Kuletakkan sekuntum mawar di atas makam Ina Essy, istriku, dan aku mulai berpikir tentang pensiun. Kubiarkan gerimis membasahi rambut, wajah, dan tubuhku. Dengan begitu, penjaga makam tidak melihat tetes-tetes air dari mataku. Hari ini genap satu bulan Ina Essy dimakamkan. Makam itu terletak di tengah perkampungan, di atas sebidang tanah yang letaknya lebih tinggi dari rumah-rumah penduduk. Pohon-pohon jati memberi bingkai lanskap pemakaman yang teduh, jauh dari kesibukan kota Yogyakarta. Kepergian Ina Essy yang begitu mendadak akibat pandemi covid-19 membawa luka dan duka yang mendalam bagiku dan bagi keempat anakku. Terutama si bungsu yang tak sempat memamerkan empat pasang seragam SMA-nya yang baru dijahitkan sang ibu.
Suasana makam seperti ini adalah saat yang tepat bagiku untuk memikirkan kehidupan, kematian, dan pensiun. Rasanya ingin sekali aku mengajak Ina Essy sekali lagi menemui para kerabatku di Ataili, berjalan di gang-gang kampung, menyatu dengan anak-anak yang berlarian dalam belukar di ladang-ladang petani jagung. Terbayang pada liburan lima tahun yang lalu Ina Essy begitu menyukai cahaya keemasan dari matahari Lembata menjelang petang. Ketika lonceng gereja berdetang enam kali, Ina Essy larut dalam doa Angelus bersama orang-orang kampung. Dari desa perbukitan itu, terlihat di bawah sana hamparan Laut Sawu dengan buih-buih ombak yang selalu gelisah memecah karang. Di selatan Lembata, ombak laut lebih besar dan tinggi menggulung ke tepian dengan suara menderu. Pada musim-musim tertentu, Laut Sawu dikunjungi puluhan bahkan ratusan ikan paus. Kini aku mengerti, mengapa Ina Essy begitu jatuh cinta pada Lembata: sayatan emas di kaki langit Labalekan telah mengurung mimpinya dalam cakrawala merah jambu.
“Aku sengaja datang dari jauh untuk menutup pintu penantianmu, Lembata,” ujarnya ketika pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Lembata yang terletak di ujung timur Pulau Flores ini. Ina Essy tak habis-habisnya mengagumi keindahan pantai Lewolein, Waijarang, Mingar, dan Tanjung Nuhanera. Lembata memang memanjakan matanya dengan pemandangan laut yang hijau dan biru, pasir putih, matahari keemasan di saat terbit dan tenggelam. Kami suka berjalan bergandengan tangan di antara pasir dan pantai. Ombak kecil terus saja menyapu setiap jejak yang terlukis di atas pasir.
Aku mencabut rumput liar di antara bunga taman di atas makam Ina Essy. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh: Ina Essy berdiri di tepian sunyi, aku hanya bisa memanggilnya dengan bisik sayang. Kudengar suaranya setipis selendang yang suka dililitkan di lehernya. Ia melayang-layang bagai tarian kapas dan berakhir di palang hening pusaranya. Kukenang masa yang indah itu, waktu kami sama-sama kuliah di IKIP Sanata Dharma di Yogyakarta. Pertemuan pertama dengan Ina Essy begitu mempesona. Selanjutnya kami mengisi sudut dan langit Yogyakarta dengan aneka cerita kasmaran, hingga sampai pada pertemuan keseratus, usai kembali dari kota kelahirannya di Madiun. Saat itu musim penghujan. Alam hijau segar di Kaliurang. Serombongan kupu-kupu kuning menari-nari menembus awan. Sayap-sayap kecil yang mengepak menghiasi langit berkabut. Sepasang bola matanya yang bening membawaku bertamasya memasuki negeri berpenghuni anak-anak awan. Ketika malam mengenakan jubah sunyi, kami bercinta dengan magma menggelora. Maka lahirlah butir-butir embun yang dibuahi bintang kejora yang paling pagi. Saat itulah kuntum-kuntum hijau mulai bermunculan. Aku memilihnya menjadi ibu anak-anakku. Kelak ia melahirkan, mencintai, dan mengajari mereka sembahyang serta melangkah dengan kepala tegak.
Gerimis telah menepi. Kunyalakan lilin mengantarkan doa di atas makam Ina Essy. Langit tua kelabu. Tiba-tiba perhatianku dirampas oleh sesuatu yang ganjil. Sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda melintas di jalan masuk ke pemakaman. Lonceng kereta kuda itu dibunyikan. Dentangnya mengingatkanku pada masa awal rumah tanggaku di kota Dili, yang kini menjadi ibu kota negara baru bernama Timor Leste. Kukenang Dili, Universitas Timor Timur, Gereja Sagrado Coraçaŏ de Jesus, dan rumah kontrakan kami di Villa Verde ketika pertama kali aku bekerja sebagai pegawai. Kerap kami dicegat operasi para pemuda Fretelin pendukung kemerdekaan Timor Leste. Anak kami baru seorang waktu itu. Ina Essy adalah perempuan sederhana yang selalu membawa kegembiraan. Senyum dan tawa seakan melekat di bibirnya. Ina Essy sangat menyukai laut. Sabtu sore menjadi waktu terbaik bagi kami berenang di laut dan bermain pasir di pantai. Kereta kuda itu melintas menyeberangi jalan dan masuk ke dalam makam. Sebelum menghilang, masih sempat kulihat Ina Essy melompat ke dalamnya sambil melambaikan tangannya ke arahku. Hatiku seperti disayat-sayat sembilu. Sepi dan sendiri. Kutahu hatinya dimakan rindu untuk memelukku dan pulang bersama ke rumah. Tapi kereta kuda itu menerbangkannya entah ke mana.
Baru sebulan Ina Essy meninggal, ketika kepala kantor kepegawaian menelponku.
“Pak Hendrik, uruslah segera akta kematian istrimu,” katanya.
“Untuk apa, Pak Dirman?” aku bertanya.
“Untuk menghapus tunjungan istri dari gaji bulananmu,” jawabnya sambil melanjutkan, “Segera pula Bapak mengurus KK dan KTP baru dengan status duda!”
Dadaku terasa sesak. Aku tak bisa menyembunyikan rasa marah. Aku benar-benar tersinggung. Betapa rendahnya menjadi pegawai di negeri ini. Hanya demi uang tunjangan yang tidak seberapa jumlahnya, nama istri dan anak harus dihapus dari lingkaran kehidupan seorang pegawai.
“Silakan Bapak potong saja tunjangan istri saya. Jumlah uang tunjangan pegawai untuk istri dan anak di republik ini juga tidak seberapa. Potonglah. Akan tetapi nama Ina Essy tidak akan pernah saya keluarkan dari KK. Saya juga tidak akan mengubah status perkawinanku menjadi duda. Saya punya istri, hanya saja dia sudah meninggal!”
“Bapak jangan berkelit dan banyak alasan. Saya paham maunya Bapak ‘kan tetap mendapatkan uang tunjangan istri. Tindakan Bapak bisa dikategorikan melawan hukum di negeri ini,” kata kepala bagian kepegawaian mengancam.
“Maaf, Bapak jangan kurang ajar. Dengar! Saya tidak akan menghapus nama Ina Essy dari KK,” jawabku dengan lantang dan tegas sambil mematikan telepon. Republik ini sungguh sudah gila. Uang tunjangan lebih bernilai daripada cinta dan kebenaran.
Aku menatap makam Ina Essy. Sekuntum mawar yang kuletakkan sejak sore tadi di pusaranya kini menebarkan aroma harum mewangi. Di sekitar mulai terbentang gulita. Kunang-kunang mencoba menerangi malam. Sudah sebulan dia tertidur di sini. Menyebut dan mengenang cinta Ina Essy adalah bagian dari kegembiraanku. Tak seorang pun boleh merebut kegembiraan itu dari hidupku. Karena cinta adalah sumber energi paling besar dan paling purba dalam kehidupan. Bahkan cinta jauh lebih purba dari nafas. Nafas manusia akan berhenti tetapi cinta tetap abadi. Nafasku tak akan berhenti hanya karena tidak lagi bekerja sebagai pegawai kantor di negeri ini. Cinta tetap hidup sekalipun jantung tak lagi berdetak. Kasih yang tertulis di dalam hati tak akan pudar, pun ketika tubuh sudah menjadi abu.
Aku kembali ke rumah. Setelah menutup jendela dan menyalakan lampu-lampu, rumah dipenuhi jejak dan wajah Ina Essy. Di sebuah bingkai foto, terlihat aku dan Ina Essy berjalan bergandengan tangan sambil tertawa di pinggir pantai Lewolein. Pada bingkai foto lainnya, Ina Essy tersenyum menyambut kedatanganku di Bandara Adisucipto dengan penuh kegembiraan dan kasih sayang. Aku menanak hasrat dalam kesejukan cinta. Tangisku luruh. Tanpa keraguan sedikitpun, kutandatangani surat pengunduran diri sebagai pegawai.
Yogyakarta, 7 Agustus 2022
————————————
Tentang Penulis
Yoseph Yapi Taum lahir di Ataili, Lembata, NTT, 16 Desember. Saat ini menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Pendidikan: (1) SMA Seminari San Dominggo, Hokeng (1984), (2) Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan Yogyakarta (1984-1985) dari biara Oblat Maria Imaculata (OMI). (3) S-1 dari di IKIP Sanata Dharma (1990); (4) S-2 dari FIB Universitas Gadjah Mada (1995); (5) S-3 dari FIB Universitas Gadjah Mada (2013) dengan disertasi berjudul Representasi Tragedi 1965: Kajian New Historicism atas Teks-teks Sastra dan Nonsastra Tahun 1966-1998. Melakukan penelitian tentang Konflik dan Kekerasan di Papua (2015-2016). Antologi puisinya Ballada Arakian (2015), Ballada Orang-orang Arfak (2019), dan Kabar dari Kampung (2022).