Oleh RD. Lucius Poya Hobamata, Imam Keuskupan Pangkalpinang
”HOMO sum, humani nil ame alienum puto.” Aku ini manusia. Aku menganggap tidak ada sedikit pun yang lain dari kemanusiaanku. Begitulah Terentius, seorang penulis naskah drama sebelum masehi, kuno asal Kartago, membanggai martabatnya sebagai manusia, ketika ia dibawa ke Roma untuk dijadikan sebagai budak. Kebanggaannya sebagai manusia, yang dengan itu merangsangnya untuk terus berkreasi dalam karya seni, sekaligus sebagai media kritik, membuat Terentius dilepaskan dari tirani perbudakan. Maklum perbudakan dalam era purba dianggap sebagai cara menunjukkan taring kekuasaan, karena manusia sekedar animale rationale. Semakin rendah berpikir, semakin disejajarkan dengan hewan. Sebaliknya semakin tinggi berpikir, semakin mendapatkan privilege.
Oleh karena itu, kebanggaan Terentius atas identitasnya memberikan pesan yang mahadahsyat bahwa perjuangan untuk menempatkan martabat manusia pada tempatnya telah terjadi sejak zaman baheula. Perjuangan untuk menempatkan manusia pada tempatnya itu dipicu oleh pemahaman antropologis bahwa manusia itu bernilai dalam dirinya sendiri. Nilai manuisia bukan hadiah dari luar dirinya. Dengan kata lain, manisia bermartabat, bukan karena status social yang disandang, bukan karena kekayaan yang dimiliki, bukan karena gelar yang diperoleh. Manusia bermartabat karena dari sononya memang demikian. Begitu bermartabat, sehingga tak satu orang pun sanggup mendefinisikannya secara tuntas.
Kaum bijak pandai, yakni mereka yang selalu mencari yang paling hakiki atas hidup, pun tak sanggup memberikan definsi secara tuntas tentang manusia. Aristoteles hanya bisa menyentuh manusia dari sisi rasionalitasnya, sehingga ia memberi gelar kepada manusia sebagai animale rationale (binatang berakal budi). Ratio inilah, kata Aristoteles, yang membuat manusia, kendati dalam banyak hal memiliki banyak persamaan dengan binatang, tetapi serentak pula melampuinya. Pemberian gelar atas manusia sebagai animale rationale ini, kemudian beranak pinak dalam penjabarannya. Rene Descrates begitu mengangungkan ratio, dengan istilahnya yang terkenal cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada); karena memang hanya manusia yang memiliki akal budi dan berpikir rasional; sesuatu yang tak pernah bisa dimiliki oleh mahkuk lain. Dan oleh karena itu manusia tidak bisa selevel dengan binatang. Namun kelak dalam perjalanan, Thomas Hobbes justru memberikan argumentasi lain, yang justru lebih menekankan dominasi naluri kebinatangan yang ada dalam diri manusia melampaui akal budi yang dimilikinya, sehingga tingkah laku dan cara berada manusia tak jauh berbeda dengan pola perilaku binatang pada umumnya. Itulah sebabnya Hobbes menggelari manusia sebagai homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Sebab baginya, kendati memiliki ratio, manusia dalam kondisi-kondisi tertentu cenderung mempertahankan diri, melihat sesama sebagai saingan yang memicu ereksi egoisme radikal demi mempertahankan diri, kuasa. Akibatnya berlakulah rantai makanan, yang kuat makan yang lemah.
Cecilius hanya bisa menjangkau manusia dari sisi solidaritasnya. Ia mengatakan bahwa yang membedakan manusia dari makhluk lain adalah kemampuan saling mendukung, saling membantu, saling bekerja sama. Kemampuan seperti ini tak ada pada binatang. Kalau toh ada, hal itu lebih bersifat insting belaka. Dan oleh karena itu ia menggelari manusia sebagai Homo Deus (manusia sebagai Allah bagi sesamanya). Manusia sebagai pancaran kehadiran Allah dalam hidup itu kemudian dijabarkan lebih lanjut oleh Driyarkara, sehingga filsuf asal Indonesia ini memberi gelar kepada manusia sebagai homo homini socius (manusia adalah sahabat bagi sesamanya) karena memang manusia pada dasarnya tak bisa hidup sendirian. Ia individu serentak sosial.
Berbagai refleksi atas manusia yang diajukan para bijak pandai, dengan aneka argumentasi pendukung itu, semakin menegaskan bahwa manusia itu misteri, sebagaimana Pencipta yang menciptakannya. Begitu misteri manusia itu, sehingga ia tak sanggup dijangkau hanya dalam satu titik tilik. Tidak heran pula dari dulu sampai sekarang siapakah manusia tak pernah final untuk dijawab; selalu menimbulkkan tanda tanya dan terus merangsang nalar untuk mendapatkan jawaban.
Rumitnya memberikan definisi atas manusia, sehingga kaum bijak pandai hanya sanggup menyingkapkannya dari satu iota, kata Van Peursen, karena manusia itu makhluk multidimensional. Manusia itu kesatuan integral tubuh, jiwa dan roh sehingga ia mungkin bisa tersingkap di satu sudut, tetapi tetap misteri di sudut yang lain. Keunikan eksistensial ini membuat manusia, kendati dibatasi oleh tubuh dalam ruang dan waktu, namun ia sanggup hidup di dunia masa kini, sanggup kembali ke masa lampau, sanggup pula menjangkau masa depan. Keunikan seperti ini juga membuat manusia sanggup menembus batas, antara yang faktual dan eksistensial, kelihatan dan tak kelihatan, rasional dan iman; sekaligus memiliki nilai dalam dirinya untuk mengukur boleh dan tidak boleh, dalam membangun perilaku hidup.
Bahkan dengan keunikan eksistensial ini, manusia tidak hanya bisa belajar dari sesamanya, melainkan juga sanggup belajar dari alam semesta, saat menyadari diri sebagai mikro kosmos. Tidak heran, manusia tidak sekedar menikmati matahari melainkan juga belajar padanya bagimana hidup adil yang tak pernah pilih kasih. Ia tidak sekedar menikmati terangnya rembulan, tetapi bisa belajar padanya bagaimana selalu bersinar walau diliputi gelap malam. Ia tidak sekedar mengenyangkan perutnya dengan nasi beras melainkan sanggup belajar pada padi yang merunduk justru di saat berbuah bernas. Ular bukan sekedar binatang yang dijauhi dan merpati bukan sekedar hewan yang dipelihara. Keduanya juga bisa menjadi guru untjuk belajar kelicikan saat menghadapi hidup dan ketulusan dalam menenun kehidupan. Potensi-potensi seperti ini pada akhirnya mengantar manusia untuk menjangkau Tuhan sebagai Sang Guru Sejati karena Dialah yang merupakan rujukan final dalam memaknai hidup.
Keunikan, yang terletak pada misteri manusia yang multidimensional, seperti inilah yang mungkin membuat orang Inggris, dalam sudut antropologis, menggelari manusia, bukan sekedar homo, melainkan human being; “ada yang human”, ada yang manusiawi. Manusia bukan sekedar Man (laki-laki) atau woman (perempuan) melainkan harus melakoni keberadaannya sebagai dan secara human. Keberadaanya tidak boleh stagnan hanya pada level animale rationale. Sebab ketika ia hanya berada pada satu dimensi, ia sejatinya melacurkan eksistensinya sendiri.
Demikian halnya bagi orang Kedang. Kedang, salah satu suku di timur Lembata, NTT; sukunya penulis buku ini, menggelari manusia dengan ate di’en, yang berarti orang baik. Ia tidak disebut ate, melainkan rangkaian dua kata sekaligus ate di’en. Inilah pemberian gelar para leluhur Kedang bagi manusia, sebab ia berasal dari Yang Baik dan oleh karena itu nilai baik seorang manusia bukan sekedar unsur pelengkap melainkan dibawa sejak dari asalnya. Dan oleh karena itu tugasnya dalam hidup adalah membawa kebaikan bagi yang lain.
Dua gelar, baik dari orang Inggris maupun orang Kedang, yang dikenakan ke atas makhluk yang disebut manusia itu menyingkapkan sebuah gambaran bahwa kodrat manusia itu baik; dan kebaikan itu sejatinya dimaksud agar manusia bukan sekedar orang, melainkan supaya terus menyempurnakan diri menjadi manusiawi; dari homo ke human; dari sekedar binatang berakal budi kepada orang yang baik.
Rasanya inilah alasan mengapa Allah menciptakan manusia berbeda dengan ciptaan lain. Dalam kisah penciptaan yang terekam dalam Kitab Kejadian, dilukiskan dengan indah bahwa Allah menciptakan manusia bukan sekedar untuk diberi kuasa supaya menguasai ciptaan lain. Kitab Kejadian justru melukiskan bahwa sebelum menciptakan manusia, Allah justru merancang terlebih dahulu seperti apakah sosok yang akan diciptakan sebagai mahkota ciptaan itu. Dan Allah memutuskan untuk menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri.[1] Untuk menciptakan manusia menurut gambaran-Nya itu, Allah tidak berfirman sebagaimana lazimnya saat menciptakan ciptaan lain. Allah justru menggunakan debu tanah di satu sisi, dan meniupkan Roh kehidupan-Nya sendiri ke dalamnya, di sisi yang lain.[2] Ciptaan yang dibentuk sebagai gambaran Allah ini kemudian diberkati. Baru setelah itu, Gambaran Allah yang terberakti ini diberi kuasa untuk menaklukkan ciptaan lain sebagai penopang hidup. Dan berdasarkan rekaman Genesis, justru ciptaan terakhir ini dinilai Allah sebagai ciptaan yang sungguh amat baik.[3]
Begitulah gambaran manusia dalam kacamata Kristiani. Ia tidak sekedar ada untuk memenuhi muka bumi. Ia dirancang untuk menjadi gambaran Allah (Imago Dei). Ia diberkati untuk menjadi berkat bagi yang lain. Ia memang rapuh tetapi serentak pula begitu kuat karena nafas kehidupannya langsung dari Allah. Dan oleh karena itu kehidupannya di dunia tidak sekedar dilakoni sebagai ciptaan sebagaimana yang lain, melainkan memiliki misi keselamatan, karena untuk itulah ia diciptakan sebagai gambaran Allah, diberkati dan diberi nafas hidup (roh) langsung oleh Allah.
Roh inilah yang memungkinkan manusia melihat jauh melampui padangan sebuah bola mata, dan berjalan melampui batas horizon. Roh ini adalah dimensi yang paling penting karena menolong manusia untuk memanusiawikan diri, sesama dan ciptaan lain, sekaligus menolong manusia membangun relasi manusiawi dengannya. Roh ini yang menyanggupkan manusia membaca pesan-pesan dalam dunia, sekaligus mendeteksi makna tersembunyi yang terlukis di dalamnya.
Dengan kata lain, roh memberi kekhasan pada manusia sebagai makhluk yang sanggup membaca pesan dunia; membuat manusia tidak menjadi buta aksara khusus dalam abjad kehidupan. Justru roh mengurapi manusia untuk dapat membaca dan dapat menginterpretesikan pesan dalam narasi-narasi yang diciptakannya. Oleh karena itu hidup bagi manusia tidak sekedar sebuah rentang koronologis, melainkan sebagai sebuat peristiwa membaca dan memberi interpretasi. Tidak heran hanya manusia yang sanggup melihat, membaca dan memberi interpretasi bahwa dalam kesementaraan, sanggup terlihat Yang Permanen; dalam temporal dapat diteropong yang abadi. Dalam dunia ia bisa melihat Allah. Kesanggupan seperti ini pada gilirannya menolong manusia untuk mentransfigurasi “yang sementara” menjadi sebuah tanda kehadiran “Yang Permanen”; yang temporal menjadi simbol dari suatu realitas Keabadian; dan dunia tak lagi sekedar tempat menunggu maut; tak lagi dilihat sekedar material belaka, melainkan menjadi suatu sakramen Allah yang agung dan luhur; di dalamnya manusia memaknai hidupnya.
Dalam dunia yang telah dimaknai sebagai sakramen Allah ini, orang Kedang misalnya, tidak sekedar duduk minum tuak dari satu wadah yang sama, hanya karena haus, melainkan melampuinya. Minum dari satu wadah yang disebut te’ang, merupakan simbol dari persaudaraan intim, ikatan kekerabatan yang tak terputuskan, saling berbagi dari ketulusan hati.
***
Esai-esai Alex ini, secara keseluruhan ingin menyingkapkan, mengangkat kembali serta mendesak untuk memperlakukan keluhuran martabat manusia, sebagaimana adanya manusia itu. Agar manusia diperlakukan sesuai martabat dirinya, ada tiga hal prinsip tentang manusia yang perlu mendapatkan insight dalam hati dan budi setiap insan, agar di tengah carut marut kehidupan zaman ini, martabat manusia tidak boleh dikorbankan.
Pertama, keluhuran akan martabat manusia perlu mendapatkan pemahaman publik manusia zaman ini. Esai-esai ini bagai lembaran kitab profetis yang disebarkan untuk siapa saja, di ruang privat maupun ruang publik, di panggung sakral ataupun profan, bahwa martabat manusia harus dimuliakan saat menenun hidup bersama sebagai sesama. Hal ini penting dan mendesak karena kemanusiaan dewasa ini, sedang mengalami titik balik dalam sejarahnya. Perilaku paradoksal, yang mengangkat martabat sebagian orang serentak menjatuhkan martabat sebagian lainnya, sedang dipertontonkan di ruang-ruang publik. Pamer tekhnologi, yang dengan itu banyak bidang kehidupan manusia bisa teratasi, entah itu kesehatan, pendidikan, komunikasi, dll; ternyata tidak hanya mengangkat keunggulan manusia, karena di saat yang sama tampil pula tontonan yang memperlihatkan betapa banyak orang menapaki hidup yang berat, kekerasan merajalela, ketimpangan kaya-miskin yang sulit terjembatani; kesepihan merambah ke relung-relung hati banyak orang, sehingga orang tetap merasa tidak ada sesama di tengah kerumunan.
Demikian pula keluhuran martabat yang ditakar hanya pada level kuasa telah menghidupkan kembali insting the survival of the fittest sehingga perilaku hidup manusiawi bukannya berkembang menuju homo homini socius, melainkan semakin merendahkan martabat manusia sendiri kepada identitas purba animale rationale. Bahkan kecenderungan mengkultuskan identitas manusia hanya sebagai homo economicus, seraya mengabaikan keluhuran dimensi lainnya, berdampak pula pada pemerkosaan manusia sebagai sampah: “bila berguna dipakai, bila tak berguna dibuang.” Pemuliaan yang timpang, dengan daya jangkau hanya kepada segelintir orang, ternyata membawa manusia terperosok menuju penginjakkan martabatnya sendiri, sehingga melahirkan perilaku-perilaku menyimpang yang berdampak luas.
Dengan demikian menjadi jelas, sebagaimana terbentang dalam esai-esai ini, bahwa timbulnya berbagai persoalan dalam berbagai bidang, seperti terorisme, perusakan lingkungan hidup, perdagangan manusia, praktik korupsi oleh para penyelenggara negara dan pemerintahan, bukan hanya merupakan sebuah problem dehumanisasi untuk para pelakunya, melainkan pula menimpa dan memperumit hidup manusia lain, khususnya mereka yang tak mempunyai kekuatan apa pun. Mungkin karena itulah, kata Bernard Shaw, kendati manusia telah belajar terbang di udara seperti burung, berenang di bawah air seperti ikan, namun manusia kekurangan satu hal yakni bagaimana belajar hidup di bumi sebagai manusia.
Kedua, manusia berbeda dengan binatang. Manusia itu misteri yang multidimensional. Ia makhluk sacramental dan dunia baginya merupakan lingkup yang sakramental pula. Keberadaan yang khas ini menempatkan manusia sebagai makhluk yang mencari makna. Segala kata, tindakan, pengalamannya memberi makna, memiliki pesan, mempunyai tujuan. Ia berjalan bukan sekedar karena ada kaki, sebagaimana hewan, tetapi karena ada tujuan. Ia melihat bukan karena sekedar ada mata melainkan karena ada makna. Ia bercerita bukan karena sekedar ada mulut melainkan karena ada pesan. Ia mengalami bukan sekedar karena ada persitiwa, melainkan pula karena obyek yang dihadapi dan dialami itu memberi makna dan sedang menyampaikan sebuah pesan.
Eksistensi manusia sebagai makhluk pencari makna ini yang menghiasi seluruh esai ini. Itulah sebabnya mengapa korona, bagi Alex, tidak dinarasikan sebagai sebuah berita, melainkan dijadikan sebagai sampiran untuk mencari dan menemukan makna bagi kemanusiaan; dan apa pula pesan yang ingin disampaikan oleh peristiwa yang menggelisahkan batin banyak orang itu, dalam usaha merajut kemanusiaan kita. Sebab ketika korona sekedar sebuah peristiwa yang dialami, maka ia akan menyekat manusia dalam insting egoisme animale rationale. Orang akan menempatkan power, atau sekedar memposisikan diri sebagai homo economicus untuk memanfaatkan segala situasi demi mempertahankan diri dan kelompoknya. Sebaliknya ketika korona dilihat oleh seseorang dalam eksistensinya sebagai makhluk yang mencari makna, maka korona justru menjadi moment untuk bertumbuh kembang dalam kemanusiaan, melintas batas merajut relasi aku-engkau; sebuah relasi yang khas manusiawi.
Bertumbuh menuju eksistensi sebagai makhluk yang mencari makna dalam setiap peristiwa, serta berkembang untuk menemukan makna dalam aneka pengalaman; itulah kebutuhan vital manusia zaman ini agar tetap kokoh menghargai marbatanya sebagai manusia, di tengah kecenderungan untuk kembali menghayatai hidup secara instingtif, ala binatang; menjalani hidup secara linear tanpa refleksi.
Merebaknya kasus euthanasia baik aktif maupun pasif dalam aneka wajah, di berbagai peristiwa; hancurnya tatanan hidup keluarga; munculnya budaya begal; serta segala tindakan penghancuran martabat manusia lainnya; sejatinya dipicu oleh ketidakmampuan manusia untuk menghargai kemuliaan dirinya sebagai makhluk pencari makna, sehingga mudah pula jatuh pada keputuasaan, mudah hanyut dalam gelombang kepedihan, mudah keropos saat didera masalah. Semua itu terjadi karena manusia sekedar menjalani hidup secara linear, mengabaikan segala keluhuran dirinya sebagai makhluk refleksif yang multidimensional itu.
Tidak heran pungutan liar sering terjadi justru di depan kantor-kantor yang memamerkan slogan “pungli dilarang” dan sogok menyogok menjadi sebuah habitus. Dekadensi moral seperti ini sejatinya dipicu oleh kelumpuhan manusia dalam menangkap pesan dan mencari makna. Dalam bingkai iman pun, bila manusia tak bertumbuh sebagai makhluk pencari makna, maka daya dampaknya dalam kehidupan meng-Gereja juga akan sangat mengkhawatirkan. Perayaan misteri bisa saja sekedar ritual sacral untuk membentuk dan melahirkan mumi-mumi (raga tanpa roh) sehingga gereja bisa sekedar menjadi museum untuk menyimpan mumi-mumi itu. Banyak keputusan pastoral entah itu bersifat sinodal atau kategorial pada akhirnya sekedar rumusan kata-kata, atau sekedar barisan slogan dan semboyan, karena tak sanggup berwujud dalam praksis beriman, kendati telah menghabiskan banyak biaya; kemungkinan besar diakibatkan oleh kemunduran eksistensial, dari makhluk pencari makna kepada manusia kristiani yang telah menjadi mumi (ketiadaan roh).
Kecenderungan-kecenderungan seperti ini kini mewabah di segala bidang, di setiap ruang, dihidupi oleh kebanyakan orang, tak peduli kaya-miskin, berpendidikan-buta huruf, kota –desa, karena gagap menangkap pesan, dan gagal menemukan makna dalam kehidupan yang dijalani.
Ketiga, manusia itu being yang human; ate di’en. Entitas antropoligis ini harus bertumbuh seimbang dalam usaha seseorang mengembangkan jati dirinya sebagai makhluk sakramental, Imago Dei. Ukurannya sederhana: semakin baik seseorang pastilah semakin manusiwi. Semakin manusiawi seseorang pastilah ia semakin menjadi gambaran Allah; semakin menjadi tanda dan sarana kehadiran dan keselamatan Allah. Manusia yang berkembang seperti ini akan memamah Sabda Allah dan mencicipi sakramen pertama-tama untuk santapan dan obat kesembuhan bagi dirinya sendiri. Refleksi dan kontemplasi akan dijalani dengan merdeka sebagai self detector demi pertumbuhan kemanusiaannya.
Rasanya demi menjadi being yang human; ate di’en, itulah Allah berinkarnasi dalam misteri kelahiran-Nya. Walau tampak ekstrim, namun perlu dicatat bahwa misteri inkarnasi merupakan praksis dari keluhuran visi dan misi Allah, agar manusia tetaplah sebagai makhluk yang amat baik. Tanpa visi dan misi ini, inkarnasi akan dilihat sebagai sebuah kebodohan, sebab bagaimana mungkin Allah menjadi manusia, jika ternyata manusia an sich adalah entitas yang tidak baik?
Bertumbuh seimbang dalam kemanusiaan sebagai being yang human, ate dien, imago Dei, menjadi sebuah conditio sine qua non, karena sejatinya semakin seorang menghayati jati dirinya sebagai gambaran Allah, ia haruslah semakin manusiawi. Namun dewasa ini pribadi integral itu seakan terbelah. Fenomena di mana ruang sacral bisa menjadi tempat iblis; sakralitas janji belum tentu menjadi sakralitas praksis; kotbah yang diwartakan belum tentu menjadi kotbah yang dihidupi; panggilan imamat dan panggilan profetis belum tentu dihayati secara integral; profesi politisi belum tentu berjuang demi bonum commune; keranjingan merayakan ibadah suci belum tentu terlibat dalam pergulatan kemanusiaan; memperlihatkan keterbelahan kondisi personal manusia itu.
Daya kejut dari fenomena ini memang menggoncangkan. Gereja dinilai sebagai lembaga perusak, karena di balik jubah putih imam berkubang insting predator yang secara serius merusak dan menghancurkan kemanusiaan. Ia yang dikonsekrir sebagai penyelamat ternyata justru melakoni diri sebagai perusak. Tidak heran, suara-suara profetis Gereja terkadang ditanggapi secara sinis, karena antara kata dan tindakan terdapat jurang yang tak terjembatani. Hal yang sama juga tampak terlihat dalam diri kaum awam. Politik yang sejatinya sacral justru telah mengalami kemerosotan nilai, sehingga dipandang hina sekaligus dianggap pembawa bencana, karena sakralitas janji menguap selepas janji suci diikrar.
Dan oleh karena itu, kesadaran diri sebagai being yang human dan ate di’en menjadi pesan profetis dari seluruh lembaran esai ini, sebab semakin manusiawi, semakin menjadi citra Allah, semakin menjadi citra Allah, semakin menjadi sakramen Allah. Inilah tujuan final Allah saat menciptakan manusia. Ssebab bila timpang pertumbuhan, ziarah Gereja sebagai sacramentum salutis akan semakin terseok di masa mendatang.
***
Mengendapkan esai-esai, yang terkonstruksi secara argumentatif dan kaya referensi, ini memicu pertanyaan: mungkinkah sang filsuf muda ini hanya bernarasi tentang manusia dalam setiap peristiwa yang melecut kemanusiaan, untuk membuktikan eksistensinya sebagai cogito ergo sum, sekaligus bagaimana memulihkan keluhuran martabat manusia itu? Apakah benar narasi-narasi dalam esai-esai ini timbul dari “mendengar” menuju keutuhan diri?
Dua pertanyaan ini muncul karena seluruh esai ini justru menyingkapkan keterbukaan dan ketajaman mata sang filsuf muda ini dalam melihat manusia dan peristiwa hidupnya. Esai-esai ini justru memperlihatkan mata jasmani yang terbuka melihat realitas, mata budi yang mengkonfirmasi dengan referensi pengetahuan, mata hati yang dengan tajam menangkap makna, dan mata jiwa yang sangat peka menangkap pesan. Meramu semua pengalaman melihat itu dan menyajikannya dalam narasi-narasi, membuat peristiwa-peristiwa, sekecil apapun itu, ternyata menyajikan pesan dan memberi makna, sehingga membuka mata yang lain untuk melihat, menerima pesan dan mengambil makna di dalamnya.
Melalui esai-esai, filsuf muda ini seakan sedang berargumentasi bahwa mendengar tanpa melihat, narasi kehilangan taring. Berpikir tanpa melihat, narasi kehilangan titik terbang dan kehilangan pula lokasi landing. Sebab bagaimanapun, salah satu keunggulan manusia adalah ia tidak sekedar memiliki dua bola mata. Ia memiliki banyak mata dalam dirinya, sehingga menyanggupkannya untuk melihat yang tak terlihat, menjadikan setiap peristiwa sebagai bacaan, dan menempatkan setiap pengalaman untuk membaca pesan dan menangkap makna.
Jangan-jangan esai-esai ini merupakan konstruksi argumentasi dari filsuf muda ini untuk melahirkan pemikiran baru tentang filsafat manusia bahwa video ergo sum (aku melihat maka aku ada), sekaligus untuk menggugurkan pendapat Rene Descartes yang terkenal itu, “cogito ergo sum.” Perkelahian intelektual seperti ini adalah habitusnya para filsuf. Namun Aleksander Aur telah memberi sebuah makna hidup yang sangat fundamental bagi siapa saja bahwa melihat (baik untuk diri maupun di luar diri) adalah khas manusia, dan sangat menolong dalam pertumbuhan menuju humanitas kita. Sebab hanya dengan melihat, seseorang tahu siapa dia, di mana dia, bagaimana dia, kemana ia harus melangkah dan apa yang harus dia buat. Deo Domine ut vediam (Tuhan semoga aku dapat melihat).
Tanjung Uncang, pada Pesta Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya, Agustus 2021.
************************
Catatan Kaki
[1] Lih. Kej. 1: 26-27
[2] Lih. Kej. 2: 7
[3] Bdk. Kej. 1: 26-31
Salut atas terbitnya buku Melucu di Tengah Badai
Sukses selalu ya