Oleh Dion Pare
Belakangan, saya buka-buka lagi kumpulan esai Gus Dur, terutama yang terkumpul dalam Melawan Melalui Lelucon. Salah satu esainya berjudul, “Saya juga Keturunan Lembu Peteng”. Lembu Peteng. Ini konsep yang baru saya dengar atau baca. Saya coba mencari tahu istilah itu dalam literatur Jawa yang saya miliki. Saya juga coba melacak melalui Google. Informasinya, istilah itu hanya muncul dalam tulisan Gus Dur.
Istilah ini jelas berasal dari dunia kraton Jawa. Lembu Peteng disebutkan bagi anak-anak raja yang bukan putra mahkota. Bahkan, mereka tidak termasuk dalam daftar pewaris tahta. Biasanya, mereka berasal dari istri (garwa) selir, di luar pernikahan resmi. Tetapi, karena berada di sekitar kraton, mereka juga berkeinginan menjadi raja yang kekuasaannya mutlak dan bisa menentukan segalanya. Karena itu, sering ada kasak-kusuk di kraton. Putra-putra raja itu bersekongkol untuk mmbunuh putra mahkota atau bahkan raja sendiri agar mereka bisa menduduki tahta kerajaan.
Kita sering membaca kisah-kisah perebutan kekuasaan dalam sejarah raja-raja di Indonesia (baca: Jawa). Perebut kekuasaan itu biasanya dilakukan oleh mereka yang memiliki ambisi kekuasaan, tetapi tidak terakomodasi oleh mekanisme yang ada. Ambisi itu tidak memenuhi syarat dan ketentuan. Dalam bahasa politik modern, mereka bisa disebut oposisi, yang pada waktu itu memang tidak diakui dalam sistem kenegaraan. Setiap keinginan semacam itu tergolong dalam seruan pemberontakan yang hukumannya adalah diperangi sampai mati.
Walaupun kisah ini berasal dari masa lalu, perilaku oposisi semacam itu masih terbawa dalam kehidupan politik di era modern ini. Hal itu bisa terjadi pada saat krisis atau diciptakan menjadi krisis sehingga perebutan kekuasaan bisa berlangsung, dan dilakukan oleh mereka, yang hanya dengan cara itu, bisa menjadi penguasa. Kasus naiknya Soeharto ke tampuk kekausaan setelah huru-hara tahun 1965-1966 bisa jadi satu contoh dari oposisi Lembu Peteng. Peristiwa semacam itu terjadi karena sistem yang tersedia tidak memungkinkan ambisi kekuasaan mendapatkan saluran yang wajar untuk mencapainya. Sistem yang cenderung otoriter dan terus melanggengkan kekuasaan membuat munculnya jalan pintas semacam itu. Peristiwa yang sama berulang pada tahun 1998. Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun tampaknya tidak menyediakan mekanisme suksesi damai dan terus memperpanjang masa kekuasaannya. Lewat tekanan demonstrasi mahasiswa, yang ditambah dengan keinginan elite kekuasaan juga agar terjadi suksesi, Soeharto pun mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada Habibie.
Sejak saat itu, sampai kini, negara ini telah menetapkan dan melihara suatu sistem suksesi yang berlangsung relatif teratur, damai dan lancar. Dengan sistem dan mekanisme yang tersedia, setiap orang mendapat kesempatan yang terbuka, sesuai dengan syarat dan ketentuan. Dengan demikian, kita tidak perlu harus memelihara keadaan darurat yang memberi ruang masuknya para oposan Lembu Peteng. Oposisi Lembu Peteng selalu berharap adanya kondisi darurat yang memberikan legitimasi kepada mereka untuk berperan atau mencapai ambisinya.
Apakah oposisi Lembu Peteng sudah hilang? Tidak juga. Mereka tetap saja ada dan mencoba mendorong suasana agar kita merasa selalu keadaan darurat. Segala instrumen dipakai, termasuk menyebarkan disinformasi bahwa kekuasaan yang ada tidak cakap, tidak efektif, menimbulkan masalah, dan berbagai hal lain. Mereka menggalang kekuatan opini untuk memberi pesan agar pemerintah saat ini tidak layak dilanjutkan dan segera diganti. Maka, muncul seruan-seruan agar presiden mundur, atau aksi demo yang mendesak ke arah itu. Padahal, seturut sistem dan mekanisme yang disepakati, pergantian presiden baru akan terjadi pada tahun 2024, melalui pemilihan umum sekitar bulan Februari tahun itu.
Para oposan Lembu Peteng ini bisa saja berhasil jika mereka berhasil “membunuh” presiden, atau ketika rakyat percaya kepada mereka, turut mendorong terjadinya. Keadaan lebih parah lagi jika institusi-institusi negara lainnya mendukung mereka.
Secara pribadi, saya lebih menyukai berlangsung pelembagaan suksesi yang damai dan aman pada waktunya. Dengan mengikuti mekanisme yang tersedia, kita tidak perlu melewati keadaan darurat yang biasanya besar korban manusianya (human sacrifice). Mekanisme demokrasi yang dijalankan saat ini membantu kita mencegah oposisi lembu peteng. Selama presiden tidak melakukan tiga hal yang ditentukan dalam konstitusi, kita menjaga pemerintahan ini hingga tahun 2024 dan mencegah berhasilnya para oposan Lembu Peteng.***