Oleh Agustinus Tetiro ( Jurnalis, Alumnus STFK Ledalero )
untuk Ignas Kleden pada HUT ke-73
BLAISE PASCAL (1623-1662) mengatakan, semua orang mencari kebahagiaan, tanpa ada pengecualian.[1] Dalam proses pencarian kebahagiaan itu, kadang manusia bahkan bisa tiba pada ketidakbahagiaan. Lalu, manusia harus bagaimana untuk menemukan dan tiba pada kebahagiaan otentik? Untuk bahagia, manusia harus menerima Allah sebagai pribadi yang tak terbatas dan tak berubah.[2] Pascal langsung merujuk pada Yesus Kristus sebagai awal dan akhir pencarian manusia. Dengan mengenal Yesus, kita bisa mengetahui semua yang terjadi.[3]
Menurut Pascal, sebagai makhluk yang kontradiktoris, manusia membutuhkan Tuhan. Kontradiksi kondisi manusia bersifat paradoksal. Manusia adalah makhluk yang nista sekaligus luhur, hina serentak mulia. Manusia tidak sepenuhnya rasional, tetapi juga tidak seluruhnya irasional. Relasi kedua hal yang paradoksal ini terjadi secara dialektis. Inilah keadaan yang kemudian membuat manusia hampir selalu tidak puas dan tidak pernah mencapai kesempurnaan. Pascal menyatakan, keluhuran manusia berasal dari kehinaannya. Hanya dengan mengakui kerapuhannya, manusia bisa menunjukkan kebesaran dan kemuliaan.[4]
Pengakuan akan kerapuhan dan kenistaan memungkinkan manusia menerima Allah setelah Allah mengaruniahkan rahmat-Nya. Hal ini hanya bisa dilakukan dalam jalan iman dan bukan hasil dari proses rasionalisasi.[5] Iman itulah yang menyelamatkan dan membahagiakan manusia. Inilah jaminannya bahwa “Tuhan mengubah hati manusia dengan kemanisan surgawi yang Dia tanamkan di dalamnya, yang mengatasi kelezatan daging.”[6]
Penekanan pada iman ini berkaitan dengan konteks historis Pascal. Ada dua pokok pikiran Pascal, yaitu anti-rasionalisme dan pembedaan antara Allah iman dan Allah filsafat.[7] Pertama, anti-rasionalisme. Dengan mengatakan bahwa hati mempunyai logikanya sendiri, filsafat Pascal merupakan reaksi terhadap rasionalisme Descartes. Kedua filsuf ini hidup di zaman yang sama, filsafat zaman barok. Menurut Pascal, akal budi hanyalah salah satu sumber pengetahuan dan akal budi mempunyai batas. Pengetahuan lain disebut logika hati atau dikenal luas sebagai pengetahuan intuitif. Logika hati bukanlah letupan emosi belaka, tetapi unsur pemahaman yang berlainan dari rasio. Pascal menggunakan ‘hati’ dalam berbagai makna: ‘kehendak’, ‘kepercayaan’, dan ‘kemampuan untuk mengetahui’.[8]
Kedua, Allah iman, Allah filsafat. Manusia bertemu dengan Allah dalam hatinya. Mungkin akan terlihat melawan rasio. Menurut Pascal, “bukti metafisik tentang Tuhan begitu terpisah dari akal manusia, dan sangat rumit bahwa meskipun menarik perhatian, dan jika terlihat muda dipahami, itu hanya sesaat, dan satu jam kemudian terlihat bisa salah.”[9] Dari kesadaran seperti inilah, Pascal berbicara tentang pertaruhan (Le Pari) tentang ada-tidaknya Allah, yang secara singkat berbunyi: “Kalau kau percaya (akan adanya Allah), kalau kau menang, kau memenangkan segalanya, kalau kau kalah (ternyata Allah tidak ada), kau tidak kehilangan apapun. Jadi, percayalah jika kau dapat.”[10] Allah yang dimaksud Pascal tentu saja Allah iman, sebagaimana “yang diimani Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah yang penuh kasih dan penebusan.”[11]
Sampai di sini, kita tahu bahwa apa yang khas pada konsep kebahagiaan Pascal adalah pengajaran dan penekanannya pada pengetahuan intuitif dalam mengenal sumber dan tujuan kebahagiaan yaitu Allah (Yesus Kristus). Dengan logika hati, Pascal mengajarkan bahwa jalan intuisi bukan pengganti jalan rasional. Keduanya hadir untuk saling melengkapi. Jalan intuisi, secara negatif, diartikan sebagai jalan pikiran yang tidak deduktif dan tidak induktif. Suatu penalaran tanpa silogisme lengkap. Secara positif, intuisi tentang Allah berarti kesadaran langsung kuasi-eksperimental tentang kehadiran Allah.
Penilaian tentang jalan intuisi pembuktian adanya Tuhan pada umumnya dalam hubungan dengan jalan pembuktian rasional tentang adanya Tuhan. Jalan rasional seringkali kering, abstrak, dan tidak menyentuh hati manusia. Jalan rasional menghantar manusia pada Allah para filsuf (Deus Philosophorum), dan bukan kepada Allah kaum beriman. “Allah Abraham, Yakub dan Esau, Allah Yesus Kristus.”[12] Lebih jauh, jalan rasional mengandaikan pengetahuan filsafat yang cukup mendalam serta kemampuan menarik kesimpulan logis atas dasar kenyataan yang ada dan menggunakan prinsip-prinsip metafisis, tetapi kebanyakan orang tidak mempunyai kemampuan itu. Maka, bahaya dari jalan rasional adala bahwa jalan ini cenderung menggunakan kategori-kategori empiris untuk Yang Transenden. Hal ini bisa menurunkan Yang Transenden menjadi intra-duniawi.[13] Sementara itu, jalan intuisi jauh lebih sederhana, langsung dan menyentuh hati manusia, karena hampir semua orang bisa mengerti dan menggunakan jalan ini. Akan tetapi, jalan ini sangat bergantung pada penghayatan subjektif manusia. Orang jahat yang hidup sembrono sulit diharapkan sadar ke arah Tuhan melalui hati nuraninya.
Bagi Pascal, yang mendalami “kegiatan ilmiah yang sangat rasionalistis dan duniawi ini diiringi dengan kecenderungan asketisme dalam hidup pribadinya”[14], jalan rasional dan jalan intuisi saling melengkapi karena kedua-duanya diperlukan. Tanpa jalan rasional, maka jalan intuisi gampang jatuh dalam sentimentalisme dan subjektivisme. Sebaliknya, tanpa jalan intuisi, maka jalan rasional gampang membawa kita kepada abstraksi yang kering, dengan menjadikan Yang Transenden itu objek pengetahuan rasional belaka, seperti objek pengetahuan empiris. Manusia adalah makhluk multi-dimensional, maka jalan rasional dan jalan intuisi mesti dipakai bersama untuk mencari Yang Transenden. Pascal sendiri “tidak memandang kegiatan ilmiah sebagai kegiatan ‘duniawi’, melainkan sebagai pengabdian kepada Allah.”[15]
[1]Blaise Pascal, The Thoughts of Blaise Pascal (translated from the text of M. Auguste Molinier by C. Kegan Paul (London: George Bell and Sons, 1901), hlm.69.
[2]F Budi Hardiman, Pemikiran Modern. Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Yogyakarta: Kanisius, 2019), hlm.62.
[3]“Jesus Christ is the goal of all, and the centre to which all tends. Who knows him knows the reason of all things.” Blaise Pascal, The Thoughts of Blaise Pascal, hlm.68.
[4]F Budi Hardiman, Pemikiran Modern, hlm.61.
[5]Michael Moriarty, Grace and Religious Belief in Pascal, dalam Nicholas Hammond (ed), “The Cambridge Companion to Pascal” (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hlm.144.
[6]Michael Moriarty, Grace and Religious Belief in Pascal, hlm.149.
[7]Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm.16-17.
[8]F Budi Hardiman, Pemikiran Modern, hlm.60.
[9]Blaise Pascal, The Thoughts of Blaise Pascal, hlm.67.
[10]Sebagaimana dikutip, F Budi Hardiman, Pemikiran Modern, hlm.62.
[11]Blaise Pascal, The Thoughts of Blaise Pascal, hlm.68.
[12]Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, hlm.17.
[13]Leo Kleden, Filsafat Ketuhanan (catatan kuliah mimbar) (Maumere: STFK Ledalero, 2008)
[14]F Budi Hardiman, Pemikiran Modern, hlm.59.
[15]F Budi Hardiman, Pemikiran Modern, hlm.59.