Oleh Wilhelmina Mariana Ema, Spd., (Emil Bidomaking)
Isyarat Pulang
Gadis keras kepala ini adalah bukti bahwa hatiku tetap ringkih di hadapanmu
Aku hanyalah anomali yang sedang bertahan di tengah gempuran sejuta tuntutan hidup di zaman ini.
Bunda yang penuh welas asih, aku sungguh paham, Yang Mulia Anakmu sedang berjuang keras untuk memelukku sedapat mungkin.
Diberikan-Nya aku berbagai tanda dan isyarat agar segera pulang, tapi aku abai dan lalai penuh angkuh.
Semakin jauh aku dari hiruk-pikuk mencari keheningan, semakin riuh isi kepalaku. Semakin malam dan hening bumi ini semakin berisik juga ruang di dalam hatiku.
Ini adalah sia-sia paling sengaja yang kurancang
Berharap aku bisa berjalan tanpa tuntutan
Berpikir aku mampu melangkah tanpa diberi dian sebagai penerang
Berani bertekad seolah hanya restu manusia yang dibutuhkan
Jalan ini semakin jauh, semakin sunyi, semakin gelap dan kelam. Tapi kenapa riuh di hatiku semakin berisik beradu.
Bunda,
Jika nanti kita bertemu, maukah Engkau menggenggam tanganku yang dingin ini?
Kemarin, tanganmu yang kugenggam, ternyata genggamanku mudah lepas. Kali ini, genggamlah dengan erat. Aku ingin pulang dan dipeluk dengan hangat olehmu.
—————-
Kepada Maria
Maria yang kucintai,
Sengaja kutulis surat ini dengan tinta air mata. Sengaja kulamatkan langsung kepadamu agar isi hatiku dapat terbaca tanpa harus kuutarakan.
Maria,
Terakhir kali, aku datang kepadamu dengan hati membuncah penuh cinta. Tapi kali ini, Engkau tahu bukan? Hatiku sedang patah dan sedikit berdarah.
Beberapa mata menatap sinis kepadaku
Beberapa bibir manusia berbisik dengan suara lantang penuh penghakiman
Mereka bertindak bak hakim yang siap menjatuhkan vonis\
Maria,
Beberapa perempuan juga turut mencibir, tapi tidak semua. Masih ada beberapa yang merangkul memberi kekuatan kepadaku
Saya memang bersalah, tapi apakah lantas saya pantas dihakimi oleh sesama manusia yang bahkan tidak mengetahui perjuanganku? Saya memang bersalah, tapi apakah saya layak dihukum dengan penghakiman seperti ini.
Maria, saya hampir menyerah.
Segeralah datang untuk menolongku. Engkau satu-satunya harapan terakhir yang kupercaya akan mengulurkan tangan untuk merangkulku. Segera Maria, retak di hatiku semakin menganga, sakitnya mulai menjalar hingga ke akal sehatku.
Di akhir kalimat kutorehkan noktah merah sebagai isyarat; ini darurat, MARIA.
—————————–
*Wilhelmina Mariana Ema, Spd., (Emil Bidomaking), adalahGuru Bahasa Indonesia SMK Strada Daan Mogot, Tangerang. Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan dari FKIP, Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah pada Universitas Tadulako, SulawesiTengah.