Oleh Budi Hartanto
PASCAFENOMENOLOGI dikembangkan oleh Don Ihde seorang filsuf teknologi asal Amerika. Sebuah filsafat yang menjelaskan relasi-relasi pragmatis-eksistensialistis antara manusia dan dunia teknologi, yaitu ketika eksistensi tidak lagi dapat dimaknai terbatas pada tubuh dengan segala potensi panca inderanya, tapi juga berada pada moda relasi dan transparansi dengan teknologi. Mengacu pada filsafat Ihde ini, fenomenologi klasik kemudian tidak lagi memadai untuk memahami secara filosofis dunia kehidupan kontemporer.
Fenomenologi membahas bagaimana kesadaran dijelaskan sebagai sesuatu yang selalu tertuju pada fenomena. Ia sering dikatakan yang menengahi dua aliran besar filsafat modern: idealisme dan materialisme. Dengannya, kita pahami secara eksistensial bahwa dunia merupakan struktur relasional dan terberi dari kesadaran. Secara intensional, “subjek” atau ego transendental mencerap dunia dengan perspektif yang khas dan tersituasikan. Maurice Merleau-Ponty kemudian mengelaborasi fenomenologi yang tidak berpusat pada subjek Cartesian. Ia berpendapat, tubuhlah yang merasakan dan mengerti dunia. Ihde kemudian melengkapinya bahwa tubuh berada dalam relasi dengan teknologi. Dunia secara intensional mewujud dan dipersepsikan melalui mediasi instrumen-instrumen teknis.
Secara lebih luas pascafenomenologi merupakan filsafat material yang mensyaratkan setiap pengetahuan. Ia menjadi moda cara mengadanya manusia, teknologi mentransformasikan pengalaman. Karena itu, semua ilmu-ilmu empiris boleh dikategorikan ke dalam pascafenomenologi. Tidak hanya penggunaan instrumen optik seperti dalam ilmu biologi molekular, fisika partikel dan kosmologi kontemporer, tapi juga geografi, antropologi, sejarah dan arkeologi mendasarkan pengetahuannya dengan mediasi materialitas teknologi.
Berdasarkan pendekatan pascafenomenologis, Ihde mengatakan dalam sebuah wawancara, filsafat tidak lagi berorientasi linguistik. Pikiran tidak menjadi keutamaan digunakan terutama untuk menyingkap pengetahuan. Kendati demikian, bukan berarti ilmu pengetahuan kemudian menafikan rasionalitas, melainkan berpijak pada kualitas-kualitas termanifestasikan secara teknologis. Ia, misalnya, merumuskan gagasan hermeneutika material. Karena aktivitas ilmu pada dasarnya bersifat sosio-kultural, hermeneutika material diperlukan dalam setiap penelitian keilmuan. Menurut Ihde, pemilahan analitis antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam tidak lagi diperlukan karena keduanya mengandaikan suatu kegiatan hermeneutis (2003: hal. 18).
Pembacaan dunia melalui teknologi merupakan inti fenomenologi instrumentasi atau secara lebih luas pascafenomenologi(1979: division one). Kesatuan relasional inilah yang membentuk dunia secara persepsional. Teleskop, misalnya, menjadi ekstensi dari tubuh. Kesatuan manusia-teleskop mencipta dunia secara partikular fenomenologis. Teleskop berada dalam relasi dengan tubuh, seolah-olah tubuh (mata) kita meluas, melihat bintang-bintang dan planet-planet dari jarak dekat. Ihde mengistilahkannya relasi transparansi dengan teknologi (1979: hal. 8). Yaitu ketika tidak lagi disadari objektivitas keberadaannya, melainkan menjadi ekstensi dari tubuh.
Demikian pula telpon (1979: hal. 23). Telpon merupakan instrumen yang menghadirkan dunia melalui wujud suara. Keseluruhan tubuh tereduksi terbatas pada kualitas inderawi tertentu. Tubuh mewujud sebagai dunia teknologis. Teknologi tidak hanya memediasi dunia non-human (baca: alam), tetapi juga dunia tercipta antara manusia dengan manusia-manusia lainnya. Pengalaman tereduksi pada kualitas-kualitas inderawi tertentu, dunia terkonstruksi secara instrumental-fenomenologis.
Kematian Pascafenomenologis
Membahas kematian selalu merujuk pada gagasan tentang terlepasnya jiwa (res cogitans) dari tubuh (res extensa). Inilah problem klasik dualisme jiwa-tubuh Cartesian. Eksistensi tak akan ada tanpa jiwa atau pikiran; dan tanpanya sama juga dengan kematian. Filsafat Descartes sebenarnya menegaskan apa yang diwariskan oleh agama-agama dan tradisi kebudayaan tentang keberadaan jiwa sebagai entitas non-fisik tak terjelaskan. Keberadaannya dianalogikan seperti hantu di dalam mesin.
Seperti juga halnya fenomenologi klasik percaya adanya ego transendental. Filsafat Husserl menjelaskan bahwa eksistensi tidak hadir secara material. Husserl masih berada dalam bayang-bayang filsafat Descartes. Baru fenomenologi yang dikembangkan oleh Maurice Merleau-Ponty, tubuh mendapat tempat utama. Perspektif fenomenologi, jiwa yang dipercaya dalam arti eksistensi memang tidak mendeterminasi bagaimana kita melihat dunia, bahkan dalam perkembangannya tidak dikenal entitas nonfisik bernama jiwa. Pemahaman kita tentang entitas yang dinamakan jiwa bersifat material. Tubuh tersituasikan yang bersifat relasional dengan teknologi menentukan bagaimana dunia hadir secara persepsional. Oleh karena itu, kematian perspektif pascafenomenologi selalu merupakan kematian tubuh dan dalam relasinya dengan instrumen.
Lalu pertanyaannya kemudian bagaimana kita melihat kematian dan kematian eksistensial seperti diargumentasikan Muhammad Damm dalam bukunya yang akan kita telaah ini? Kematian, menurut Damm, pada dasarnya konstruksi sosio-kultural. Dari sini kemudian terbentuk sebuah antinomi antara kematian tubuh sosial dan tubuh korporeal. Di satu sisi tubuh bersifat organis korporeal, namun di sisi lain ia hadir secara sosial. Mengenai hal ini bisa kita lihat filsafat eksistensialisme Gabriel Marcel, ketegangan antara tubuh sosial dan tubuh korporeal pernah dijelaskan olehnya dalam Being and Having (1949). Menurutnya, ada kesatuan relasional antara Aku sebagai ada yang bersifat sosial (being) dan tubuhku yang korporeal (having). Ada menurut Marcel dapat dijelaskan lewat pernyataan eksistensialistik Aku memiliki tubuhku. Jadi, bila tubuh korporeal tidak dimiliki, maka tidak ada Aku sebagai tubuh sosial. Aku menjadi ada yang terlepas dari tubuh, namun pada saat yang sama Aku dan tubuh dapat menjadi kesatuan, seperti ketika kita merasakan sakit pada tubuh kita. Proposisi “Aku memiliki tubuhku”, dalam filsafat Marcel, menjelaskan manusia adalah tubuhnya sekaligus bukan tubuhnya, yaitu ketika tubuh dikatakan dimiliki oleh Aku sebagai entitas yang tak dapat dijelaskan.
Perspektif pascafenomenologis, kesadaran terkait dengan persepsi kultural. Selain kualitas-kualitas inderawi yang kita cerap secara langsung, dipercaya adanya persepsi kultural yang membentuk kesadaran tentang dunia (atau gestalt). Merleau-Ponty mengelaborasi fenomenologi tentang persepsi ini ke dalam sosialitas manusia. Eksistensi tercipta berdasar pengalaman kemenubuhan (embodiment) yang berkembang secara perseptual-fenomenologis. Ia menjadi prasyarat terbentuknya dunia sosial. Namun demikian, bukan berarti kesadaran itu terbatas pada pengalaman yang asali (dunia pra-keilmuan), karena relasi-relasi sosial telah membentuk nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, menurut Merleau-Ponty, fenomenologi mencakup nilai-nilai yang terbentuk melalui relasi-relasi sosial, seperti etika, politik, estetika, sejarah dan bahasa.
Ini berbeda dengan filsafat Ihde, eksistensi tidak terbatas pada tubuh dan potensi sosialnya saja, tapi juga teknologi. Secara pragmatis, persepsi dapat dihadirkan dengan mediasi instrumen. Karena itu, apa yang kita ketahui sebagai kesadaran/pikiran tidak terpisah dari dunia material. Ia membuat terma mikropersepsi dan makropersepsi. Mikropersepsi adalah persepsi (materialistis) yang hadir ketika kita mengenali kualitas-kualitas inderawi secara langsung. Sedangkan makropersepsi terbentuk secara kultural dan tidak bersifat langsung.
Dapat diproposisikan kemudian, kematian eksistensial (tubuh sosial dan tubuh korporeal) dapat merupakan persepsi, terutama makropersepsi yang mengkonstruksi gagasan tentang kedirian. Bahkan, gagasan tentang mikropersepsi (yaitu ketika tubuh mencerap dunia) sebenarnya menjelaskan tubuh korporeal tidaklah benar-benar impersonal. Artinya, tubuh dapat mengenali dunia inderawi (kepadatan, warna, suara, suhu) terlepas dari eksistensi tubuh sosial. Dikotomi tubuh sosial dan tubuh korporeal berkenaan dengan kematian seperti dirumuskan Damm dapat kita jelaskan lewat fenomenologi persepsi dan instrumentasi ini.
Makropersepsi yang membentuk kesadaran yang menyejarah tentu saja tidak bisa dianalogikan dengan kehidupan itu sendiri. Karena relasi tubuh, instrumen dan dunia secara pragmatis mengandaikan terciptanya dimensi-dimensi kehidupan, makropersepsi tidaklah menjadi keutamaan, bahkan boleh dibilang tidak ada. Konsekuensinya, kematian perspektif pascafenomenologi bersifat korporeal, relasional, dan instrumental. Eksistensi bukanlah state of mind, melainkan tubuh dalam relasinya dengan instrumen.
Karena kematian universal itu negativitas atas kehidupan (atau antifenomenologi), lenyapnya kehidupan termediasi instrumen dapat diistilahkan dengan kematian partikular-pascafenomenologis. Kematian bersifat partikular konsekuensi dari berekstensinya dunia melalui teknologi. Karena pengandaiannya, tentu saja, tubuh kita masih hidup, hanya kualitas yang bersifat relasional diketahui mati. Terputusnya kehidupan virtual (simulasi komputer dan media sosial) dapat kita istilahkan dengan kematian partikular. Simulasi tubuh virtual, yaitu tubuh terkoneksi ke dalam ruang virtual, menjelaskan apa yang kita mengerti dengan kematian partikular. Ketika realitas terputus, seolah-olah kita merasakan kematian.
Kematian partikular menjadi lebih terasa apabila dilihat melalui relasi-relasi manusia dengan dunia sosialnya yang tercipta secara teknologis. Mungkin inilah relevansi kematian “tubuh sosial” seperti dijelaskan Damm. Bahwa kematian terkait dengan dunia sosial, bersifat intersubjektif, antara manusia dengan manusia-manusia lainnya. Tanpa dunia sosial, kematian menjadi tidak bermakna. Dimensi afektif kematian dapat dijelaskan dalam konteks ini. Ketika memutus secara elektronis dan permanen, seakan-akan kita merasakan kematian. Dari sini dapat dimengerti, kematian selalu menakutkan, selain rasa sakit tentunya, karena terputusnya relasi-relasi sosial. Seperti dalam nalar filsafat Heideggerian, eksistensi bermakna ketika ada yang lain mati meninggalkan kita.
Namun, perlu kita garisbawahi dunia sosial selalu tersituasikan dan termediasikan tubuh dan teknologi. Sebelum relasi sosial terbentuk, pengandaiannya tubuh mesti terlebih dulu secara inderawi mengenali dunia. Kita tentunya tidak bisa menafikan realitas asali ini. Karena tanpanya tak ada ruang sosial.
Fantasi Imortalitas
Lalu tentang imortalitas. Bagaimana ia dapat dipahami dalam konteks pascafenomenologi dan kematian partikular? Imortalitas adalah keadaan tanpa kematian pada manusia. Imortalitas tentu hanya mungkin dalam hal pikiran/state of mind saja. Saya kira jelas tak ada tubuh yang abadi di Bumi ini. Semua kehidupan pasti mati. Dalam kamus pascafenomenologi, tak ada kata keabadian. Diskursus filsafat tentang keabadian alam, yang bermula sejak Aristoteles dan terus menggejala sampai periode filsafat Islam (Alfarabi dan Ibnu Sina), misalnya, mendapat tanggapan cukup sengit dari Algazhali. Menurut Alghazali, keabadian hanya ada pada Tuhan sebagai sebab dunia yang tidak abadi. Demikian pula saya kira sains kontemporer memberi penjelasan alam semesta pasti berakhir.
Dalam buku Damm, ada pembahasan tentang filsafat imortalitas, yaitu ketika secara teknis dan keilmuan dimungkinkan terciptanya eksistensi yang dapat hidup abadi. Seperti misal pikiran yang diupload ke dalam komputer atau dipindahkan ke tubuh yang lain, sehingga manusia (yakni pikirannya) dapat hidup abadi. Bila kita telaah secara pascafenomenologis, hal ini tidak memungkinkan. Kehidupan selalu mengandaikan keberadaan tubuh. Teknologi robotik, misalnya, hanya dapat kita kendalikan secara parsial lewat tubuh. Pemindahan pikiran merupakan “teknofantasi” (2002: hal. 13). Karena analoginya kita membuat kesadaran dengan segala kompleksitas tubuhnya, imortalitas kemudian menjadi tidak rasional. Adalah wajar bila banyak ilmuwan menemukan jalan buntu berkenaan dengan kemungkinan-kemungkinan pemindahan pikiran.
Berbicara tentang kehidupan (dan kematian) biasanya merujuk pada sekumpulan sel-sel dan organisme. Pascafenomenologi melihat kualitas-kualitas yang kita pahami sebagai kehidupan organis berekstensi secara teknologis. Kehidupan tidak hanya terbatas pada sel-sel dan organisme saja, tapi juga bersifat “elektronis” dan instrumental. Bahkan, tidak hanya sistem relasional, transplantasi organ tubuh dengan organ buatan menjelaskan tubuh dan instrumen dapat menjadi kesatuan. Donna Haraway mengatakan dalam Cyborg Manifesto (1991), kita sekarang hidup dalam dunia cyborg (organisme sibernetis), yaitu sebuah dunia ketika tidak ada lagi batas-batas antara tubuh, organisme, dan teknologi. Artinya, demikian pemikiran Haraway, transparansi teknologis telah menjadi kenyataan, realitas tidak lagi termediasikan, manusia adalah cyborg.
Renungan-renungan atas kematian saya kira penting diketengahkan agar menjadi rasional, tidak tabu dan menakutkan. Tema yang disampaikan buku Kematian: Sebuah Risalah tentang Eksistensi dan Ketiadaan (2011) saya kira relevan dengan kondisi zaman dan searah dengan tujuan ilmu pengetahuan yaitu menyingkap yang tak terjelaskan seperti kematian.
*************************
*Budi Hartanto, Alumnus STF Driyarkara, Penulis Buku Dunia Pasca Manusia, Kepik 2013
*Tulisan ini adalah Makalah yang Dibawakan dalam Diskusi Buku Kematian: Sebuah Risalah tentang Eksistensi dan Ketiadaan (2011) karya Muhammad Damm. FIB UI.
Referensi
Damm, Mohammad (2011). Kematian: Sebuah Risalah tentang Eksistensi dan Ketiadaan. Penerbit Kepik, Depok.
Hartanto, Budi. (2004). “Tentang Kematian dan Sifat-sifat Jiwa”. Dalam Jurnal Filsafat Driyarkara edisi Tuhan Yang Tak Pernah Mati TH. XXVII No. 2.
————– (2004). “Aku Mencerap maka Aku Ada”. Koran Tempo Minggu, 18 April 2004, Jakarta.
Heidegger, Martin. (1973). Being and Time. Diterjemahkan oleh John Macquarrie & Edward Robinson. Oxford Basil Blackwell.
Haraway, Donna (1991). A Cyborg Manifesto: Science, Technology, and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century, in Simians, Cyborgs and Women: The Reinvention of Nature. New York, Routledge.
Ihde, Don. (1979). Technic and Praxis. Holland dan Boston, USA. D Riedel Publishing Company.
————– (1990). Technology and the Lifeworld: from Garden to Earth. Bloomington/Indianapolis. Indiana University Press.
————– (2003). Postphenomenology—Again?. Working Paper from Centre of STS Studies No. 3.
University of Aarhus.
————–. (2002). Bodies in Technology. Electronic Mediations; V. 5. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Marcel, Gabriel (1949). Being and Having. Harper & Row Publisher, New York.
Sunaryo (2006). “Kritik Al-Gazhali atas Konsep Keabadian Alam Aristoteles”. Dalam Jurnal Filsafat Driyarkara edisi Wacana Perempuan Th. XXVIII No 3.