Oleh Nardi Maruapey*
“Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia”
(Nelson Mandela)
Kata-kata Nelson Mandela di atas kiranya dapat menjadi bahan untuk kita bisa ber-kontemplasi mengenai penting dan luar biasanya pengaruh dari pendidikan. Sehingga ada banyak dari kita yang bertanya baik dari dalam hati, dengan mengeluarkan suara, bertanya pada diri sendiri maupun pada orang lain tentang apa itu pendidikan, untuk apa pendidikan, terutama terhadap masa depan setiap orang terlebih lagi bagi orang belum sadar dan masih berada dalam alam pikir yang primitif. Satu kalimat penegasan dari tulisan ini adalah jelas pendidikan itu penting — sangat penting.
Dalam berbagai macam perspektif entah itu tokoh, cendekiawan, ataupun penulis kita dapat menemukan ujung dari semuanya bahwa pendidikan adalah mendidik untuk cerdas atau upaya membuat orang cerdas. Sehingga saya sangat bersepakat dengan tujuan dari pendidikan bangsa kita yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa tentu dasarnya adalah membuat orang cerdas.
Pada konteks yang lebih universal lagi, pendidikan itu harus menyentuh nilai-nilai kemanusiaan atau membuat kita sebagai manusia untuk lebih memiliki sifat-sifat yang manusiawi. Ini kerja pendidikan untuk membentuk seseorang dari sisi karakterkter. Kiranya sangat sesuai konsepnya Paulo Freire dalam hal ini, bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Dimana pendidikan mampu mengangkat hatkat dan martabat serta kualitas hidup manusia dari segi ilmu. Ini yang saya maksudkan dengan universalisme pendidikan.
Memaknai Ulang Pendidikan
Dalam memaknai pendidikan dengan betul-betul perlu ada penulusuran secara mendalam dan berulang-berulang agar tujuan sejati dari pendidikan itu dapat tercapai. Bahwa pendefenisian dari pendidikan sebagaimana terdapat dalam rumusan undang-undang tentang sistem pendidikan nasional bahwa menurut UU Nomor 20 Tahun 2003: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Memaknai pendidikan dapat diperkuat dengan mengambil penjelasan dari dua tokoh besar dalam bidang pendidikan. 1) Menurut Ki Hadjar Dewantara bahwa, Pendidikan adalah pembudayaan buah budi manusia yang beradab dan buah perjuangan manusia terhadap dua kekuatan yang selalu mengelilingi hidup manusia yaitu kodrat alam dan zaman atau masyarakat. 2) Sedangkan menurut Jhon Dewey (2003) Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia.
Dengan demikian, pendidikan itu sifatnya hakiki bagi manusia sepanjang peradabannya seiring perubahan jaman dan berkaitan dengan usaha manusia untuk memerdekakan batin dan lahir sehingga manusia tidak tergantung kepada orang lain akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.
Dengan begitu akar dari pendefenisian yang kemudian menjadikankannya sebagai tujuan dari sistem pendidikan itu sendiri atau yang lebih luas lagi yang merupakan amanat dari konstitusi kita yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah mencerdaskan manusia Indonesia secara keseluruhan tanpa terkecuali. Bahwa sesuai dengan bunyi tujuan pendidikan nasional kita yang terdapat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yakni “untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Universalisme Pendidikan
Sampai hari ini tidak bisa lagi dipungkiri kalau kehidupan manusia tidak terlepas dari yang namanya pendidikan. Pernyataan ini sejalan dengan penggolongan oleh Sutan Rajasa dalam “Kamus Ilmiah Populer” yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan pokok manusia, selain akan adanya kebutuhan pokok manusia lainnya, seperti sandang, papan, dan pangan.
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses yang terus-menerus sejak manusia dalam kandungan sampai kembali dalam liang lahat, sehingga pendidikan sering kali disebutkan sebagai pendidikan seumur hidup atau dalam bahasa Inggris yang dikenal dengan sebutan long life education.
Universalisme pendidikan artinya meluaskan pemahaman kita pada makna pendidikan yang bukan saja hanya sekedar mencerdaskan. Menurut Plato, pendidikan akan membawa manusia dari kegelapan menuju pencerahan. Pendidikan bukan hanya memberikan jiwa-jiwa yang lapar dengan ilmu, namun juga untuk mengeluarkan potensi yang ada di dalam diri kita ke luar.
Dengan semangat dari universalisme pendidikan, kita pada prinsipnya akan selalu mempunyai keinginan untuk terus-menerus melakukan aktifitas atau kegiatan belajar. Belajar untuk lebih mengetahui dari pengetahuan awal kita sebagai manusia. Disitulah tujuan kita bergaul dengan dunia pendidikan yakni dunia yang mengharuskan kita untuk belajar, belajar, dan belajar. Belajar mengetahui, memahami, dan melaksanakan.
Satu hal yang perlu diingat bahwa pendidikan itu sangat luas — universal. Sehingga pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tapi lebih dari itu, pendidikan untuk masyarakat. Pendidikan dilakukan untuk mempersiapkan masa depan kita bukan hanya sebagai individu, tetapi juga sebagai masyarakat. Pendidikan merupakan sumber daya untuk mencapai dan menjaga keselamatan masyarakat. Pendidikan diselenggarakan untuk society (state) dan untuk individu. Tingkatan tertingginya ketika manusia sadar bahwa pendidikan bukan hanya untuk keuntungan dan kesenangan semata, “the aim of education in Plato is to enable the learners to know the metaphysical truth”.
Diambil dari salah satu jurnal yang membahas pendidikan menurut Driyarkara, seorang filsuf yang berbicara pendidikan (Aziz, 2016), tujuan pendidikan sendiri adalah memanusiakan manusia muda. Bukan, muda bukan tentang umurnya. Melainkan tentang manusia yang belum mencapai taraf keutuhannya. Sehingga tujuan pendidikan itu sendiri untuk mengutuhkan manusia tersebut.
Menjawab Krisis
Krisis yang melanda segala aspek kehidupan negara bangsa salah satu penyebabnya diakibatkan karena lemahnya pendidikan yang tertanam dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara itu sendiri. Sebagai sebuah negara bangsa kita harus keluar dari krisis ini dengan sebuah solusi. Dan pendidikan harus dijadikan pondasi kokoh dari solusi itu, karena sejatinya pendidikan merupakan proses penenaman budaya dan nilai moral etik manusia.
Mengenai krisis, kita tentu mengalami banyak krisis yang kemunculan seperti virus yang secara perlahan akan menyebar dan mematikan perkembangan manusia sebagai makhluk rasional. Krisis-krisis itu diantaranya: krisis intelektual, krisis moral etik, krisis rasionalitas dan krisis budaya (identitas). Pertama, krisis intelektual yang dimaksud adalah dimana pikiran dan kecerdasan manusia mengalami penurunan. Kedua, krisis moral etik adalah seseorang telah kehilangan sikap dan perilakunya untuk serta di depan umum atau dengan orang lain. Ketiga, krisis rasionalitas itu karena potensi untuk menuju pada kebenaran berpikir pada dirinya sudah tidak ada lagi atau biasanya pikirannya tak lagi logis. Keempat, krisis budaya adalah ketika kebiasaan baik-positif sebagai identitasnya telah hilang pada dirinya.
Semua hal itu akibat menjauhnya seseorang dari proses-proses pendidikan. Ini yang disebut dengan krisis multi-dimensional yang sedang melanda. Dan dengan pendidikan diharapkan dapat merubah semua krisis menjadi sesuatu yang kaya, yakni: kaya intelektual, kaya moral etik, kaya rasionalitas, dan juga kaya budaya. Sehingga kondisi di atas yang sudah dipaparkan dapat menjadi sebaliknya.
Kita semua termasuk juga saya harus tetap pastikan kalau orang-orang yang terbentuk dari proses-proses pendidikan secara langsung dan secara universal adalah orang-orang yang mampu membaca tanda-tanda pergerakan zaman dengan kapasitas intelektual dan moral yang dimiliki. Sebab mereka merupakan orang-orang terpilih.
*****************
*Nardi Maruapey, Mahasiswa FKIP Universitas Darussalam Ambon