Jakarta berandanegeri.com. – BUPATI Simon sebaiknya berhenti berilusi soal industri garam Malaka dan fokus pada program swasembada pertanian, seperti beras “Nona Malaka” sesuai janji kampanyenya. Hal ini karena industri garam Malaka buruk dari sisi lingkungan dan memiliki nilai ekonomi yang kecil.
Kalaupun Bupati Simon hendak membangun wilayah pesisir, lebih berguna memberdayakan kelompok-kelompok garam tradisional dengan cara-cara yang ramah lingkungan untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga di Kabupaten Malaka dan sekitarnya dari pada melakukan intervensi industri garam secara masif untuk kebutuhan industri nasional.
Perlu dicatat bahwa meskipun Indonesia memiliki garis pantai terbesar kedua di dunia setelah Kanada, namun sebetulnya tingkat produksi garam Indonesia sangat tergantung terhadap banyak faktor di antaranya cuaca dan nilai ekonomi garam yang rendah. Faktanya total produksi garam Indonesia terus menurun setiap tahun karena terkena dampak badai La Nina yang menyebabkan curah hujan yang tinggi. Sementara itu secara ekonomi pemamfaatan pantai untuk kegiatan ekonomi lain seperti pariwisata alam memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan industri garam. Hal ini menyebabkan sejumlah pemerintah daerah lebih memilih mengembangkan pariwisata ketimbang industri garam.
Contohnya sesuai perhitungan ahli Kimia Universitas Indonesia, Misri Gozan, dalam kondisi ideal, rata-rata satu hektar lahan produksi garam menghasilkan antara 50-100 ton garam per tahun dan dijual sekitar RP. 1.100 per kilogram karena itu satu hektar lahan garam menghasilkan sekitar Rp. 5.5 juta hingga 11 juta hasil kotor. Ini belum dihitung biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi dalam waktu sekitar lima bulan dan tentu saja ini kondisi ideal. Dalam banyak kasus panen garampun gagal karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan.
Nilai ekonomis garam yang rendah diperparah lagi dengan dampak industri garam sendiri terhadap lingkungan. Di Kabupaten Malaka, misalnya, dampak kegiatan produksi garam industri PT. IDK terhadap masyarakat pesisir sangat terasa. Apalagi kegiatan pembersihan lahan dilakukan dengan cara merusak berhektar-hektar hutan mangrove.
Dampak langsung yang dirasakan masyarakat berdasarkan berbagai diskusi dengan masyarakat di sekitar lokasi kegiatan tambak garam IDK antara lain penyusupan air laut ke wilayah darat terutama daerah pertanian dan sumur penduduk yang menyebabkan rusaknya lahan pertanian dan masyarakat makin kesulitan untuk mengakses air tawar untuk konsumsi sehari-hari.
Selain itu rusaknya hutan mangrove yang merupakan ekosistem peralihan darat dan laut dan tumbuhan penyerap karbon yang cukup tinggi, menyebabkan suhu udara dan laut makin panas. Perlu dicatat juga bahwa Laut Timor merupakan wilayah yang secara rutin dilewati badai tropis Australia yang menyebabkan gelompang laut meningkat dan menyebabkan curah hujan dan angin yang cukup tinggi. Bencana siklon tropis yang baru saja dilewati beberapa bulan yang lalu oleh sebagian besar masyarakat NTT khususnya Kabupaten Malaka adalah salah contohnya.
Dalam kondisi rusaknya hutan mangrove sebagai benteng alami yang berfungsi untuk memecah arus gelombang laut yang tinggi maka resiko bencana alam untuk masyarakat Kabupaten Malaka juga makin meningkat.
Bupati Simon, dalam masa kampanyenya selalu menyebut beras “Nona Malaka” sebagai salah satu program primadonanya. Akan tetapi jika industri garam juga hendak dilaksanakan, meskipun beliau menolaknya selama masa kampanye, maka sudah hampir pasti mimpi soal beras “Nona Malaka” pun tidak akan tercapai jika lahan pertanian masyarakat rusak dan bencana alam melanda.
Karena itu dari pada membangun ilusi tentang industri garam Malaka, lebih baik stop program garam IDK, pulihkan alam dan lingkungan pesisir laut khususnya situs-situs adat budaya dan fokus pada program primadonanya tentang beras “Nona Malaka” dan berbagai bidang pertanian yang lain.
***************************