Oleh RD. Hermen Sanusi
SUASANA malam itu sunyi. Hening, gelap. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Saat kami memasuki rumah Ibu Anastasia (40thn), rumah itu seolah-olah tanpa penghuni. Saya mencoba mengetuk pintu, tetapi tidak ada suara yang menyahut. Kembali hening. Beberapa menit kemudian seorang anak remaja membuka pintu. Ketika mata saya memandang ke dalam rumah, tampak Ibu Anas sedang menggendong putrinya. Rumah Bu Anas memang sedikit jauh dari rumah masyarakat yang lain di Kampung Rehes. Ibu Anas seorang penderita gangguan jiwa. Dia memiliki empat orang anak. Anak keempatnya seorang perempuan berparas cantik. Belum sampai satu tahun umurnya. Ibu Anas selain menderita gangguan jiwa, beliau juga mengalami sakit fisik, yakni kekuarangan darah. Saat melahirkan putrinya, nyawanya hampir dirnggut maut, karena kekurangan HB. Untung masih diselamatkan. Wajah Bu Anas masih tampak pucat seperti bulan kesiangan karena anemia yang menggerogoti darahnya. Suaminya seorang petani sederhana. Anak-anak mereka tampak seperti kurang terawat dengan baik. Rumah mereka lumayan luas, tapi masih berlantai tanah.
Pengalaman yang sama saya jumpai satu minggu sebelumnya ketika saya mengunjungi rumah Ibu Fatima, seorang penderita gangguan jiwa yang memiliki enam orang anak. Suaminya bekerja serabutan. Rumah mereka sangat sederhana, kecil dan berlantai tanah, berdinding pelupuh. Di dalam rumah sederhana itu, Ibu Fatima membesarkan anaknya dalam keadaan sakit. Sudah lama Ibu Fatima menderita gangguan jiwa dan sakit anemia. Anak bungsunya baru berumur dua tahun dan masih menyusui. Anak sulung Bu Fatima terpaksa menikah untuk meringankan beban keluarga. Anak-anaknya kebanyakan putus sekolah. Anak keduanya putus SMP dan sudah beristri dalam usia yang sangat muda.
Keadaan yang lebih buruk dialami oleh Ibu Goreti Ngole. Rumahnya jauh dari kampung. Berada di sebuah kebun. Rumah Bu Goreti Ngole sungguh tidak layak huni. Berdinding pelupuh yang sudah keropos. Atapnya juga bocor di sana-sini. Tidak ada ruang tamu, dapur dan kamar tidur. Saya tidak bisa bayangkan kalau musim dureng (hujan yang bekepanjangan) terjadi. Di rumah tak layak huni itu Pa Samuel merawat anak dan istrinya Gorety Ngole yang menderita gangguan jiwa. Ibu Gorety Ngole sebenarnya seorang mantri peternakan yang bertangan dingin, namun penyakit gangguan jiwa telah merenggut semua kemampuannya itu. Dia mengalami disabilitas karena gangguan jiwa itu. Saat saya mengunjungi rumahnya, semua anaknya berada di situ. Kelihatan lapar. Ibu Gorety sedang menggendong putrinya, Armi. Putrinya belum berumur satu tahun. Ketika saya menanyakan salah seorang putranya, apakah sudah makan siang? Dengan polos dia menjawab: “ Belum.’ Padahal saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 sore. Saya melihat ke arah dapur mereka, memang di sana tidak ada tanda bahwa mereka telah memasak sesuatu. Dalam hati saya bertanya, apakah keadaan mereka seperti ini setiap hari? Sejak kapan mereka tidak makan? Ketika hampir setengah jam berada di dalam rumah itu, Pa Samuel, suami Bu Gorety Ngole masuk. Tanpa berkata-kata, dia langsung menangis. Penyakit gangguan jiwa telah merubah keadaan keluarga menjadi miskin, tak berdaya, lumpuh dan mungkin sangat tidak manusiawi.
Gangguan jiwa berdampak pada keterampilan dan kemampuan pengasuhan ibu dan memengaruhi seluruh keluarga (Maybery & Reupert, 2009). Namun, menjadi seorang ibu melampaui tanda dan gejala penyakit mental. Berbagai faktor intrapersonal, interpersonal, sosial dan ekonomi yang terkait dengan gangguan jiwa memengaruhi kemampuan pengasuhan ibu, yang dapat menimbulkan risiko bagi kesejahteraan anak-anak mereka. Namun, intervensi yang berpusat pada keluarga untuk ibu dengan gangguan jiwa kronis berpotensi untuk mengurangi risiko dan mencegah hasil negatif bagi ibu serta anak-anak mereka.
Parenting adalah proses membesarkan dan mendidik anak sejak lahir sampai dewasa yang melibatkan upaya untuk mewujudkan kebutuhan fisik, emosional, psikologis, dan perkembangan seorang anak. Selain itu, mengasuh anak merupakan komitmen jangka panjang yang membutuhkan tugas fisik dan praktis serta tanggung jawab psikologis seperti memberikan kasih sayang, stimulasi, dan disiplin yang efektif. Selain itu, melalui semua tahap perkembangan, pola asuh yang efektif dicirikan oleh konsistensi, kehangatan, daya tanggap, pengasuhan, struktur, pengawasan dan otonomi yang sesuai dengan perkembangan. Pola asuh responsif dibuktikan dengan interaksi yang cepat, kontingen dan sesuai antara orang tua dan anak. Bentuk pola asuh ini meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan fisik, psikologis, emosional, sosial, spiritual dan dikaitkan dengan hasil yang lebih baik untuk anak-anak.
Secara internasional, studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi gangguan jiwa sama pada pria dan wanita. Namun, depresi dan gangguan kecemasan memengaruhi lebih banyak wanita daripada pria (Doucet, Letourneau, & Stoppard, 2010,). Berbagai peran dalam masyarakat berkontribusi pada tekanan psikologis pada perempuan yang berpengaruh pada kesehatan mentalnya. Misalnya, perempuan seringkali diharapkan untuk mengambil tanggungjawab utama untuk semua kebutuhan anak-anak mereka dan anggota keluarga lainnya, bahkan jika mereka bekerja penuh waktu.
Banyak wanita dengan gangguan jiwakronis adalah ibu karena mereka memiliki tingkat kesuburan yang normal dan memiliki rata-rata jumlah anak lebih dari dua orang. Juga ditemukan bahwa wanita yang sakit jiwa parah lebih mungkin menjadi orang tua dibandingkan pria. Apalagi pada masyarakat patriakat, sering kali mendesak kaum perempuan untuk memiliki keturunan banyak dalam meneruskan keluarga tanpa memandang keadaan perempuan. Maybery, Reupert, Patrick, Goodyear, dan Crase (2009) melaporkan bahwa 23,3% anak di Australia memiliki orang tua dengan gangguan jiwa yang tidak terkait dengan penyalahgunaan zat. Di Inggris Raya, ditemukan bahwa 10-15% anak-anak hidup dengan orang tua yang memiliki gangguan jiwa(Falkov & Lindsey, 2011). Walaupun angka serupa untuk Afrika Selatan tidak dapat ditemukan, masuk akal untuk mengasumsikan bahwa banyak orang dengan gangguan jiwayang serius dan kronis di Afrika Selatan, juga, adalah orang tua.
Mengasuh anak disertai dengan tantangan dan peluang. Ini tidak berbeda untuk ibu dengan gangguan jiwakronis. Namun, mereka memiliki tantangan tambahan terkait dengan kesehatan mental mereka dan pengaruh yang terkait pada sumber daya intrapersonal mereka, kemampuan mengatasi, hubungan interpersonal dan tingkat fungsi sosial dan ekonomi yang menyebabkan stres tambahan yang substansial bagi mereka. Gangguan jiwayang serius dan kronis dengan demikian memiliki potensi untuk mempengaruhi pola asuh responsif dan mempengaruhi fungsi pada tingkat fisik, psikologis, sosial, spiritual, emosional, pekerjaan dan interpersonal. Gangguan jiwayang serius dikaitkan dengan kesulitan dalam parenting, termasuk stres parenting tinggi dan pengasuhan yang kurang dan respon afektif yang tidak tepat. Oleh karena itu masuk akal untuk mengasumsikan bahwa anak-anak dari ibu dengan gangguan jiwaadalah kelompok yang berisiko (Craig, 2004). Namun, tidak semua ibu dan anak-anak mereka terkena gangguan jiwadengan cara yang sama.
Risiko terhadap anak-anak dari ibu dengan gangguan jiwaadalah interaksi multifase antara banyak faktor. Usia perkembangan anak-anak dan faktor sosial budaya mempengaruhi risiko pada anak-anak. Beberapa ibu mengalami gangguan jiwasebelum mereka memiliki anak; yang lainnya saat setelah mereka menjadi orang tua atau menajdi seorang ibu. Beberapa memiliki episode tunggal dan yang lainnya memiliki gangguan kambuh kronis atau gangguan jiwa musiman. Seorang ibu dengan gangguan jiwa yang serius dan kronis mungkin memiliki lebih dari satu episode penyakit, yang berarti bahwa anak terpapar selama lebih dari satu fase perkembangan. Seringkali, para ibu dirawat di rumah sakit selama periode penyakit akut atau dipisahkan dari anak-anak mereka. Dalam keadaan tertentu, ketika ada kekhawatiran akan keselamatan anak, seorang ibu mungkin tidak dapat melanjutkan sebagai pengasuh utama dan anak tersebut mungkin harus dipisahkan darinya, seperti yang dialami oleh ketiga ibu di atas. Bagaimanapun juga, harus dihargai bahwa pemisahan antara ibu dan anak dalam waktu yang lama dapat memiliki konsekuensi negatif bagi mereka berdua.
Tidak jelas apakah gangguan mental tertentu berdampak pada kemampuan menjadi orang tua lebih dari yang lain. Apa yang disebut “gangguan jiwa parah” seperti gangguan bipolar dan skizofrenia telah dilaporkan berdampak pada keterikatan orang tua-anak. Namun, tingkat keparahan dan kronisitas gangguan mungkin lebih signifikan daripada jenis gangguan tersebut. Pengaruh diagnosis spesifik pada praktik parenting dan ketidakcukupan relasional meningkatkan risiko pada anak-anak. Gangguan jiwa ibu sendiri bukanlah satu-satunya risiko bagi anak-anak mereka. Tantangan terkait dengan gangguan dan konflik keluarga, menjadi orang tua tunggal, isolasi sosial, dukungan sosial yang terbatas, stigmatisasi, tekanan keuangan dan masalah terkait kemiskinan. Selain itu, dibandingkan dengan wanita tanpa penyakit mental, wanita dengan gangguan jiwaserius memiliki lebih banyak pasangan seksual, pelecehan seksual, dan kehamilan yang tidak direncanakan (Montgomery et al.2006).
Kehadiran gangguan jiwa yang serius dan kronis serta implikasi yang terkait dengannya mengancam kemampuan ibu untuk menjadi orang tua. Anak-anak mereka adalah kelompok berisiko. Anak-anak ini mungkin mengalami masalah kesehatan dan keterlambatan perkembangan fisik, sosial, spiritual dan emosional mereka. Namun, intervensi yang mendukung anak berisiko dan ibunya dapat mengurangi risiko pada anak-anak ini. Saat ini, layanan kesehatan mental tidak cukup mendukung ibu-ibu ini atau campur tangan, dan perhatian pengasuhan mereka sangat diabaikan. Oleh karena itu, fokus layanan kesehatan mental pada peran pengasuhan ibu ini terbatas, dan pertanyaan tentang pengasuhan anak tidak secara rutin disertakan dalam penilaian dan pengelolaan ibu dengan gangguan jiwayang serius dan kronis. Selain itu, ibu sering menolak untuk memberi kepada penyedia layanan kesehatan ketika mendiskusikan tantangan dan kebutuhan pengasuhan mereka, karena mereka takut dipisahkan dari atau kehilangan hak asuh atas anak-anak mereka. Kekhawatiran mereka tentang pemisahan tidak berdasar, karena perpisahan dan kehilangan hak asuh sering terjadi di antara wanita dengan gangguan jiwayang parah melaporkan bahwa hambatan yang menghalangi kapasitas layanan kesehatan untuk menanggapi anak-anak dan keluarga di mana orang tua memiliki gangguan jiwayang parah dapat ditemukan dalam kurangnya kebijakan dan pedoman yang konsisten untuk mengidentifikasi status pengasuhan pengguna perawatan kesehatan mental, alokasi sumber daya yang tidak memadai dan manajer ‘ tidak mendukung intervensi yang berfokus pada keluarga. Penyedia layanan kesehatan menganggap peran mereka terbatas pada merawat pasien dewasa dan bukan keluarga mereka, dan mereka seringkali memiliki keterampilan dan pengetahuan yang terbatas dalam bekerja dengan keluarga. Akhirnya, sedikit secara empiris program yang diuji dan relevan tersedia untuk mendukung ibu dengan gangguan jiwa yang serius. Dukungan dari penyedia layanan kesehatan jiwa sangat dibutuhkan untuk membantu proses penyembuhan mereka.
Ketiga ibu penderita gangguan jiwa di atas menjelaskan tantangan mereka yang sangat berat berkaitan dengan sumber daya keuangan yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari mereka sendiri dan anak-anak seperti pakaian dan makanan. Bagi mereka, tantangan ini ditambah dengan fakta bahwa mereka tidak dipekerjakan. Mereka merasa tidak berguna (useless feeling). Seorang ibu berkata: “Saya dulu pergi dengan anak-anak saya ke kota membelikan mereka pakaian indah, sekarang saya tidak lagi melakukan itu.” Yang lain berkata: ” saya sekarang menderita, saya tidak lagi mampu untuk membeli pakaian yang indah untuk anak-anak saya dan makanan yang enak seperti anak-anak lain.” Peserta lain berkata: “suami saya tidak bekerja, dia melakukan pekerjaan borongan (pekerjaan paruh waktu) dan saya juga tidak bekerja. Saya mendapatkan bantuan dari tetangga dan orang yang baik hati yang mendukung kami. Tetapi saya juga merasa malu karena saya mendapat belaskasihan terus.”
Berbagai penelitian (Montgomery dan Seeman, 2008) melaporkan bahwa hidup dengan gangguan jiwa meningkatkan kemungkinan seorang wanita akan hidup dalam kemiskinan. Wanita dengan gangguan jiwa yang serius menderita tingkat pengangguran yang tinggi. Selain itu, banyak wanita dengan gangguan jiwa adalah orang tua tunggal, sehingga mereka tidak mendapat dukungan dari penghasilan pasangan. Rendahnya pendapatan memengaruhi kemampuan ibu dalam mengakses layanan kesehatan.
Para ibu menjelaskan bahwa gejala kejiwaan mereka, terutama selama episode akut penyakit mental, menghalangi mereka untuk merawat anak-anak mereka. Seorang ibu berkata: “saya selalu lelah. saat saya duduk, saya merasa tidak kuat untuk berdiri lagi. Saya duduk hampir sepanjang hari tanpa melakukan apa-apa. saya tidak tahu apakah ada obat untuk saya. ” Salah satu dari tiga ibu dengan gangguan jiwa kronis di atas mengakui bahwa mereka pernah berpikir untuk menyakiti anak-anak mereka selama episode gangguan jiwa yang akut. Seorang ibu menjelaskan: “masalah utama saya ketika saya mulai sakit, saya menjadi jengkel dan memukuli anak-anak saya, kemudian mereka menjadi taku pada saya, tetapi saya mencintai mereka. ” Membaca kenyataan di atas, saatnya kita peduli pada ibu dengan gangguan jiwa agar anak-anak mereka tidak kehilangan masa depan.
RD. Hermen Sanusi, Pr, Kepala Sekolah SMAK Pancasila Borong, Kab. Manggarai Timur, Relawan pada Kelompok Kasih Insani (KKI) di Manggarai Timur, Flores, NTT.
************************************
Jikalau pembaca tersentuh dengan karya pelayanan dari Romo Hermen Sanusi, Pr yang mendampingi, peduli, menangani penderita gangguan jiwa di Kabupaten Manggarai Timur. Selain Kepala Sekolah Romo juga melakukan pelayanan sakramen bagi penderita gangguan jiwa yang dipasung maupun yang di pondok dan gua di Kabuoaten Manggarai Timur, dapat menghubungi Romo Hermen Sanusi, Pr di no WA 0813 3948 9117.