Goenawam Mohamad
KOTA Mojokuto bukanlah kota khayalan. Tapi lebih dulu barangkali kita harus membaca lagi Peddlers and Princes, karya Clifford Geertz yang tiga tahun yang lalu telah disalin ke bahasa Indonesia dengan judul Penjaja dan Raja. Siapa saja yang pernah berkunjung ke Jawa akan gampang mengenalnya: ”Mojokuto kelihatannya serupa saja dengan setiap kota kecil di Jawa yang: pohon beringin, dengan patung Hindu di bawah naungannya, tumbuh di tengah alun-alun; sekelompok kantor pemerintahan di sekitar rumah wedana dengan pendapa dan halamannya yang luas; sederetan gudang-gudang dan tokotoko Cina yang terbuka bagian depannya dan berkain tenda-pasar terbuka yang luas dengan bangsa-bangsal seng yang karatan dan kedai-kedai kayu….”
Tak ada yang aneh. Juga bila Geertz berbicara tentang ”ekonomi tipe pasar” dan ”ekonomi tipe firma” di Mojokuto. Geertz, dengan ”Mojokuto”nya, pada dasarnya melukiskan prototipe kota-kota yang beberapa tahun ini mencoba mendirikan pusat pertokoan—well, shopping centre—seraya menggusur pasarnya. Para pembangun kota mungkin mendesakkan ”modernisasi” itu karena pasar begitu kuno dan menjijikkan. Tapi sekaligus agaknya ada hasrat untuk memperlihatkan pola kegiatan ekonomi yang lebih efektif. Ekonomi tipe pasar yang ”hiruk-pikuk, campur baur dan individualistis” itu hendak ditinggalkan. Ekonomi tipe firma akan diperkenalkan.
Tapi, pasar bukan cuma tempat, seperti juga ditunjukkan Geertz. Ia adalah sistem kegiatan menjajakan dan membeli barang dan jasa dalam ukuran kecil. Ia juga tempat tenaga kerja— pedagang cabai, tukang angkut dan lain-lain—muncul dan dimanfaatkan hampir tanpa batas. Ia tempat bagi mereka yang, seandainya kegiatan itu hilang, akan terhempas sebagai buangan yang liat. Dengan pasar, lumpen-proletariat di kota belum sepenuhnya terdesak menjadi ”segerombolan tikus” yang betapapun disepak dan dilempari batu, akan terus ”melobangi akar sang pohon”—seperti kata Fanon, pemikir revolusioner Aljazair, dalam Les Damnes de la Terre.
Kira-kira lima tahun yang lalu dua ahli menulis risalah yang berjudul Revolutionary Change and the Third World City. Mereka, Amstrong dan McGee, berbicara tentang ”model Indonesia” dan ”model Kuba”. Yang pertama didasarkan pada ”Mojokuto”nya Geertz: kota yang masih belum sepenuhnya dirasuki sistim kapitalisme. Yang kedua berdasarkan Kuba sebelum Fidel Castro, akhir 50-an, di mana perembesan ekonomi kapitalis nyaris sempurna.
Akan punahkah ”Mojokuto”—untuk digantikan ”model Kuba” yang ditunggu revolusi?
—————————————————————-
*Sumber Majalah Tempo, 3 April 1976
*Tulisan ini juga sudah di jadikan buku dalam Catatan Pinggir 1, Goenawan Mohamad, Grafitipers – 1982.