Oleh Y. B. Mangunwijaya
TEOLOGI PEMBEBASAN atau lebih simpatik Teologi Pemerdekaan adalah suatu teologi. Artinya: refleksi nalar manusia tentang penerimaan Wahyu yang mendahuluinya, sehingga tidak hanya kemauan atau emosi, melainkan pikiran (manusia beriman) diikutsertakan dalam pertanggung jawaban suatu sikap beriman, sebab walaupun hidup beriman pada esensinya bukan semata-mata prestasi kenalaran belaka, namun nalar sebagai potensi hakiki manusiawi yang maha berharga adalah anugerah Tuhan juga. Jadi sewajarnya nalar/pikiran manusia harus diaktualisasi pula selaku instrument pertanggung jawaban sikap manusia yang beriman terhadap diri-sendiri, sesama manusia dan Tuhan.
Setiap manusia sebenarnya sudah berteologi, hanya secara spontan, baru implisit dan kadang-kadang. Sebaliknya, Teologi adalah satu “ilmu pengetahuan”, karena bekerja refleksip, sistematis dan dengan hukum-hukum logika yang sah. Namun tidak seperti sains atau ilmu-ilmu eksperimental yang disebut (ideologis sejak A. Comte) ilmu-ilmu positif. Teologi pun positif, bukan khayalan belaka atau puisi perasaan. Ia bekerja baik secara deduktif maupun deduktif dari pengalaman dan sumbangan ilmu-ilmu eksperimental juga. Teologi maupun sains punya instrument sendiri-sendiri karena obyek formal dan tujuannya tidak sebidang, walapun sering seperkara, tetapi kedua-duanya mempunyai tujuan yang sama, ialah pengetahuan.
Manusia tahu dalam beberapa lapis, dalam beberapa tingkat abstraksi dan dimensi. Dimensi teologi dan dimensi sains memang tidak sama, namun satulah yang menghubungkan mereka, ialah pemenuhan hasrat manusia yang terdalam, ialah hasrat “tahu”, dan garansi pada “tahu” itu, ialah kemungkinan mencapai “kebenaran”. Kebenaran pada manusia memang hanya mungkin secara pengumpulan batu-batu mosaik atau pijar-pijar kebenaran. Tidak pernah seutuhnya secara total sempurna, lagi harus berkembang secara historis. Pijar satu disusun di samping pijar yang lain, sehingga dalam perkembangan sekian abad pengetahuan, ibarat peta angkasa bintang-bintang dan galaksi semakin lengkap. Tentulah itu sering melalui trial and error, namun justeru itulah: secara manusiawi. Perumusan dogma agama apa pun dan dalil sains apa pun tidak mungkin bernilai mutlak komprehensip sempurna, lebih merupakan “pendekatan” daripada “pencapaian” esensi perkara. Hal itu akan selamanya begitu karena keterbatasan manusia menghalang-halanginya meraih sekian milyar galaksi universum kebenaran dengan sekali tangkap. Demikianlah teologi pemerdekaan adalah suatu teori, bukan ajaran agama, atau jawaban atas Wahyu, atau sikap iman sebagai iman, dan tafsiran manusia terhadap yang diajarkan oleh agama.
Sejak Nabi Ibrahim
Di kalangan Katolik, teologi pemerdekaan sebenarnya sudah setua Injil Yesus dari Nasaret, bahkan tanah tumbuh awalnya sudah ada dalam penghayatan ke-Tuhanan Yang Maha Esa bangsa Hibrani sejak Nabi Ibrahim. Namun secara reflektif metodis, teologi pemerdekaan baru tumbuh di sekitar tahun tujuh puluan di Amerika Latin. Teologi selalu berjalan kemudian di belakang penghayatan praksis iman; in hoc casu, teologi pemerdekaan adalah De-fleksi sistematis dari “praksis pemerdekaan” di Amerika Latin yang telah berjalan sejak kekejaman-kekejaman para conquistadores Spanyol yang menindas dan membunuh orang-orang pribumi Indian di abad-16, seperti yang dipendekari para rahib Dominikan Antonio de Montesinos dan Bartholome de las Casas. Jadi rahib-rahib Katolik melawan militer Katolik. Para rahib itu ingin konsekuen melaksanakan Hukum Cinta Kasih Injil dengan membela suku-suku India melawan kaum politisi imperial yang berkedok agama. Namun pada hakekatnya, teologi pemerdekaan pada instansi terakhir bukan pertama dan terutama persoalan kemerdekaan politik ataupun ekonomi (walaupun itu merupakan unsur-unsur bagian juga) akan tetapi pemerdekaan manusia secara “total utuh sejati” dari kedosaannya, kekejaman, keserakahan dan exploitation de I’homme par I’homme, tak peduli kedudukan, kepandaian, kemampuan, kulit, bangsa maupun agama. Bahkan di dalam praktek pemerdekaan di Amerika Latin itu, sering terjadi Gereja yang terbelah menjadi Gereja yang bekerjasama dengan kaum penindas, dan disisi lain Gereja yang memihak serta membela kaum tertindas.
Polarisasi itu tentu tidak simple hitam putih begitu saja dalam praktek, sebab cukup kompleks strukturnya.
Pengaruh Figur Yesus
Dari sejarah sering muncul fakta bahwa, dari pihak satu, agama (selaku lembaga, jadi lain dari pijar-pijar beberapa agamawan yang saleh) secara prinsipil membina kesalehan dan pemuliaan jiwa manusia, akan tetapi de facto sering terjadi, secara kolektif selaku lembaga mapan agama menjadi demon kefanatikan, kekejaman dan pembunuhan merajalela ”atas nama Tuhan”. Citra Miryam ibu Yesus (Isa) dan citra Yesabel atau Herodias, kedua-duanya dikenal dalam Kitab Suci. Pembunuh-pembunuh Yesus justeru adalah imam-imam agung dan ahli-ahli Kitab Suci. Realita ini sebenarnya terjadi di mana-mana, akan tetapi di Amerika Latin tragedi macam itu berjalan sangat dramatis. Orang-orang Amerika Latin memang jenis orang Spanyol-Protugis yang emosional dengan percampuran macam-macam darah yang mudah mendidih dalam kawah warisan kolonial.
Sebaliknya, dalam Injil yang menjadi makanan sehari-hari orang Amerika Latin yang Katolik, figur Yesus adalah citra pemuda rakyat jelata biasa pencinta damai, yang dalam kata dan perbutannya tidak pernah mengidentifikasi diri dengan kaum kaya atau penguasa (dunia maupun lembaga agama), tetapi yang bergaul intim dengan rakyat jelata sampai ia mengatakan tentang Diri-Nya:
“Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Putera Manusia (Yesus) tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya” (Luk.9:58)
Bahkan dalam klimaks hidupnya Yesus berhadapan dengan penguasa dunia dan agama hanya untuk difitnah, divonis, didera, dan disalib. Maka Pendidikan Katolik defacto, dengan tradisi Hibrani sejak Nabi Ibrahim, Nabi Musa yang bertema dasar “pemerdekaan Manusia”, mulai dari belenggu-belenggu tahayul, dari penjajahan Mesir sampai ke pengakuan Tuhan Maha Esa dan “Tanah Perjanjian Allah”. Jadi sejak kecil secara sadar dan di bawah sadar, pewartaan yang diresapkan pada setiap anak kuli maupun anak jenderal di Amerika Latin sudah digenangi dengan tema: pemerdekaan dari segala bentuk belenggu yang berasal dari dosa manusia, melewati pembaptisan (lambang penenggelaman diri dalam air laut Merah agar bebas dari “hidup lama”, lalu bangkit ke dalam “hidup baru” menurut konsepsi Cinta- Kasih Tuhan).
Di Eropa permasalahan intern agama Katolik secara historis sangat diwarnai oleh hal-hal dogmatis dan politik nasional, perebutan kekuasaan kaum borjuasi melawan kaum ningrat dan politik nasioanal yang menyertai proses masyarakat agrarian berubah menjadi industrial. Sejajar dengan itu taufan antiklerikalisme dan reformasi meruntuhkan kerajaan duniawi Vatikan, sedangkan sekularisme yang radikal memisahkan kehidupan publik dari agama, dengan segala akibat berbentuk kapitalisme, kolonialisme imperialisme yang berorientasi eksteren ke benua-benua lain. Tetapi perkembangan di Amerika Latin menjurus ke pemerdekaan kaum kolonis yang sudah berpanca-darah melawan negeri-negeri “ibu” Spanyol dan Portugal. Namun semua masih tetap dalam kerangka agama warisan dan kebudayaan katolik. Setelah kaum kolonial membebaskan diri dari raja-raja Spanyol-Portugal dan bergilir menjadi kaum tuan tanah yang kejam terhadap rakyat kecil yang seagama, maka tradisi perang kemerdekaan melawan Spanyol dan Portugal beralih ke pergulatan kaum tani dan buruh kecil menghadapi tuan-tuan “pribumi” mereka. Kaum yang paling pribumi, ialah suku-suku Indian (ditambah Negro) dalam perkembangan itu menjadi golongan yang paling menderita, akibat penjajahan pangkat dua itu. Amerika Latin pada dasarnya belum pernah mengalami keadaan negara hukum. Setiap jenderal diktator setiap saat dapat digulingkan oleh kelompok militer lain. Celakanya, setiap kaum penguasa dan kapitalis besar di Amerika Latin, dengan perkecualian Kuba dan Chilli Allende dan Nicaragua Sandinista adalah komprador (kaki tangan) sistem kapitalisme Amerika Serikat, sehingga biang keladi segala penindasn di Amerika Latin bukan rahasia lagi, justru adalah Amerika Serikat (yang ironis, selalu membanggakan diri sebagai pendekar “Dunia Bebas”).
Maka di kalangan rakyat Amerika Latin telah lama orang sadar bahwa, masalah penindasan rakyat bersumber pada imperialisme ekonomi Amerika Serikat. Dengan akibat, bahwa praksis perlawanan rakyat kecil sudah lama diwarnai oleh kesadaran perjuangan melawan kapitalisme selaku sistem ekonomi sosial-politik, yang dikongkritsasikan dalam solidaritas antara kaum tani dan buruh kecil, dengan dukungan moral dan faktual dari sebagian besar rohaniwan katolik serta uskup-uskup sebagai pemimpin-pemimpin non formal. Namun juga tak terelakkan, perlawanan rakyat itu berkembang dalam suatu rasa simpati (yang sukar dipersalahkan) terhadap analisis serta metode Karl Marx, yang historis memang merupakan satu-satunya teori yang berklaim ilmiah dan meyakinkan, membuka kedok sistem kapitalisme-liberal yang jahat.
Dimulai dari Praxis Paguyuban Umat Basis
Demikianlah di tengah penderitaan rakyat selama berabad-abad, perlahan-lahan tumbuh suatu sistem yang disebut Umat-umat Basis, yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil kaum beriman dengan sebentuk agama rakyat miskin. Kendati praksis umat-umat basis itu berlainan menurut sikon kedaerahan, akan tetapi ada 5 prinsip dasar yang dapat dicatat: 1. Keyakinan bahwa segala ketidakadilan harus digugat; 2. Bahwa untuk itu dibutuhkan proses yang oleh Paulo Freire disebut conscientizacao (penyadaran berupa proses belajar, di mana manusia semakin tau dan sadar tentang mekanisme-mekanisme apa yang “membuat” mereka miskin); 3. Bahwa situasi kemiskinan “dapat” berubah. Namun hanya oleh perjuangan “mereka kaum miskin sendiri” secara gotong-royong; 4. Demi semua itu dibutuhkan solidaritas (gotong royong) antara kaum sadar yang punya kedudukan (intelektual, struktural lebih mampu, rohaniwan, pimpinan Gereja, sarjana-sarjana, sukarelawan-sukarelawan terpelajar dan lain sebaginya) dengan yang tidak punya kedudukan, kaum lemah, tuna keadilan dan sebagainya; 5. Dan yang menjadi kunci vital: kaum miskin sendiri, biar sudah naik tingkat, jangan sekali-sekali “bergiliran” menginjak kaum yang lebih miskin lagi.
Begitulah semakin terorganisasi suatu gerakan protes, baik insidentil maupun sistemis, melawan struktur-struktur kekuasaan masyarakat (termasuk Gereja sendiri bila bersikap menindas atau menjadi kolaborator kaum penindas) demi pembentukan suatu tata masyarakat yang lebih adil.
Bagaimanakah Sikap Pimpinan Hirarki Gereja?
Dukungan tak ternilai kuatnya selaku tanggapan terhadap gerakan paguyuban-paguyuban umat basis tersebut untuk merefleksikan serius masalah penderitaan rakyat datang dari pimpinan hirarki Gereja Amerika Latin sendiri. Pada tahun 1968 sekitar 180 uskup dari Amerika Latin dengan inti dari Brazil yang paling berpengaruh berkumpul di Medelline.
Dalam sidang historis itu Pimpinan Gereja seluruh Amerika Latin secara besar-besaran menyatakan diri “tidak netral”. Dengan resmi dinyatakan, bahwa Gereja Katolik terang-terangan memihak pada mereka yang miskin dan tuna hukum dalam bidang kemasyarakatan serta ekonomi; mendukung rakyat kecil yang sebenarnya merupakan mayoritas massa Rakyat, menurut dokumen Medellin, semakin lama semakin tenggelam oleh kekuasaan-kekuasaan struktural dan institusional, oleh perusahan-perusahan transnasional serta kekuasaan keuangan internasional. Keadaan semacam itu, demikian keyakinan Majelis Wali-wali Gereja seluruh Amerika Latin, menuntut suatu perubahan pembaruan yang global, berani segera dan radikal. Dengan demikian sekali lagi Gereja Amerika Latin, dalam konteks moderen, menggemakan lagi Firman Tuhan yang tertera dalam Kitab Exodus:
“Aku telah melihat kesengsaraan bangsaku……tangis dan resah mereka karena ditindas. Ya, aku tahu penderitaan rakyat. Aku (Tuhan), turun ke bawah untuk memerdekakan rakyat-Ku” (Ex. 3: 7-8).
Tergugah oleh keputusan Majelis Wali-wali Gereja mereka, para imam, umat dan khususnya para ahli teologi mulai merefleksikan kembali sikap teologis mereka. Perintis pertama teori sistematis mengenai panggilan pembebasan rakyat kecil mengikuti jiwa Medellin ialah seorang imam teolog dari Lima, Gustavo Gutierres, yang sampai sekarang menjadi dermaga tolak dari pemikiran penerbitan buku-buku dan artikel-artikel lebih dari 600 buah. Tentulah sikap Gereja yang begitu terang-terangan memihak kepada rakyat kecil sama sekali tidak disukai oleh para dewa kuasa, kaum kapitalis dan sekutu mereka, kaum militer. Kekuatan-kekuatan konservatif yang masih sangat kuat mendapat backing dari dunia usaha Amerika Serikat sudah lama merumuskan dalih penindasan mereka atas prinsip Securidad Nacional (Hankam Nasional) dan Anti-Komunisme, sebagai dalih-dalih yang sudah lama tidak dipercaya oleh massa rakyat maupun dunia internasional, sehingga tidak pernah efektif. Oeh karena itu kaum penguasa Amerika Latin memperdahsyat represi teror mereka yang merupakan praksis sehari-hari di Amerika Latin, dan yang memuncak antara lain dengan pembunuhan Uskup-Agung Oscar A. Romero dari El Savador. “We theorize today within the sound of guns”, demikianlah keluh sosiolog A. Gouldner. Menurut ahli sosiologi tenar E. Schillebeekx keluhan itu dinyatakan lebih relevan untuk para teoritisi teologi pembebasan.
Praxis dulu, baru Teori
Salah satu jasa dan sumbangan unik dari para teolog Amerika Latin kepada dunia teologi Kristen seumumnya ialah: Pertama, penemuan bahwa, teologi, apalagi Gereja pada hekekatnya bukanlah kumpulan dogma-dogma yang abstrak, tetapi sistematisasi sikap serta peristiwa kongkrit, kontekstual”. Manusia yang wajar selalu berteori teologis (beragama dan beriman) sesudah berpraktek dalam suatu sikon, suatu pengalaman suka-duka kongkrit dari fakta-fakta ekonomik, sosial, politis dan sebagainya. Dengan kata lain, historis, sebagai proses. Teologi pun seharusnya bukan kumpulan toeri abstrak, melainkan sebagian dari proses-proses historis. Karena itu ia selalu harus diuji dan ditinjau kembali di dalam dan oleh pengalaman serta penghayatan peristiwa-peristiwa dunia, bangsa, maupun perorangan. Dengan kata lain lagi: Hakekat Gereja adalah identitas historisnya. Prinsip kedua, bahwa teologi pemerdekaan pun bukan segugusan resis-tesis abstrak yang tugas pertamanya harus dikuliahkan, melainkan sesuatu yang “dikerjakan”, dalam suatu perjalanan praktis kongkrit dalam dialog dan proses meremaja diri dengan fakta dan data-data; sekaligus suatu “sumbangan hidup” demi sejarah pemerdekaan manusia yang tertindas dan terbelenggu.
Kritik dan Debat tentang Teologi Pemerdekaan
Tentulah bisa dibanding dengan tradisi berabad-abad berteologi di Eropa dan dunia Barat seumumnya, yang (terpengaruh konteks jiwa abstrak analitis Barat) lazimnya berciri deduktif, spekulatif, abstrak dan mengklaim diri zeitlos (tak terpengaruh oleh perubahan saman), cara berteologi ahli-ahli Amerika Latin itu sangat menggoncangkan. Maka berkobarlah suatu debat besar (debat di dunia ilmu pengetahuan internasional adalah suatu gejala yang normal dan wajar saja, bahkan diharapkan; jadi lain dari di Indonesia) yang berkisar pada dua pertanyaan fundamental.
Apakah dengan begitu, para teolog itu tidak main-main api, terperangkap dalam suatu godaan teologi (dan Gereja) yang dipolitisir? Apalagi bila seorang teolog ternama dari Jerman, J.B. Metz melontarkan suatu teori baru yang terang-terngan diberi nama Politische Theologie? Apakah dengan demikian Gereja nanti tidak akan terseret kembali ke dalam kesalahan vital selama lebih dari 100 tahun, yaitu Gereja yang aktif berpolitik-praktis menjadi kekuasaan politik sehingga berakibat fatal sekali? Gereja akan muncul murni dan lebih mendekati kekhasan panggilannya apabila abstain dari soal-soal duniawi yang praktis, khususnya dunia politik. Tidakkah lebih arif bila Gereja mengkhususkan diri dalam ajaran, prinsip-prinsip serta pertanyaan-pertanyaan universal yang berlaku untuk segala zaman, situasi dan kondisi? Segala-gala telah termaktub dalam Alkitab dan ajaran tradisional Gereja. Petiklah buah-buah prinsipnya karena buah-buah ini berlaku abadi. Demikian kurang lebih reaksi terhadap teologi yang berkontes dan mengidentifikasi diri sebagai bagian proses historis, walau proses yang paling mulia pun seperti pemerdekaan manusia tertindas. Terhadap keberatan itu, para teolog Amerika Latin, seperti misalnya Segundo Galileo dalam bukunya “Contemplaciony Apostolado” menguraikan bahwa, dimensi praksis (duniawi, peristiwa, pengalaman kongkrit) dengan dimensi rohani ataupun mistika justeru harus bergandengan tangan. Tuhan menolong manusia tidak abstrak tetapi kongkrit, dengan dan ciri kemanusiawian di sini justeru: kongkrit, historis, eksistensial, di dalam konteks. Orang Barat yang berwatak analitis dan kuat daya abtraksinya terlalu mudah memilah-milah dan mengurai perkara dalam unsur-unsur yang lepas-lepas, serta selalu cenderung berkata “atau ini atau itu”. Sedangkan orang Amerika Latin (seperti orang Indonesia juga) lebih suka berkata “ya ini ya itu,” jangan hendaknya memandang segala-gala serba dualistis. Dualisme boleh dalam konstruksi abtraksi atau analisa teoritis, tetapi dalam kehidupan kongkrit, segala dimensi menyatu dalam pengalaman yang unik dan sintetis.
Oleh karena itu istilah Politsche Theologie bukan nomor satu, Teologi selaku backing ideologis sesuatu kebijaksanaan (atau ketidak-bijaksanaan) program politik partai ini atau itu, tetapi suatu sumbangan refleksi nalar manusia beriman Kristen demi peneguhan sikap menyeluruh, yang sadar akan historitas dan data realita, bahwa manusia beriman pun adalah manusia yang selalu dan tidak bisa lain kecuali hidup dalam suatu konteks historis, beriman dalam suatu konteks historis, bertanya dan bergulat dalam suatu konteks historis. Konteks yang jelas mengenai segala yang berhubungan dengan kawan-kawan manusia lain, jadi tak bisa lain: sosia politis juga (politik dalam arti asli: kearifan bertindak dalam kebersamaan orang-orang lain demi kepentingan umum). Seperti Tuhan pun menolong, membina dan mendampingi manusia tidak secara abstrak teoritis saja, tetapi kongkrit, historis, dalam konteks juga.
Tetapi selain itu, bukanlah sikap memihak pada kaum miskin berlawanan dengan ajaran autentik Yesus dari Nasaret, bahwa kita secara prinsipil “semua” orang, termasuk musuh-musuh kita pun, tidak terkecuali orang-orang kaya dan kuasa? Juga, bukankah prinsip cinta kasih autentik Kristiani tidak pernah ingin memakai segala bentuk kekerasan? Bukankah Yesus sendiri berkata:
“Barang siapa menggunakan pedang akan binasa oleh pedang!” (Mat. 26:52).
Keberatan ini tidak sulit dijawab. Cinta kasih pun tidak abstrak.
Cinta kasih bukan sesuatu yang buta berdalih netral (sebentuk sikap pengecut yang bertopeng di belakang “hukum-hukum universal yang abadi dan berlaku di segala situasi maupun zaman). “Cinta-kasih manusia pun harus ditempatkan dalam konteks. Bila ada orang sadis memukul anak yang tak berdaya, cinta kasih dalam konteks (dan begitulah selalu reaksi spontan setiap manusia normal berakal sehat) tidak akan “netral”. Kita akan spontan melindungi anak itu dan terpaksanya menendang si penjahat dengan kekerasan agar tangan anak tak berdaya itu lepas.
Demi pembelaan korban tak bersalah, seorang bandit dalam situasi darurat terpakasa akan ditembak penegak Hukum. Maka berkatalah Uskup agung Helder Camara yang merupakan eksponen prinsip Kristen mengikuti Yesus yang serba non-violence, dan sejajar dengan yang dikerjakan oleh Martin Luther King di Amerika Serikat dan seorang non-Kristen Mahatma Gandhi dengan “satyagraha” (Daya Batin).
“Bila orang (dengan bersikap a-politis) memelihara suatu tata masyarakat yang tidak adil, apakah itu bukan sebentuk politik (praktis) juga?” Dalam konteks penindasan dan penghisapan, menurut Helder Camara, “Netral artinya pengkhianatan.”
Sanggahan ketiga: Bukankah konsep pemerdekaan menurut ajaran Gereja tidak boleh ditafsir sebagai suatu gerakan “langsung” berpolitik, berekonomi dan sebagainya? Bukankah pemerdekaan yang secara tradisional dijarkan Gereja adalah penebusan dari dosa, penyelamatan ilahi Kerajaan Allah dari dosa yang menjerumuskan manusia jauh dari panggilan sejatinya menuju ke Tuhan? Bukan kerajaan dunia! Para penyangga menunjuk pada larangan disiplin Gereja Katolik bagi para uskup, pastor, biarawan, biarawati untuk langsung berpolitik praktis atau menduduki jabatan-jabatan negara. Sebab tugas primer Gereja adalah “persaksian” mengenai dimensi-dimensi “terakhir”, tentang eskhatologi Dunia atas Koderati, persaksian tentang Kristus dan dimensi penebusan-Nya. Bolehlah itu disebut pemerdekaan, namun pemerdekaan dari “dosa”, dari “akar-akar eksistensial” yang mengatasi dimensi-dimensi dunawi belaka, fana, politik praktis, ekonomi, sosiologi, bahkan kebudayaan apa pun. Tugas Gereja primer dan khas adalah tugas pernyataan dan pembelaan “prinsip-prinsip”, bukan penerjemahan langsung prinsip-prinsip itu dalam bahasa dan langkah konkret operasional langsung sosial-politis. Apalagi bila bahasa dan langkah operasioanal itu adalah memakai atau berbau kekerasan ala Marx, atau “pedang”, karena keraslah peringatan Yesus kepada Petrus (baca Gereja):
“Barang siapa menggunakan pedang, akan binasa dengan pedang juga”.
Yang telah terbukti pula di abad-abad lampau, nyaris Gereja sebagai kekuatan spiritual binasa karena langsung berpolitik praktis sebagai kekuasaan duniawi.
Sanggahan ketiga ini adalah kritik yang paling berat untuk para teolog pemerdekaan, sebab hampir tak mungkin argument yang begitu berbobot dan yang begitu menyangkut prinsip-prinsip terdalam dari Kristianitas dibantah, juga memang sudah dibuktikan secara nyata oleh sejarah pahit Gereja lebih dari 1000 tahun sejak Kaisar Konstantin Byzantium. Betapa berbahaya dan betapa mudah terlampaui batas-batas antara “cinta kasih kontekstual dalam situasi penindasan” dengan ketergelinciran dalam jerat “rasionalitas murni” perlawanan politik yang akhirnya tidak berbeda dari yang sudah dilakukan oleh setiap partai politik atau badan negara. Konflik batin yang disebabkan oleh dilema ini untuk orang-orang yang beragama lain barangkali tidak sulit penyelesainnya. Akan tetapi bagi orang Kristen yang ingin mengikuti Yesus sang Lemah-Lembut dan Juru Damai, masalah penggunaan kekerasan memang persoalan yang tidak mudah.
Dalam hubungan itu Kuba, dengan imam bersenjata Camilio Torres dan imam-imam/biarawan yang menjadi mentor-mentor kabinet Nicaragua-Sandinista sangat berhikmah. Untuk rakyat Amerika Latin, eksperimen Kuba di bawah pimpinanan Fidel Castro (dan prestasi Sandinista Nicaragua) merupakan sumber inspirasi kepahlawanan yang historis luar biasa hebatnya. Analog dengan kemenangan Jepang lawan Rusia di abad yang lampau bagi seluruh bangsa Asia. Kita harus melihat peristiwa kuba tidak sempit di dalam kerangka Marxis atau anti-Marxis melulu, tetapi dalam tradisi dan dambaan ratusan juta orang-orang kecil Amerika Latin yang menderita luar biasa di bawah penghisapan kapitalisme Amerika Serikat dengan para kompradornya. Maka dalam konteks gerakan berabad tentang pemerdekaan manusia jelata itulah tidak mengherankan bila seorang pastor Camilo Torres bergabung dengan Che Guevarra dalam perang gerilya rakyat Bolivia menantang pemerintah komprador. Peristiwa Camilo Torres mendapat pengikut di Filipina melawan rezim Marcos (baca kapitalis komprador) dan memang menimbulkan debat sengit dan luas dikalangan Gereja Katolik, yang masih bergema dalam musyawarah Besar Majelis Wali-wali Gereja 1981 di Puebla, Meksiko sebagai konperensi besar semua uskup Amerika Latin, follow-up dari Medellin 1968.
Secara resmi Gereja tidak merestui langkah Torres untuk mengangkat senjata, walaupun dengan maksud-maksudnya mulia. Namun rakyat biasa umat Katolik Amerka Latin dan opini publik generasi muda Barat menghormati Torres (ia terbunuh dalam operasi gerilya) sebagai martir pembela rakyat, bahkan tidak sedikit rakyat kecil menganggapnya orang suci. Namun Gereja resmi memang harus bersikap prinsipil.
Satu-satunya jalan yang direstui adalah jalan non violence, seperti yang sudah diteladani oleh Yesus dari Nasaret dan yang mendapat peneguhan misalnya dari Martin Luther King, juga seorang non-Kristen Mahatma Gandhi. Tetapi itu dalam taraf ajaran “resmi” atau boleh disebut pada tingkat “obyektif”. Secara pribadi “subyektif”, menurut konsensus ahli moral Katolik sekarang, orang tidak bersalah bila ia tidak mempersalahkan perbuatan sesituasi Camilo Torres.
Peristiwa-peristiwa semacam itu tidak bisa dan tidak boleh simple dipukul rata atau diabtraksi dengan suatu hukum yang berlaku mutlak. Karena di sini kita sudah tersentuh pada situasi “pribadi” dalam konteks yang khas. Yesus pun tidak membenarkan pelacuran. Tetapi juga tidak menghakimi seorang (jadi pribadi) pelacur yang oleh kaum agamawan Yahudi dihadapkan pada-Nya untuk menguji Yesus, bagaimana penyelesaian soal terhadap konflik cinta kasih dan hukum agama (resmi). Demikina juga, analog dalam konteks dan sikon Amerika Latin, sungguh tidaklah mudah kasus Pastor Ernesto Cardenal, Pastor Edgard Parrales, Pater Miquel d’Escoto M. M dan Pater Fernando, Cardenal S.J (adik dari Ernosto), masing-masing menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Kesejahteraan Sosial, Menteri Luar Negeri dan Menteri Urusan Pemuda dalam pemerintah Sandinista, Nicaragua, yang merupakan eksperimen kedua sesudah Kuba dengan radikal melawan tata kapitalisme Amerika Serikat dengan para kompradornya, tanpa bendera merah Marx.
Roma telah menyerahkan kebijaksanaan mengenai kasus tersebut kepada Pimpinan Hirarki setempat yang merasa wajib menindak keempat pastor itu dengan larangan fungsi pemimpin ibadat dalam Gereja. Konteksnya tidak sederhana. Pertama, karena di Nicaragua betul-betul kekurangan tenaga intelektual untuk memegang jabatan-jabatan tinggi negara. Kedua, karena kader sipil yang ada kebanyakan korup dan kapitalis. Ketiga, karena kaum Sandinista benar-benar ingin berikthiar bahwa, operasi politik pemerdekaan bangsa tidak mutlak harus bersendi pada Marxisme. Keempat, karena dalam pribadi pastor, biarawan-biarawati pun harus diakui dan dimanfaatkan dimensi warga-negara biasa dan kualitas-kualitas manusia normal seperti manusia-manusia lain yang berwajib menanam kebaikan dan pemerdekaan bagi sesama manusia dengan cara-cara normal manusiawi (jadi termasuk segi politik pula). Dan kelima, dan ini menyangkut lebih langsung segi-segi moral selaku konsekuensi teologi pemerdekaan: “dosa” dan “penebusan dari dosa” juga bukan sesuatu yang abstrak, semacam “ide abadi universal” yang insidensil dapat kita petik deduktif dan diterjemahkan ke dalam sikon yang nyata; bagaikan bayangan-bayangan filsafat Plato dunia fana (dan maya). Tetapi kongkrit, historis, mengejahwantah dengan sosok dan wajah yang tampak, teraba dan terasa nyata dalam represi dan exploitation de I’homme secara struktural politis, sosial, ekonomi, kultural yang riil.
Sikon Nicaragua yang khas tidak dapat diukur dengan sikon negeri-negeri lain; justeru karena sedang bereksperimen sperti di Kuba, tetapi sedapat mungkin non-Marxis. Dari pihak lain Hirarki Gereja yang di masa lalu dengan penuh pengorbanan melawan diktator komprador Somoza, merasa wajib untuk memperingatkan keempat imam itu, bahwa untuk sementara hanya dalam awal Revolusi Sandinista mereka boleh menolong grup politik Sandinista, demi rakyat terbanyak dan dalam situasi darurat. Akan tetapi menurut Uskup-agung Obando y Bravo, Gereja tidak boleh dijadikan sebentuk partai politik dan kendaraan gerobak kaum yang sedang menang politik. Dalam macam pemerintahan apa pun, Gereja mengemban tugas yang khusus (Persaksian mengenai yang benar dan yang baik, adil dan pembelaan martabat manusia). Juga di bawah pemerintahan Sandinista, yang seperti setiap lembaga manusia, pasti juga menjalankan kekeliruan-kekeliruan. Gerakan Sandinista untuk menyusun “suatu Gereja Rakyat yang harus menikah dengan mereka (Sandinista)” juga ditentang Hirarki Gereja di Nicaragua. Saat ini Pemerintah Sandinista berciri menghormati Gereja dan berniat lepas dari kapitalisme liberal (yang sejak awal dikutuk Gereja juga). Apakah saat ini suatu sikap keluar dari eselon penentu keputusan tertinggi tidak berakibat pintu bagi Marxisme akan terbuka lebar? Lebih celaka lagi, bila para uskup itu akan dicap sebagai kakitangan kaum kapitalis? Dilema seperti yang terjadi di Nicaragua atau dalam kasus Camilo Torres rupa-rupanya akan terus merupakan “masalah abadi”.
Seperti Yesus yang tidak merestui pelacuran toh tidak menghakimi si pelacur, demikian juga kita dapat berpegangan pada pendirian Uskup agung Brazil di Refice, Dom Helder Camara. Pertama, seluruh dunia-dunia maju maupun belum maju-membutuhkan sautu evolusi struktural. Penindasan tidak hanya terdapat di negara-negara berkembang, tetapi juga di Amerika Serikat dan di Eropa. Namun bangsa-bangsa yang belum maju secara keseluruhan menderita lebih parah di bawah penindasan bangsa-bangsa maju. Kedua, siapa bertanya, apakah revolusi itu harus berjalan dengan kekerasan atau tidak, harus sadar dahulu, bahkan sistem yang sedang berkuasa jelas hanya berdiri dan hanya dapat dipertahankan atas kekuasaan sewenang-wenang. Kekuasaan mapan itu di Amerika Latin menghalang-halangi usaha Pendidikan pada tingkat basis, yang bermaksud memungkinkan persatuan dalam paguyuban-paguyuban dan organisasi-organisasi berdisiplin. Ketiga, pemerintah yang hanya membuat janji-janii elok dengan tata hukum yang tidak mereka taati sendiri dan tinggal tulisan kertas belaka, mereka sendirilah yang menjadi penyebab utama tindakan-tindakan kekerasan. Dengan begitu kaum muda mengambil kesimpulan, bahwa mereka tidak berniat serius dan bahwa semua macet bila bila yang ditempuh jalan Hukum. Keempat, Dom Helder Camara yang berprinsip non violence merasa pribadinya terpanggil mengambil jalan damai untuk menyampaikan cermin kebenaran kepada para penguasa, dan sekaligus membangunan terus-menerus keadaan massa. Akan tetapi beliau menghargai panggilan-panggilan lain seperti diyakini Camilo Torres dan Che Guevara. Bahkan Uskup-agung berhati lemah-lembut itu meramaikan pecahnya suatu revolusi kekerasan kepada para penguasa, jika mereka tidak menyetujui perubahan struktural yang meniadakan keterbelakangan 400 tahun perbudakan dan kolonialisme. Kelima, kepada para muda di Amerika Latin yang mendesakkan suatu revolusi kekerasan, Helder Camara menunjuk pada Revolusi Kebudayaan yang tidak hanya meniru model-model revolusi yang asing dan impor, tetapi mematangkan suatu revolusi khas dan asli.
Konperensi di Puebla, Meksiko
Sebagai penerus Konperensi Medellin 1968, Konperensi Uskup se Amerika Latin di Puebla tahun 1981 tidak lepas dari banyak ketegangan. Menjelang Konperensi Puebla dimulai, banyak kekhawatiran timbul bahwa, para Pemimpin Gereja Amerika Latin akan melunak dan sedikit banyak menyerah kepada para jenderal-diktator pemerintah-pemerintah Amerika Latin yang semaikn mengganas, sedangkan pendapat umum Amerika Serikat semakin keras menjurus ke sebentuk Perang Dingin baru, skeptik terhadap bantuan ke negara-negara dunia ketiga. Memang dari Dokumen Persiapan (Documento de consulta) yang dipersiapkan oleh Sekretaris Jenderal CELAM (Consejo Episcopal Latino-americano). Lopez Trujillo, yang terkenal konservatif, timbullah kesan yang menimbulkan kecurigaan bahwa, inti-persoalan konsensus Medellin 1968 dahulu secara halus akan dibelokkan kearah pembicaraan abstrak tentang “sumbangan umat Katolik di Amerika Latin menghadapi perubahan kebudayaan agraris ke kebudayaan industri” dan sebagainya, sehingga esensi solidaritas Gereja dengan kaum miskin dan tuna-hukum secara diam-diam akan dikesampingkan, sementara pandangan teologis dikembalikan lagi ke konsep tradisional Barat yang abstrak. Ada sebabnya.
Selama duabelas tahun pengalaman sejak 1968, di kalanagan sejumlah uskup (juga Vatikan) timbul kekhawatiran, bahwa keputusan-keputusan Medellin akan dijuruskan ke arah Marxisme, seperti yang pernah terungkap dalam kongres “Kaum Kristen untuk Sosialisme” di Santiago Chili, 1975, di bawah pimpinan teolog Gonzalo Aroyo. Selain itu, di kalangan kaum militer jelas dengan keras diusahakan, agar di Konperensi Puebla nanti, pengaruh Medellin sedapat mungkin harus dibelokkan ke kanan. Bahkan dari CIA pun telah bocor dalam harian Le Monde, Paris suatu instruksi kepada agen-agen CIA bahwa:
“Hanya sayap progresif dari Gerejalah yang boleh ditentang. Jangan Gereja sebagai institusi atau Uskup-uskup sebagai kelompok ……Haruslah bertubi-tubi diulang-ulang bahwa sayap progresif itu berkait dengan komunisme internasional.”
Memang Dokumen Persiapan Konperensi Puebla (1981) titik-tolak lain dari Medellin. Permasalahan tidak lagi diletakkan dalam konteks praktis realita, tetapi abstrak deduktif ditolakkan dari prinsip saran suatu “masyarakat baru” (Nr.212) yang harus berkebudayaan Kristen”. Namun dalam pasal Nr. 357 ternyata bahwa “kebudayaan Kristen” tersebut diidentifikasi dengan kebudayaan Barat, yang tumbuh dari iman kepercayaan kepada Wahyu Tuhan yang menuntut sejarah dari pihak satu berdasar pada Injil, dan di pihak lain pada Teknologi moderen (Nr. 206). Documento de consulta yang datang dari sekretaris jenderala CELAM Alfonso Lopez Trujillo dan penasehat ahlinya seorang Jesuit Belgia Roger Vekkemans, SJ itu sangatlah mengecewakan para pejuang di paguyuban-paguyuban basis, kaum teologi pemerdekaan dan para Uskup, sebab dalam konsepsi yang diusulkan itu, memang betul ditolak model pengembangan masyarakat ala kapitalisme liberal maupun model kolektivis-marxis, sehingga Gereja Kristen, akan tetapi dengan tafsiran teknologi moderen dan kebudayaan industri sebagai salah satu “sendi kebudayaan di hari depan”. Secara implisit Gereja Amerika Latin lalau dianjurkan menerima dan prinsipiil mengakui para pendekar dan protagonist teknologi modern itu, yakni transnational corporations yang melaratkan rakyat, sebagai pendukung kebudayaan Kristen. Untunglah Dokumen Persiapan yang abstrak, apalagi tidak benar itu, tidak diterima sebagai dokumen dasar konperensi Puebla.
Sesudah mendapat kritik dari pelbagai penjuru ahli teologi maupun paguyuban-paguyuban basis, telah disusun suatu pegangan baru , Documento de Trabajo (Dokumen Kerja), yang tidak lagi mengidealkan suatu “kebudayaan Kristen” yang abstrak.
Namun dalam praktek Konperensi Puebla itu dokumen-dokumen dan naskah-naskah pegangan lain tidak, sangat dihiraukan oleh para Uskup. Mereka lebih suka spontan dari hati nurani berbicara dengan semangat dan nada ke Nabi an, artinya Persaksian Kebenaran. Pertama, dengan suara jaya seratus tujuh puluh delapan lawan satu suara abstain, Konperensi Pueba Meksiko 1981 konsekuen meneguhkan segala yang sudah dimulai dan diperkembangkan sejak Medellin, memerdekakan massa miskin dari belenggu-belenggu sosio-ekonomi, politik dan kebudayaan. Kedua, di dalam soal interen Gereja sendiri, para Uskup ingin, agar semakin meninggalkan konsep Gereja “untuk rakyat”, jadi suatu Gereja yang terlalu klerikal dikuasai hirarki (yang tidak ditentang tetapi diletakan dalam proporsi sebenarnya). Sistem piramid sentralistik yang lama diubah ke susunan Gereja “dari” dan “bersama” umat rakyat. Maka sekali lagi diteguhkan praksis dan proses paguyuban-paguyuban basis yang mengulurkan tangan ke massa paling luas di Amerika Latin. “Permasalahan basis ini, demikian ketua CELAM, Kardinal Alosio Lorscheider: “lebih terletak pada soal mentalitas, daripada soal struktur.” Hal yang ketiga adalah pengisian arti pemerdekaan itu. Untuk menghindari salah paham istilah Teologi Pemerdekaan tidak dipakai dalam Dokumen Keputusan Konperensi Puebla, diganti dengan Teologi tentang Pemerdekaan. Jelas seperti yang dikatakan oleh Kardinal A. Lorscheider tadi, arah pokok (konperensi) bagiku ialah Teologia de ia Liberacion, (Teologi tentang Pemerdekaan). Artinya, kami berbicara tentang pemerdekaan “dari” dan pemerdekaan “ke” dari dosa dan segala akibatnya (ketidak-adilan dan sebagainya) dan ke arah kedekatan kita dengan Tuhan dan sesama manusia. Dari situ keluarlah kerukunan solider, dan begitulah kita datang pada “aksi.”
Kami menyebutnya Evangelisacion Liberadora, suatu pewartaan Kabar Gembira yang benar-benar memerdekakan manusia
Perihal ini kekuatan kita yang besar ada pada umat-umat kecil, pada basis-basis rakyat. Di sanalah orang mudah saling mengungkapkan diri dan tolong menolong. Kelompok-kelompok basis itu tidak hanya terbentuk atas dasar Katolik, tetapi Oekumenis (kerukunan antar umat-umat yang berlainan agama). Di samping anggota yang Katolik ada juga yang Protestan atau juga yang tidak bergama sama sekali. Titik tolak selalu masalah-masalah kongkrit. Bagi kami yang tinggal di sini, ada kebutuhan apa, dan apa yang kurang? Bagaimana orang dapat saling menolong, misalnya jika salah seorang terkena sakit? Sebab dengan begitu orang dapat merasa bahwa dia diakui sebagai pribadi. Inilah perbedaan dari susunan “bapakisme”. Tujuan kita ialah agar orang-orang kita menjadi kritis dan berjiwa merdeka. Hal yang keempat ialah masalah inkulturasi bagaimana mengingat kebudayaan kongkrit, Gereja dapat merakyat dan membudaya secara pribumi. Asas-asas Kristen berlaku di seluruh dunia, akan tetapi bagaimana “ungkapannya” dan “penghayatannya”? Bagaimana iman dapat diekspresikan secara autentik, jujur dan benar dalam kerangka, dan iklim kebudayaan Amerika Latin? “Di Medellin dibicarakan permasalahan “kemasyarakatan”, struktur ketidakadilan dan sebagainya. Itu semua tidak kami tinggalkan. Namun di Puebla ada sesuatu yang baru yang tumbuh, ialah pemecahan soal-soal inkulturasi.
Namun Teologi Pemerdekaan bukanlah (tidak akan) sesuatu yang telah bulat selesai, melainkan suatu proses yang selalu berdialektik dengan realitas yang serba berkembang. Ada tiga arus besar di dalamnya, ialah pertama, suatu teologi pemerdekaan yang merakyat berupa perjuangan perubahan radikal dari struktur-struktur kemasyarakatan (khususnya ekonomi dan politik pemebelengguan} berupa pendidikan pemerdekaan mental yang berwarna kritis, nasional dan berhaluan sosialisme Kristen. Kedua, suatu teologi pemerdekaan yang katerogial berorientasi Marxis, dengan inti gerakan “Kaum Kristen untuk Sosialisme.” Ketiga, suatu teologi pemerdekaan dalam arti penghayatan Injil secara konsekuen, antara lain dalam sikap prinsipiil non-violence.
Ketiga arus itu masih serba bergerak dan batas-batasnya sering kabur. Tetapi dalam satu dua hal mereka seia sekata, ialah perihal, menolak dalih “Keamanan Nasional” yang di dengungkan oleh para diktator militer untuk menyelubungi struktur-struktur ketidakadilan serta aksi-aksi teror mereka melawan rakyat yang sering memberontak bela diri. Semua sadar, betapa jahat kapitalisme liberal dengan perusahan-perusahan transnasional sebagai intinya, yang mengurung dan menghisap negeri mereka. Gereja dan umat Katolik dalam struktur ketidakadilan secara prinsipiil tidak boleh bersikap netral, dan bahwa sikap beriman tidak bisa lepas dari sikap politis. Bagaimana sikap politis itu akan diungkapkan, terserah pada sikon dan konteks. Tetapi umumnya diakui bahwa, analisa dan metode praksis yang bersandarkan atas beberapa unsur ajaran Karl Marx dapat berguna. Di Amerika Latin (jadi dalam konteks kongkrit), seorang Katolik “dapat” dan “boleh” dengan beberapa prasyarat, mengakui dan menggunakan alat analisa serta metode Marxis tanpa menjadi seorang atheis. Namun diakui juga, bahwa analisa dan metode Marxs bukan satu-satunya jalan yang dapat dilalui proses pemerdekaan.Teologi pemerdekaan memang tumbuh dalam alam rakyat yang miskin, bodoh dan menderita dan beriklim lain sama sekali dari teologi “Barat” yang banyak mengandung unsur-unsur tak kentara dari kebudayaan borjuis/kapitalis liberal. Pemerdekaan politik dan ekonomi bukanlah tujuan terakhir dari rakyat yang menderita, melainkan hanya dimensi-dimensi bagian saja, namun bersifat azasi bagi kemerdekaan manusia utuh yang harus dibebaskan dari dosa dalam segala akibat dan bentuknya. Demikianlah rakyat harus menuju ke suatu status atau lebih tepat, dinamika kemerdekaan yang dekat dengan Tuhan serta melaksanakan cinta kasih kepada sesama manusia, tanpa memandang ras, agama maupun kedudukan. Kemerdekaan dalam arti sejati baik mendalam/immanen maupun transenden pertama-tama perlu dipraktekkan dahulu sebelum orang berteori.
Bagaimana di Asia?
Di Asia Teologi Pemerdekaan sangat berpengaruh. Di Filipina yang situasinya mirip Amerika Latin dengan mayoritas Katolik, berwarisan kebudayaan agama Katolik-Spanyol dan keadaan ekonomi sosial serta politik yang dikuasai tuan-tuan tanah dan para komprador. Begitu juga di Korea Selatan yang struktur industrialisasinya menanjak seperti di Brasil, namun di bawah tangan besi. Tetapi di kedua negara itu, seperti di Amerika Latin, teologi pemerdekaan di mungkinkan berkat sikap profetic yang tegak prinsipiil dari dua pemimpin berwibawa, Gereja Katolik di Filipina, Kardinal Sin dan di Korea Selatan, Kardinal Kim, yang kedua-duanya tak gentar bersikap kenabian dalam hal melakukan pembelaan bagi keadilan demi kaum tertindas.
Di Indonesia Teologi Pemerdekaan hampir tidak dikenal oleh para imamnya, apalagi oleh umat. MAWI (sekarang KWI) adalah badan pimpinan dari suatu Gereja yang merupakan minoritas di Indonesia, sedangkan para anggotanya kebanyakan terdidik dalam lingkup pengaruh teologi Barat, namun yang dipihak lain sudah banyak diresapi unsur-unsur kebudayaan pribumi yang terkenal sebagai soft nation, dengan segala akibatnya, positif maupun negatif.
Umumnya Gereja Katolik di Indonesia baru berjasa kepada pihak yang miskin dan tertindas dalam bidang caritas, kasih sayang yang menghadiahkan dana dan jasa. Belum pada dimensi struktural. Perkecualian di sana-sini sporadis tentu saja ada, tetapi seperti yang (barangkali keterlaluan tetapi karakteristik) dikatakan oleh seorang wartawan suatu harian di ibu kota: “Gereja Katolik di Indonesia masih Gereja Dang-Dut.”
—————————————————————–
Sumber : Majalah PRISMA, Tahun XI No. 9 September 1982