I G N A S K L E D E N
Ketika membaca 29 sajak Mochtar Pabottingi dalam kumpulan sajaknya Dalam Rimba Bayang-Bayang, saya tak dapat menghindari kesan, bahwa sajak-sajak ini – buat sebahagian besarnya – ditulisnya sebagai catatan kaki untuk berbagai pengalamannya: pribadi, keluarga, atau sosial politik. Tidak terasa ambisi yang menggebu-gebu untuk “hidup seribu tahun lagi” dalam puisi Indonesia. Uniknya, semakin dibiarkannya sajak-sajak itu menjadi catatan kaki dalam pengalamannya, semakin kuat daya pengucapan sajak itu sendiri, dan sebaliknya, semakin sadar penyairnya untuk menjadikan sajak sebagai suatu medium deklarasi atau maklumat sebuah tekad, semakin kurang meyakinkan daya ucapnya.
Bagaimanapun Mochtar Pabottingi barangkali hanyalah suatu gejala, fenomena dari tantangan lebih umum yang dihadapi oleh penyair Indonesia: apakah mungkin dan bagaimanakah caranya menggabungkan lirik dengan politik? Dalam pandangan saya lirik mempunyai tendensi mempersatukan perasaan dan gerak hati manusia mendapatkan eksistensinya dalam gerak daun atau desir angin, dan sebaliknya alam besar dapat terpantul dalam setiap gerak kelopak mata atau senyuman di bibir. Ada semacam unio lyrica, kalau istilah itu boleh dipergunakan di sini, sebagai parafrase dari unio mystica dalam kehidupan mistik.
Politik tidak mengijinkan persamaan seperti itu, karena politik selalu identic dengan perjuangan, persaingan dan kompetensi yang cenderung menghadirkan manusia sebagai representasi kepentingan dan sebagai kelompok-kelompok yang ingin memperebutkan kekuasaan untuk mewujudkan apa yang mereka percayai sebagai tujuan terbaik. Persaingan dan rivalitas itu tak dapat tidak akan membagi manusia dalam kategori kawan dan lawan, sementara perkawanan itu sendiri pun hanya provisoris sifatnya, sejauh ada kepentingan yang untuk sementara waktu harus dicapai dan dibela bersama. Kesulitan yang dihadapi Mochtar Pabottingi ternyata juga tidak dapat diatasi sepenuhnya oleh penyair lain yang jauh lebih berpengalaman seperti, Rendra misalnya. Ketika keterlibatan politik mengharuskan seorang penyair harus mengangkat pena, apakah dia harus tetap menulis sajak, atau dengan sadar memilih untuk menulis pamplet, risalah, brosur, atau propaganda? Dapatkah format sajak dapat dipakai untuk keperluan komunikasi politik, sekalipun dengan itu, makna tekstual sebuah puisi mengalami jalan buntu untuk dikembangkan?
Kita hanyut dalam peradaban
Di mana kita hanya mampu berak dan makan
Tanpa ada daya untuk menciptakan.
Apakah kita akan berhenti sampai disini?
Apakah semua negara yang ingin maju harus menjadi negara industri?
Apakah kita bermimpi untuk punya pabrik-pabrik
Yang tidak berhenti-hentinya menghasilkan…….
Harus senantias menghasilkan …..
Dan akhirnya memaksa negara lain
Untuk menjadi pasaran barang-barang kita?
(dari sajak “Sajak Sebotol Bir” Rendra)
Bisa dibayangkan baris-baris di atas akan menjadi sangat efektif kalau dibacakan di depan suatu pertemuan politik atau menjelang suatu demonstrasi. Namun demikan tenaga yang menggerakan pendengar dan pembacanya adalah makna referensial, lukisan ketimpangan sosial akibat kebijaksanaan ekonomi politik yang ingin menerapkan industrialisasi tanpa mempertimbangkan efek ketergantungan, yang dari segi lain merupakan uraian sosiologis yang menarik dan meyakinkan, tetapi pastilah bukanlah suatu makna yang lahir dari kandungan teks sajak itu karena interaksi hubungan-hubungan internal dalam teks sajak itu sendiri. Dengan perkataan lain, baris-baris sajak tersebut akan amat bermanfaat dijadikan bahagian dari suatu ceramah politik, tapi kita kehilangan lirik yang lahir dari kandungan teks itu sendiri.
Aku tulis pamplet ini
Karena lembaga pendapat umum
Ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
Dan ungkapan diri ditekan
Menjadi peng-iya-an
(……………………………….)
Aku tulis pamplet ini
Karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku.
Aku ingin membuat syarat kaum Indian?
(kutipan dari sajak “Aku Tulis Pamplet” Rendra)
Rendra menyatakannya dengan tepat “Aku tulis pamplet ini/karena pamplet bukan tabu bagi penyair.” Tetapi persoalan penyair adalah satu hal, sementara persoalan puisi adalah hal yang lain. Pertanyaan kita: pamplet dan politik bukan tabu bagi penyair, tetapi apakah juga bukan tabu untuk puisi? Seorang penyair dapat aktif mengikuti latihan bela diri yang pasti bukanlah barang yang tabu bagi penyair. Sekalipun demikian, kualitas sebuah sajak yang ditulis penyair tersebut tentulah tak diukur berdasarkan berapa banyak jurus silat yang dikauasainya.
Pada titik itulah kita berbicara tentang kebebasan penyair sebagai pribadi, dan keterbatasan sajak sebagai seuah genre kesusastraan. Sebuah sajak barangkali tidak dapat menampung dan menanggung segala-galanya. Pada akhirnya, yang dicari pembaca dari sebuah sajak, tetaplah puisi, yaitu makna tekstual yang terlahir dari kandungan teks itu sendiri, dan bukannya karena teks tersebut dijadikan medium informasi tentang perjuangan politik, aksi sosial, promosi bisnis, atau kampanye akademis. Hal-hal yang baru disebutkan ini dapat dengan mudah dilakukan melalui teks ilmu pengetahuan atau jurnalisme, tanpa harus bersusah paya membaca sebuah sajak yang gersang. Sebuah teks ilmu pengetahuan hanyalah medium. Tetapi sebuah sajak, seperti dikatakan oleh Marsahll Mcluhan adalah sekaligus sarana dan sasaran, jalan dan tujuan, bahasa dan makna, karena the medium is the message. Dan makna tekstual bukanlah suatu misteri, karena sudah berkali-kali diungkapkan para penyair kita yang lain.
Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari
(sajak “Pada Suatu Hari Nanti” Sapardi Djoko Damono)
Dalam sajak di atas, segala yang berhubungan dengan jasad, suara dan impian, menunjuk kepada makna referensial, sedangkan apa yang menemani kita, apa yang menggoda kita, dan apa yang memburu kita buat seterusmya adalah makna yang ada dalam bait-bait sajak, yang menyembunyikan diri di sela-sela huruf sajak tersebut. Dengan perkataan lain, adalah makna tekstual sebuah sajak yang menyebabkan bahwa:
Sesuatu yang kelak retak
Dan kita membikinnya abadi
(dari sajak “Kwatrin Tentang Sebuah Poci” Goenawan Mohamad).
—————————————————————————————————–
*Tulisan ini diringkas dari Kata Pengantar Ignas Kleden, dalam kumpulan sajak Mochtar Pabottingi, Dalam Rimba Bayang-bayang, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2003. Tulisan ini juga dimuat dalam buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Ignas Kleden, Grafiti, 2004.