannya di kaki Tuhan – yang memberikan pengampunan. Karena itulah dunia tetap ada.
Latar belakang inilah yang kiranya melandasi pernyataan-pernyataan Levinas tentang yang satu untuk yang lain (l’un pour l’autre), tanggung jawab yang terbatas atas orang-orang lain, substitusi (substitution) dan yang serupa.
Kesaksian tentang Allah
Tetapi selain yang baru disebut perlulah ditambahkan yang berikut ini.
Sudah dikatakan bahwa hubungan antar aku dan orang-orang lain bersifat asimetris. Artinya, aku lebih bertanggung jawab tanpa batas daripada setiap orang lain.
Menerima tanggung jawab tersebut hendaklah terjadi sekarang dan di sini. Penerimaan seperti itu merupakan kesaksian tentang Allah. Kata Levinas, “aku takut akan Allah”, yang sering kali muncul dalam tulisan-tulisanku. Menurut pendapatku, wajah menandakan Yang tak berhingga atau menjadi tanda-Nya. Hal itu tidak pernah tampak sebagai suatu pokok (artinya, sesuatu yang dibicarakan, yang diamati atau didiskusikan dan sebagainya), tetapi dalam arti etis (artinya, tanda-tanda yang diberikan oleh sikap etis). Semakin aku adil, semakin aku bertanggung jawab. Seseorang tidak pernah tanpa utang terhadap yang lain. Selanjutnya “apabila aku berkata dihadapan orang lain “Ini aku (me voici), maka “Ini aku (me voici) tersebut merupakan tempat di mana Yang tak berhingga itu masuk dalam bahasa, tetapi tanpa membiarkan aku melihatnya. Kukatakan bahwa subjek yang berkata “Ini aku” (me voici) memberikan kesaksian tentang Yang tak berhingga. Melalui kesaksian tersebut terjadilah pewahyuan dari Yang tak terhingga. Melalui kesaksian itu kemuliaan dari Yang tak terhingga memuliakan dirinya sendiri. “Ini aku” (me voici) bermakna profetis. Hal itu mengingatkan kita akan ungkapan hineni (bahasa Ibrani) dalam Kitab Suci. Abraham mengatakan hineni ketika ia dipanggil untuk mengorbankan anaknya Ishak (Kej. 22:1); Musa mengatakan hineni tatkala ia berdiri di depan semak duri yang menyala (Kel. 3:4); nabi Yesaya mengatakan hineni ketika Allah bertanya tentang siapa yang akan diutus-Nya (Yes. 6:8). Hineni – “Ini aku” (me voici) – adalah tanda yang menunjukkan bahwa seseorang adalah seseorang untuk orang lain (l’un pour l’autre). Bagi Levinas hineni (ini aku, me voici) adalah “akusatif” yang menakjubkan: ini aku (me voici) yang engkau tatap, yang berutang budi kepadamu, hambamu. Atas nama Allah.
“Ini aku…..kepadamu…….atas nama Allah” mengungkapkan rasa keagamaan yang mendalam yakni bahwa bila kita memberikan pakaian pada orang yang telanjang atau memenuhi kebutuhan orang yang berkekurangan, bila kita menerima orang asing atau membantu orang yang tak berdaya, kita “memberikan kesaksian” tentang kehadiran Allah. Kita seolah-olah merasakan bahwa dalam perbuatan-perbuatan yang menunjukkan tanggapan dan cinta kasih manusiawi terhadap orang lain. Yang tak berhingga sedang lewat. Kita seolah-olah mengalami suatau sentuhan dari Kebaikan yang tak terhingga, suatu isyarat dari cinta kasih yang tak terperikan, suatu jejak dari yang ilahi sendiri yang sedang melewati jalan tersebut. Menyerahkan diri kepada orang lain, kepada orang yang berada dalam kekurangan, mengundang dan menandakan kehadiran Allah yang sedang lewat.
Allah yang dimaksudkan Levinas adalah Allah Musa dan para nabi. Allah itu Allah keadilan. Dia bukan Allah yang bersifat mistis, mitis atau sakramental sejauh ungkapan-ungkapan tersebut menunjukan tidak adanya jarak atau terjadinya semacam peleburan antara yang tak berhingga dengan Yang tak berhingga. Levinas lebih mengikuti tradisi Talmud dengan menolak pelbagai bentuk entusiasme dalam hidup keagamaan. Entusiasme seperti itu, menurutnya, dapat membahayakan kemurnian inspirasi kenabian.
Penutup
Baiklah disajikan beberapa kesimpulan sebagai penutup tinjauan yang singkat ini.
. Filsafat Levinas dapat disebut filsafat transedental etis. Tekanan dapat diberikan pada kata sifat etis. Ia sendiri bahkan menyetujui nama itu: “Saya sangat setuju dengan rumusan transedentalisme etis yang mencirikan filsafat saya, dengan catatan bahwa kata sifat transedental menyatakan adanya semacam prioritas, yakni bahwa etika mendahului ontologi. Karena itu dapat disebut suatu transendentalisme yang bertolak dari etika.
- Tanggung jawab terhadap orang-orang lain mendahului kebebasan yang mencirikan diriku sebagai subjek. Dengan bertanggung jawab dan semakin bertanggung jawab aku menemukan dan semakin menemukan jati diriku sebagai subjek dalam arti subjectus. Aku di tempatkan di bawah orang-orang lain dan menjadi taklukan serta sandera (otage) mereka. Aku menjadi substitusi (substitution) untuk mereka. Aku tidak lagi menjadi pusat segala sesuatu, termasuk orang lain.
- Munculnya orang-orang ketiga membuat aku disandera oleh semua orang itu dan menjadi substitusi (substitution) untuk mereka semua. Tetapi munculnya orang-orang itu membawa serta perbaikan pada tuntutan-tuntutan yang tidak terbatas yang disampaikan mereka semua padaku. Mereka juga mempunyai kewajiban terhadapku. Tanggung jawab yang tak terbatas diwujudkan dalam bentuk keadilan institusional-sosial, politik yang jujur dan tulus, serta ekonomi yang manusiawai.
- Di samping dan di belakang orang lain yang hadir sekarang dan di sini, yang adalah yang mutlak untukku, juga hadirlah orang-orang yang lain lagi. Mutlaknya tuntutan mereka melarang aku untuk memusatkan perhatian hanya pada satu orang saja dan menyingkirkan orang-orang lain. Pembatasan penyerahan diri yang tidak terbatas kepada orang lain kiranya tak terhindarkan. Namun pembatasan itu tidak membuat orang kembali kepada egoisme. Banyaknya orang itu menampakkan persaudaraan (fraternite) yang universal, yang menjamin diri dan hidupnya dengan membangun suatu masyarakat yang adil. Maka perlulah adanya perencanaan bersama, adanya pemerintahan serta strategi politis dan sebagainya. Namun semua hal itu selalu harus menimba inspirasinya dari hubungan yang asimetris, di mana aku lebih bertanggung jawab tanpa batas daripada orang lain.
- Bersikap adil terhadap orang-orang lain dan hidup dalam keadilan dengan mereka memberi kesaksian tentang kehadiran Allah yang mahaadil yang sedang lewat serta mendekatkan aku secara tak terperikan dengan Allah yang abadi dan mahatinggi. Seorang mengikuti Allah yang mahaadil, mahatinggi dan abadi terutama dengan mendekati sesamanya dan dengan memperhatikan para janda dan yatim-piatu, orang-orang asing dan para pengemis. Pendekatan itu tidak boleh dilakukan dengan tangan yang hampa.
************
Sumber: “Pidato yang diucapkan pada Sidang Terbuka Senat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Biasa Ilmu Filsafat di Jakarta Pada Tanggal 23 September 2000”.