Oleh Cypri Jehan Paju Dale, Warga Adat Flores, Peneliti pada Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Kyoto University, Japan
FOTO seekor Ora atau Sebae – nama asli Komodo (Varanus komodoensis) – berhadap-hadapan dengan sebuah dumptruck di Pulau Rinca telah menjadi salah satu foto paling ikonik dalam sejarah hubungan satwa dengan manusia di Indonesia. Sebagai bagian dari program menjadikan Taman Nasional (TN) Komodo dan sekitarnya sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), pemerintah membangun apa yang disebut sarana dan prasarana “wisata Jurassic” di Rinca.
Bersamaan dengan itu, izin pengembangan resort ekslusif dan bisnis wisata lainnya digelontorkan di sejumlah lokasi strategis habitat satwa purba kebanggaan Indonesia itu. Momen yang terekam dalam foto itu menjadi historik bukan saja karena untuk pertama kalinya truk dan mesin-mesin proyek lainnya merambah masuk ke habitat komodo. Tetapi juga karena perjumpaan itu menandai sebuah transisi besar bentang alam di barat Pulau Flores itu dari tempat perlindungan yang aman (safe havens) selama jutaan tahun bagi Ora dan satwa penyertanya menjadi zona wisata berstatus Kawasan Strategis Nasional di bawah kuasa negara dan korporasi.
Kendati baru menjadi intensif akhir-akhir ini, campur tangan penguasa dan pengusaha terhadap bentang alam dan peri kehidupan Komodo terjadi sejak zaman kolonial Belanda. Sejak keberadaannya diketahui oleh kolonialis Eropa pada tahun 1910 hingga kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, tercatat setidaknya 15 ekpedisi dilakukan oleh para ilmuwan dan pebisnis satwa Barat ke Komodo.
Letnan J.K.H van Steyn van Hensbroek, seorang pejabat kolonial Belanda, adalah orang Barat pertama yang menginjakkan kakinya di Pulau Komodo. Selama kunjungan itu, dia membunuh seekor komodo dewasa dan mengirim kulit dan fotonya kepada Peter A. Ouwens, direktur Museum Zoologi dan Kebun Raya di Bogor. Ouwens kemudian mengirim seorang kolektor ke Komodo yang membunuh 2 ekor komodo dan membawa dua komodo hidup ke Bogor. Tahun 1912 Ouwen menulis sebuah artikel yang memperkenalkan Ora ke publik Barat, sebuah tulisan yang menggemparkan dunia dan memicu rangkaian ekspedisi ke Komodo.
Setelah Perang Dunia I reda, sebuah tim yang dipimpin oleh W. Douglas Burden dari Museum of Natural History Amerika datang ke Komodo. Atas izin pemerintah kolonial Belanda di Batavia, tim Burden ini menangkap 27 ekor Ora. Dua ekor Ora dewasa dibawa dalam keadaan hidup ke Amerika dan ditempatkan di Kebun Binatang Bronx, New York. Satu ekor dikirim ke Amsterdam dan lima ekor lagi menyusul pada tahun berikutnya.
Dari lima itu, dua Ora dikirim ke kebun binatang London, sementara kebun binatang Amsterdam, Rotterdam, dan Aquarium Berlin masing-masing mendapat satu ekor. Dalam waktu singkat, Ora menjadi termasyur di Eropa dan Amerika. Kebun binatang dan museum dibanjiri pengunjung. Di New York misalnya, pada 26 September 1926 wahana Ora dikunjungi 38.000 orang.Sejak saat itu semua kebun binatang dan museum sejarah alam di Eropa dan Amerika berlomba-lomba mendapatkan koleksi komodo, hidup atau mati.
Menanggapai tingginya permintaan pasar global, pemerintah kolonial Belanda di Batavia mengembangkan dua kebijakan. Pertama, komodo ditetapkan sebagai reptil yang dilindungi. Kedua, proses penjualan diatur oleh administasi pemerintah kolonial.
Sebagaimana dicatat oleh sejarawan lingkungan Robbert Gribbs (2007) dan Timothy Barnard (2011), kebijakan pemerintah Belanda untuk menjadikan komodo sebagai reptil yang dilindungi diilhami oleh paternalisme kolonial yang bercampur aduk dengan kepentingan ekonomi. Mereka menganggap penduduk asli Komodo sebagai ancaman bagi kerusakan lingkungan melalui aktivitas-aktivitas tradisional mereka seperti berburu dan mengumpulkan hasil hutan dan laut. Sementara mereka sendiri bekerja sama dengan elit pribumi mengembangkan aktivitas-aktivitas borjuis, seperti olahraga berburu. Bahkan flora dan fauna Komodo pun mereka jadikan komoditas perdagangan global.
Setelah pemerintah Indonesia menguasai rakyat dan negerinya sendiri, intervensi terhadap komodo dan habitatnya menjadi semakin intensif. Pada1965, Komodo ditetapkan sebagai cagar alam. Tahun 1980, di bawah asuhan lembaga bantuan pembangunan Ameria (USAID), habitat komodo ditetapkan sebagai Taman Nasional.
Nasib tragis dialami warga yang hidup di bentang alam Komodo itu. Atas nama konservasi, pemukiman mereka dipusatkan dalam satu enclave seluas 17 hektar saja. Tanah mereka dikuasai dan sejak itu, berkebun dilarang. Mengambil hasil laut pun hanya diizinkan di kawasan tertentu. Kebun adat (lodok) di Loh Liang dibongkar. Warga yang menolak dianiaya dan dipenjara.
Pemerintah mendorong masyarakat mengubah mata pencaharian mereka ke sektor pariwisata. Mereka dilatih menjadi penjual patung dan pedagang makanan di Loh Liang. Saat ini, setidaknya 127 orang menjadi pedagang di sana. Sekitar 100 orang muda menjadi naturalist guides, dive instructors atau agen perjalanan independen.
Sementara itu, praktek penangkapan dan pengiriman komodo keluar habitatnya terus berlanjut. Selain untuk berbagai kebun binatang dalam negeri, Komodo terus dikirim ke luar negeri. Sebagian sebagai cenderamata persahabatan diplomatik. Penelusuran kami tahun 2012 menunjukkan bahwa setidaknya ada 500 Komodo tersebar di luar negeri, termasuk di Amerika Serikat, di mana 40 kebun binatangnya mengoleksi Komodo. Di sana Komodo dikembangbiakkan dan terus diperjualbelikan di antara kebun binatang, serta menjadi obyek studi ilmiah multi-disiplin.
Di kepulauan Flores sendiri populasi Komodo di luar taman nasional terus menurun tajam. Di dalam TNK, aktivitas utama Balai TNK adalah memungut tiket dan melakukan patroli. Tidak ada program konservasi sistematis dan penelitian yang signifikan.
Selepas penetapan kawasan ini sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) oleh Pemerintahan Joko Widodo, nasib Ora dan habitatnya serta warga di dalam kawasan TNK makin tidak menentu. Selain pembangunan sarana dan prasarana pariwisata, izin investasi resort ekslusif dan bisnis jasa wisata lainnya diberikan kepada orang-orang Jakarta yang dekat dengan pejabat.
Di Flores, istilah “orang-orang Jakarta” kini memiliki konotasi yang mirip dengan penguasa kolonial Eropa menjelang Indonesia merdeka. Orang-orang Jakarta adalah istilah untuk orang-orang yang memiliki kuasa dan uang, yang berlaku manis sambil mengincar tanah strategis, mengelola proyek-proyek kementerian dan memanipulasi kepolosan warga lokal dan ketidakpahaman pemerintah daerah. Mereka adalah himpunan orang-orang yang atas nama pembangunan merusak ekologi, menyingkirkan warga setempat, dan mengeksploitsi Komodo demi keuntungan ekonomi mereka sendiri. Ketidakpuasan terhadap situasi itu, dan keinginan untuk mempertahankan ekologi Komodo yang lestari, warga bangkit melawan.
Ketika pemerintah NTT hendak merelokasi warga Komodo ke pulau lain pada tahun 2019, ribuan warga Komodo menghadang Tim Terpadu yang terdiri dari pejabat berbagai Kementerian dan Pemerintah Provinsi NTT di dermaga Komodo. Mereka menolak rencana pemindahan penduduk demi program pariwista ekslusif super-premium di wilayah itu. Ketika melihat foto Ora ikut menghadang truk proyek wisata Jurassic di Rinca, kita menjadi maklum, bahwa baik Ora maupun Ata Modo tidak akan membiarkan penguasaan ruang hidup mereka atas nama konservasi dan bisnis pariwisata.
Selama ribuan tahun Ata Modo hidup bersama Komodo dan satwa lainnya hidup bersama dalam apa yang oleh para antropolog disebut kekerabatan antarspesies (interspecies companionship) (Harraway 2003; Tsing 2012; Dale dan Afioma 2020).
Sebae dalam bahasa Modo artinya sebelah atau kembaran. Bagi Ata Modo, Varanus komodoensis dipercaya dan diperlakukan sebagai saudara kembar yang lahir dari rahim ibu yang sama. Tidak hanya dalam legenda adat, kepercayaan itu menandai praktek sehari-hari. Mereka berbagi ruang, tidak saling memusnahkan. Dalam praktek berburu (sebelum dilarang) hasil buruan selalu dibagi dua. Ata Modo mengambil daging isi, kaki kepala, kulit dan seluruh bagian dalam dipotong-potong dan diberikan kepada saudara kembarnya itu . Saat menemukan Komodo mati di hutan, Ata Modo menguburkannya seperti manusia. Dan ketika berjumpa, Ata Modo berkomunikasi dengan Sebae dalam bahasa Modo.
Pembangunan pariwisata super premium dan konservasi yang dikembangakan Pemerintah dewasa ini, sebagaimana environmentalisme kolonial pada zaman Belanda, tidak saja mengabaikan sistem pengetahuan dan praktek arif Ata Modo dan suku-suku lain di Kepulauan Flores yang sudah berlangsung ribuan tahun. Malahan ruang hidup Komodo dirambah menjadi lahan bisnis pariwisata ekslusif super premium, satwa dijadikan komoditas industrial, dan warga setempat disingkirkan.
Tidak mengherankan jika model pembangunan ala kolonial ini mendapat tentangan dari masyarakat lokal.
******************
*Ata Modo : Orang Komodo
*Sumber Tulisan Majalah Tempo, Edisi 4-10 Januari 2021