I G N A S K L E D E N, Sosiolog
Setelah musibah Aceh dan sekitarnya pada 26 Desember 2004, tsunami pasti bukamlah sekedar “ombak yang berlabuh” sebagaimana bahasa Jepang mengartikannya. Dengan korban jiwa jauh di atas 100.000 jiwa, yang hidupnya direnggut hanya dalam waktu lima hingga sepuluh menit, tsunami, gelombang dahsyat yang konon menerabas pantai dan daratan dengan kecepatan 75 km per jam, setelah melewati lautan dengan kecepatan di atas 800 km per jam, lebih tepat diartikan sebaai “maut yang berlabuh”. Banda Aceh yang penuh sejarah yang gemilang – dalam tata negara, kebudayaan Islam dan perdagangan – menjelma dalam beberapa menit menjadi sebuah kuburan terbesar dan reruntuhan yang paling luas dalam sejarah modern, dengan nisan yang hanya tertulis dalam ingatan atau bawah – sadar kita.
Indonesia hanyut dalam duka-nestapa dan dunia dikejutkan oleh penderitaan sejumlah besar mahluk yang bernama manusia. Dalam beberapa hari yang menyusul tingkahlaku orang-orang yang masih hidup, dan bangsa-bangsa yang menyaksikan bencana itu, seakan-akan berubah drastis: ideologi menjadi tidak relevan, perbedaan agama menjadi tidak penting, persaingan politik dan ekonomi antar-bangsa dilupakan sementara waktu, karena semua pihak bersatu padu dalam simpati terhadap penderitaan manusia yang mendekati batas putus-asa. Aceh tegak sebagai dokumen yang untuk sekian kalinya memperingatkan dunia bahwa kemajuan dan kemakmuran akan selalu cenderung memilah-milah, membedakan dan bahkan memisahkan, tetapi penderitaan manusia selalu punya energi untuk mempersatukan, menghimpun dan mengumpul-satukan. Pernyataan dan komitmen bantuan mengalir dari segala penjuru tanah air dan dari negara-negara asing, dengan kecepatan dan dalam besaran yang mungkin sebanding dengan kecepatan dan besarnya tsunami itu sendiri.
Ribuan anak-anak kehilangan ayah bunda dan mungkin juga seluruh kaum kerabatnya – sementara mereka sendiri belum sempat memahami apa artinya menjadi yatim piatu dan betapa pula rasanya hidup sebatang kara. Ayah ibu yang kehilangan anak mencoba mempertahankan harapan untuk masih dapat menemukan anaknya kembali, hidup atau mati, di antara timbunan mayat atau tumpukan sampah. Mereka yang belum sanggup mencerna semua pengalaman dan kehilangan menjadi limbung jiwanya sehingga bahkan tak sanggup lagi bertanya dan bersedih. Mereka memasuki rawa-rawa kejiwaan yang bernama bawah-sadar sebagai tempat pelarian dan cara memalingkan muka dari rasa pahit yang tak tertanggukan. Orang-orang di luar Aceh mencoba berspekulasi tentang apa yang dikehendaki Tuhan dari bencana ini, sementara orang Aceh sendiri barangkali mencoba menyerah kepada apa pun yang menjadi kehendak Tuhan. Atas cara yang sama para korban bencana menerima dengan terima kasih bantuan makanan, air bersih dan pakian serta obat-obatan yang berdatangan dari segala pihak, sementara para “petualang politik” mulai sibuk meniup isu tentang motf dan agenda tersembunyi dari orang-orang yang mengulurkan bantuan.
Apa pun soalnya di Aceh ada bencana, yang oleh PBB dinyatakan sebagai bencana internasional, yaitu suatu musibah yang menimpa seluruh dunia dan segala bangsa. Di banyak negara Eropah dan mungkin juga di tempat lain para warganya diwajibkan menundukan kepala dan mengheningkan cipta selama satu menit, sementara di Indonesia bendera nasional berkibar setengah tiang selama tiga hari. Media masa nasional dan internasional memberitaknnya dengan tekun selama dua minggu atau lebih, sementara tayangan televisi tentang bencana Aceh membuat berbagai acara hiburan dan bahkan terlihat sebagai “pornografi”. Orang mulai bertany apakah bencana Aceh menjadi “titik balik” dalam kesadaran dan perilaku nasional, seperti halnya jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada bulan Agustus 1945 atau peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat telah mengubah kesadaran dan perilaku orang Jepang atau para warga Amerika Serikat. Apakah orang akan semakin menghormati semua yang bernama kehidupan? Apakah kita sendiri semakin sadar tentang rapuhnya bumi tempat kita hidup, yang kata para ahli hanya terdiri dari 16 lempengan yang melayang di atas cairan berapi? Apakah bumi semakin dirawat atau manusia yang harus diruwat?
Tsunami Aceh ternyata tak hanya menghempas Nangroe – Aceh – Darussalam (NAD) tetapi sekaligus menghempas jiwa kita, menghamyutkan demikan banyak harapan sambil meninggalkan tumpukan sampah dan reruntuhan dalam rohani kita.
Adalah seorang filosof Prancis – Rene Descartes (1596-1650) – yang mula pertama mengajukan gagasan bahwa hidup manusia mempunyai dua belahan. Yang satu adalah dunia di luar manusia yang dinamakannya kosmologi berupa susunan alam semesta dan belahan lainnya adalah dunia – dalam manusia sendiri – pikiran, disposisi, mentalitas dan rohaninya – yang dinamakan psikologi. Yang pertama dinamakannya res extensa yang hanya terdiri dari luasan, yang kedua berupa res cogitans yang sanggup berpikir. Pembagian ini sekaligus menunjukkan keyakinan Descartes bahwa dibandingkan dengan alam luar maka manusia seakan-akan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi karena kemampuan akal-budinya. Maka hanya manusia yang sanggup berkata “saya berpikir, maka saya ada” atau “cogito, ergo sum”, suatu hal yang tak mungkin diucapkan oleh sebuah gunung atau sebatang pohon kelapa.
Menghadapi bencana Aceh, rasanya tak mungkin lagi seorang di Indonesia saat ini masih berani bersumbar mengulang ucapan Descartes tersebut. Karena tsunami alam-semesta atau kosmologi ternyata mempunyai cara sendiri untuk memberitahukan bahwa dia ada. Tsunami di ujung utara pulau Sumatera itu menegaskan sesuatu yang lain: “aku membinasakan, maka aku ada” atau deleo ergo sum. Dia tidak mempunyai pikiran tetapi dia jelas mempunyai besaran, luasan, tenaga yang dapat menhancurkan. Tanpa pikiran, alam luar itu bagaikan tenaga buta yang bergerak secara mekanis menurut hukum-hukumnya sendiri, berupa peraturan yang dipatuhi oleh kekuatan semesta ini, tanpa mempertimbangkan mengapa dan untuk apa lempengan bumi yang satu harus bergeser dan menabrak lempengan lainnya.
Tidaklah mengherankan bahwa renungan filsafat pertama yang dikenal dalam sejarah adalah kesibukan para pemikir Yunani dari Elea dan Miletos 6 abad sebelum Masehi dalam memandang dan berspekulasi tentang alam semesta, agar dari pengamatan terhadap tingkahlaku alam itu dapat ditarik kesimpulan dan pelajaran untuk hidup manusia sendiri. Pertanyaan pertama yang diajukan Thales dan kemudian diteruskan oleh Pythagoras adalah apakah yang menjadi intisari atau arche alam semesta ini, apakah air, api, udara atau yang lain? Yang khas dalam renungan-renungan tentang alam tersebut ialah usaha para pemikir itu untuk menjadikan alam besar ini sumber kebijaksanaan untuk perilaku manusia sendiri, dan bukannya menjadikan alam semesta ini sumberdaya yang boleh dikuras dan dieksploitasi tanpa mempedulikan batas daya dukungnya. Parmenides dari masa Yunani Antik mengatakan alam itu berwujud suatu “Ada”, sedangkan Herakleitos mengajarkan bahwa inti dari alam semesta ini tak lain dari perubahan. Kalau segala gejala alam ini mengalir bagaikan aliran sungai, maka yang tetap dalam alam ini hanyalah aliran itu. Diterapkan dalam pengalaman kita tentang Aceh apakah bencana itu sesungguhnya sesuatu yang “ada” atau sekedar “mengalir” dalam hidup kita?
Mengikuti pemikiran Descartes, tsunami Aceh telah memporak-porandakan alam-luar Aceh, infrastruktur, kehidupan fisik manusia, mata pencaharian, komunikasi, dan bahkan kampong halaman. Pertanyaannya adalah apakah perubahan kosmologis tersebut akan mempengaruhi psikologi Aceh, dunia –dalam Aceh sendiri berupa identitas mereka, semangat hidup, kebudayaan Islamnya, dan kebanggaannya tentang sejarahnya sendiri. Semua kita tahu infrastruktur dapat dapat dibangun kembali, sarana transportasi dan komunikasi dapat dipulihkan, gedung-gedung dan perumaha dapat didirikan kembali, dengan bantuan berbagai pihak yang mudah-mudahan dapat dikelola dengan baik. Imbauan pemerintah agar anak-anak Aceh yang masih selamat jangan dibawa ke luar Aceh jelas berhubungan dengan soal ini. Satu generasi telah hilang sebagian besar anggotanya, dan sementara ini yang masih tertinggal mungkin mencari perlindungan ke pihak-pihak di luar Aceh. Rupanya perlu dipikirkan suatu kebijakan pendidikan anak-anak Aceh agar supaya mereka bukan saja dapat mengatasi trauma bencana itu, tetapi dapat menemukan kembali pertautan dirinya dengan akar-akar kebudayaan dan sumber-sumber tradisinya seperti semula.
Tatkala Jerman dikalahkan selama perang dunia kedua, dan ekonominya hancur berantakan, ketika tenaga-tenaga lelaki tua dan muda pulang dengan loyo dari medan perang yang tak lagi dimenamgkannya, maka muncul semboyan yang amat menyentuh hati: Noch is Deutshland nicht verloren (Jerman belum hilang lenyap), yang maknanya mirip ungkapan Hang Tuah: “tak hilang Melayu di bumi”. Apakah Aceh akan hilang dari bumi atau bertahan di masa depan, tidak hanya tergantung dari orang Aceh sendiri, yang saat ini kehilangan hampir segala yang mereka miliki, tetapi tergantung dari pihak lain, khususnya pemerintah RI, untuk memulihkan Aceh dalam psikologis mereka. Bantuan untuk memulihkan prasarana dan kerusakan fisik dapat disiapkan oleh pemerintah Indonesia dan negara asing dan pihak – pihak yang bersimpati, tetapi bantuan untuk menemukan kembali identitas Aceh dan menghidupkan lagi tradisi mereka sangat tergantung dari orang-orang Aceh sendiri, dan berbagai kelompok di tanah air yang secara sadar mengidentifikasikan diri dan kegiatan mereka dengan kepentingan Aceh.
Sejarah dunia memberikan banyak pelajaran bahwa suatu bangsa yang hancur dapat bangkit dari keruntuhannya berkat bantuan pihak lain. Ekonomi negara-negara Eropah yang luluh-lantak karena perang dunia kedua dicoba dipulihkan melalui ERP atau European Recovery Program yang diusulkan oleh Menteri Luar Negeri Amerika serika, George C. Marshall, di universitas Harvard, AS, pada 5 Juni 1947, dan kemudian lebih dikenal sebagai Marshall Plan. Bantuan yang ditanda-tangani oleh 17 negara itu terbukti sanggup memulihkan kembali ekonomi negara-negara Eropah, khususnya Jerman sebagai pihak penyebab perang, yang dalam waktu satu dasawarsa dapat memaklumkan dirinya pada awal tahun 60-an sebagai Wirtschaftswunder atau keajaiban ekonomi, di bawah pimpinan politik Adenauer dan menteri ekonominya Prof. Ludwig Erhard.
Pelajaran yang dapat diperoleh dari berbagai sejarah bantuan adalah bahwa berhasilnya bantuan akan tergantung dari penghayatan dan penerapan filsafat pembangunan tentang prinsip help for self-help. Efektivitas suatu bantuan pada intinya tidak pernah tergantung seluruhnya pada pemberi bantuan tetapi juga dan terutama pada penerima bantuan. Memang kita mengetahui bahwa dalam banyak paket bantuan pihak pemberi bantuan selalu memberikan persyaratan atau conditionalities yang cenderung menguntungkan mereka sendiri dan tidak begitu membawa manfaat bagi penerima bantuan. Akan tetapi apakah persyaratn-persyaratan itu akan diterapkan atau tidak buat sebagian besarnya tergantung dari negosiasi pihak penerima dan pemberi bantuan.
Komitmen bantuan uang dari negara-negara asing untuk Aceh sudah disiarkan kepada publik, dan besarnya tak kurang dari 9 milyar dollar AS, atau kira-kira 72 trilyun rupiah, yaitu jumlah yang lebih besar dari subsisdi BBM yang sementara ini sedang dalam perdebatan untuk dihapus atau tidak dihapus oleh pemerintah RI. Jumlah itu baru berupa komitmen negara-negara asing belum termasuk bantuan yang di mobilisasi dari dalam negeri sendiri. Semua kita tahu bahwa komitmen untuk bantuan itu barulah dilaksanakan, kalau pihak penerima bantuan, dalam hal ini Aceh melalui pemerintah RI dan kelompok-kelompok masyarakat Imdonesia, dapat menyodorkan program aksi yang konkret tentang untuk apa dan bagaimana bantuan-bantuan tersebut akan digunakan. Selagi tidak lagi ada usul tentang program aksi yang dapat diajukan dan diterima oleh pihak pemberi bantuan, dapat dipastikan bahwa bantuan itu tidak akan segera cair. Ini artinya pemerintah dan masyarakat Indonesia yang mewakili Aceh, harus bekerja keras pada saat ini untuk menyusun berbagai usul program aksi yang dapat diajukan secara meyakinkan kepada pihak pemberi bantuan, termasuk juga rencana tentang bagaimana penggunaan dana-dana itu dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan.
Dari pembicaraan selintas dengan satu atau dua yayasan asing di Jakarta yang juga menyalurkan dana bantuan kepada kelompok-kelompok yang ingin membantu Aceh, terdengar keluhan betapa sulitnya mereka mendapatkan usul program aksi yang dapat menjadi pegangan dan dasar bagi mereka untuk mencairkan bantuan yang mereka siapkan. Kelompok-kelompok relawan dan aktivis ini harus berulangkali dihubungi dan sedikit “diuber-uber” agar menyerahkan rencana aksi mereka. Dapat dipahami bahwa di tengah berbagai kesibukan membatu Aceh, mungkin sulit mengambil waktu yang tenang untuk menyusun rencana aksi yang diinginkan. Namun demikian, tidak dapat dihindari kenyataan bahwa rencana aksi itu – demi Aceh dan para korban – tetap harus disiapkan secepat mungkin, sebagai bagian komitmen dari kesungguhan membantu para korban di Nangroe-Aceh Darussalam. Para pemberi bantuan, demi akuntabilitas, harus mempertanggungjawabkan bantuan yang mereka salurkan, dan ini kembali sangat tergatung pada kelompok-kelompok relawan dan aktivis yang menerima bantuan tersebut untuk disalurkan kepada rakyat dan masyarakat Aceh.
Ucapan “tak ada makan siang gratis” tidak hanya dapat dijadikan sindiran untuk pemberi bantuan, tetapi juga selayaknya menjadi pecut bagi pihak-pihak kita di Indonesia yang menjadi penerima bantuan Aceh. Tidak ada pemberi bantuan yang akan dengan tenang menyerahkan bantuan mereka, tanpa tahu hendak dipengapakan bantuan itu oleh para calon penerimanya. Pada titik inilah akan teruji apakah prinsip help for self-help itu juga dapat diperlihatkan oleh pihak Indonesia yang hendak menolong Aceh yang lagi hancur-hancur belahan luarnya dan centang-perenang belahan dalamnya. Organisasi pemulihan Aceh sudah dimulai dari organisasi penyaluran bantuan-bantuan itu, yang kembali dapat diperlihatkan oleh kesiapan setiap kelompok untuk menyusun rencana aksi mereka. Tanpa rencana aksi ini, pencairan bantuan akan selalu tertunda, sementara anak-anak dan orang dewasa yang memerlukan bantuan itu dari menit ke menit terpaksa menahan lapar dan dingin di malam hari semata-mata karena semangat membantu Aceh tidak disertai oleh kesiapan menyusun rencana aksi yang merupakan syarat pertama pencairan dana bantuan.
Adalah jelas bahwa rencana aksi ini dapat disusun dalam berbagai tingkatnya. Pemerintah Indonesia dapat menyusun rencana aksinya melalui cabinet yang kemudian hasilnya dapat berbentuk keputusan presiden. Namun berbagai lembaga swadaya masyarakat dapat menyusun rencana aksi mereka dalam bentuk people to people assistance. Bersama dan terus membesarnya angka-angka yang merupakan komitmen negara-negara sahabat seyogyanya diimbangi dengan publikasi yang sama gencarnya tentang rencana aksi dan menerapkannya, kita ibarat “mengharapakan elang di langit, punai di tangan dilepaskan”.
Besarnya perhatian kepada Aceh tentu saja diakibtkan oleh besarnya musibah yang melanda daerah itu dan juga oleh berliku-likunya rahasia kecelakaan yang tidak selalu dapat dipahami. Sampai dengan saat karangan ini ditulis, mayat dalam jumlah puluhan masih juga ditemukan, dan anak-anak yang hilang berhasil dipertemukan kembali dengan orang tua mereka yang barangkali telah melepaskan segala harapan. Perjumpaan yang diusahakan melalui sebuah stasiun televisi nasional, masih dapat disaksikan sampai hari ini di layar kaca. Setelah lenyap tak tentu rimba selama beberapa hari, pertemuan yang tak dinanya menjadi peristiwa kemanusiaan yang dirakan dengan penuh keharuan dan sukacita, yang barangkali taka da presedennya dalam hidup mereka yang mengalaminya. Menemukan kembali anak yang hilang, berjumpa kembali dengan orang tua yang sudah kehabisan tenaga mencari adalah ibarat mendapatkan kembali kehidupan yang telah sirna dan merayakan harapan yang dipulihkan tepat pada saat harapan itu akan punah.
Kita yang tak terlibat langsung dalam kehilangan dan pertemuan itu dapat melihat bagaimana rahasia kehidupan manusia disingkapkan selapis demi selapis. Bencana memang berkuasa membinasakan, tetapi hidup dan kegembiraan manusia di sela-sela kehancuran, sebagai perkara yang terlalu berharga dan milik yang tak dapat dibinasakan sampai tuntas. Bahkan seorang yang sepenuhnya tak percaya kepada Tuhan tak dapat mengelak bahwa imannya kepada hidup ini sendiri semakin diperkuat.
Hati siapa tak gentar mendengar kisah seorang mahasiswi kedokteran muda usia yang mencoba bertahan di tengah gemuruh air yang lebih dahsyat dari beberapa banjir bandang digabung satu, hanya untuk merekam dengan kameranya riwayat perkembangan musibah itu dari menit ke menit selama empat jam, tanpa memikirkan keselamatannya sendiri sambil berdoa agar rekamannya mudah-mudahan dapat diselamtkan. Tidak terbersit rasa bangga atau puas diri dalam wawancara televisi dengannya. Segala sesuatu tampak wajar belaka dalam keyakinannya, karena dalam sikap sumarah yang mengangumkan kematian merupakan saat yang dapat diterima dengan wajar tanpa rasa gentar, tanpa sinisme dan tanpa keangkuhan hati. Dia mencoba bertahan dengan kameranya, merekam segala sesuatu yang sempat direkamnya “selama masih ada waktu” dengan harapan bahwa apa yang dilakukannya dapat menjadi pelajaran untuk orang lain, seandainya pun dirinya sudah tiada karena ditelan gelombang musibah.
Cut Putri, mahasiswi kedokteran itu, tidak hanya merekam dengan kameranya, tetapi mengajarkan – tanpa sendiri diniatkannya – bahwa hidup adalah karunia yang menyenangkan dan kematian bukanlah akhir yang menakutkan. Ketenangan dan keteguhan hatinya selama empat jam merekam amukan tsunami dan segala yang dibinasakannya, tingkahlakunya menghadapi buasnya alam, ingatannya untuk merekam pengalaman itu untuk orang lain di tempat lain dan di masa yang lain, sikap tak acuh terhadap hidup-matinya sendiri – kini telah menjadi salah satu dokumen kemanusiaan yang dapat menyumbang keteguhan hati kepada banyak orang lain yang mengenal kisahnya. Karena kameranya memang menyimpan dengan cermat perkembangan bencana dari waktu ke waktu, tetapi dirinya sendiri telah menjelma menjadi rekaman tentang harapam dan kepercayaan terhadap kehidupan.
Cut Putri mungkin bukan satu-satunya contoh tentang adanya “batu karang” yang tetap tegak dalam dahsyatnya bencana Aceh. Banyak kisah-kisah tentang keteguhan hati manusia, kemantapan jiwa, dan tak tergoyahkannya kepercayaan dan ketenangan jiwa menanggapi perubahan besar di dunia luar, atau tentang penyerhan diri yang tanpa ragu kepada misteri masa depan, dan perasaan tahu syukur terhadap kesempatan kecil yang masih diperoleh untuk melanjutkan hidup – masih tetap tersembunyi dari pengetahuan umum. Usaha orang Aceh dan keterbukaan para relawan untuk membongkar sampah dan lumpur, atau menggeser mayat dan reruntuhan untuk menemukan seorang bayi atau seorang tua yang masih hidup, sekarang telah menjadi tamsil tentang ikhtiar manusia dalam mencoba mendaptkan harapan di tengah kesia-siaan dan membangun kepercayaan di hadapan absurditas yang tak terelakkan.
Bencana memang bagian dari kosmologi kita. Dunia luar itu ternyata punya kemauan tersendiri yang tak selalu sejalan dengan harapan dan aspirasi dalam psikologi manusia, dan tidak selalu dapat dicerna oleh otak manusia, yang menurut Descartes, adalah satu-satunya res cogitans, atau mahluk di muka bumi yang dapat berpikir. Bagaimana dapat dipahami bahwa daerah pantai sebelah Barat Aceh yang langsung ada di depan episentrum seperti Tapaktuan, Kandang, Bakongan dan Singkel tidak terkena hempasan tsunami, yang malahan menghancurkan Lhokseumawe di pantai Timur Aceh? Mengapa pula Banda Aceh yang dilanda tsunami sementara Sabang di sebelah utaranya selamat, sementara tsunami harus lewat di sana untuk tiba ke pantai Timur atau ke Myanmar?
Aceh dengan bencana dan korbannya kini meninggalkan pelajaran buat siapa saja bahwa tak selalu manusia dapat membusung dada bahwa dia dapat berbuat sesuka hatinya dengan alam besar di luar dirinya, yang bagaimana pun harus dihormati dan turut dijaganya seperti seorang sahabat menghormati sahabatnya, atau seorang ibu mencintai anaknya. Berbagai tradisi komunitas-komunitas di tanah air tak pernah lupa mengingatkan bahwa alam semesta adalah mitra hidup manusia yang patut dijaga dengan rasa sayang, hormat dan bahkan rasa gentar. Sebelum ekologi menjadi ideologi yang gemuruh di berbagai belahan bumi, berbagai suku bangsa di Nusantara telah yakin sedari dulu bahwa antara manusia dan alam yang dihuninya ada kekerabatan dan persaudaraan. Sayang, ilmu pengetahuan, teknologi dan industry, yang menyelidiki dan memanfaatkan pengetahuan tentang hokum-hukum alam, akhirnya lebih cenderung membawa manusia kepada keyakinan sebaliknya. Seakan-akan bumi dan segala isinya adalah harta liar yang boleh diambil oleh siapa yang cepat dan nekat, seakan terhadap sungai, gunung dan pepohonan orang boleh bertindak sebagai predator yang semena-mena, seakan manusia mempunyai hak untuk hanya mengambil, mengeruk, mengotorkan dan meninggalkan dalam keadaan terbengkelai, tanpa mengingat bahwa untuk bumi kita pun berlaku peribahasa: “seberat-berat mata memandang, berat juga bahu memikul”, daya dukung bumi telah dipersetankan, sehingga ucapan George Orwell tentang kekacauan bahasa dapat diterapkan dengan tepat untuk ekologi Indonesia: kalau seorang menghancurkan bumi, maka bumi akan menghancurkannya.
Bencana adalah bagian dari krisis sedangkan krisis adalah bagian dari terungkapnya kebenaran. Gempa dan banjir menguji kekuatan bangunan sebuah gedung, tetapi sekaligus mengetes psikologi manusia entah dia berhitung dengan risiko dan kemungkinan bahaya, atau cuma terlena dalam apa yang dianggap menjadi pencapaian dan keberhasilannya. Setiap bencana dan musibah, cepat atau lambat, akan menyingkapkan kesiapan masyarakat dan kesiapan pemerintah, mengkonfirmasi lancer atau macetnya informasi, menguji tingkat responsive atau tingkat indiferennya orang terhadap informasi yang diterimanya, dan juga memperlihatkan apakah infrastrukrur yang ada dan birokrasi yang mengaturnya mempunyai antisipasi terhadap apa yang tak diinginkan tetapi selalu mungkin terjadi. Mengharapkan yang terbaik sambil bersiap untuk yang terburuk – nampaknya semakin mendesak untuk dijadikan etos nasional Indonesia Bumi ternyata bukanlah surga dan dunia bukanlah harmoni yang selalu aman dalam keseimbangan.
Kehancuran alam-luar tak dapat tidak membawa dampak pada dunia-dalam manusia dan pada sikap orang terhadap psikologinya, apakah dia memilih untuk membereskannya atau membiarkannya hancur bersama robohnya rumah tempat tinggal. Apa yang menjadi gelombang besar dalam alam-luar menjelma menjadi pertanyaan reflektif dalam belahan-dalam manusia. Politik tidak pantas lagi hanya menjadi soal perebutan kekuasaan atau dagang-sapi antar partai, uang untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat tak patut lagi dipermainkan dalam korupsi yang semakin hari semakin gelembung dan mendekati tahap pervesi. Indonesia rupanya tidak lagi terkejut, jangankan pula merasa gundah, bahwa praktek korupsi yang ada sekarang yang terbesar dalam sejarah bangsa-bangsa moderen. Kita akhirnya tak perlu menunggu datangnya bencana lain yang akan menyingkapkan kelemahan, yang tidak dicoba untuk diatasi, tetapi selalu diupayakan untuk disembunyikan. Kenyataan bahwa Banda Aceh dan kota-kota lain di Aceh musnah pada 26 Januari 2005 dan bahwa respons nasional baru terlihat pada 27 januari 2005 akan tetap menjadi dokumen sejarah yang tak terhapuskan tentang betapa siap tak-siapnya kita sebagai bangsa dan negara dalam menaggapi suatu persoalan yang telah mengejutkan seantero dunia.
Kata orang-orang bijak, pengalaman tidak pernah mengubah dengan sendirinya kesadaran dan perilaku orang yang mengalami. Yang membuat perubahan hanyalah refleksi tentang pengalaman, untuk menarik pelajaran dari padanya tentang apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang sebaiknya dihindari pada kesempatan lain. Kalau bencana besar Aceh tak juga sanggup membuat kita di Indonesia berpikir ulang tentang kebiasaan-kebiasaan kita dalam politik dan pengelolaan kekuasaan, tentang tanggungjawab dan solidaritas terhadap orang lain – tidak saja dalam bencana tatpi juga dalam kehidupan sehari-hari, tentang prasangka antar kelompok yang seringkali tidak berdasar tetapi selalu dikompromi oleh orang-orang yang sedang haus dan lapar akan kekuasaan, tentang komitmen kepada kejujuran dan rasa malu terhadap penipuan dan kejahatan, maka rupa-rupanya tak ada lagi persanbungan atau titian apa pun antara kosmologi dan psikologi. Kalau dunia-luar tak bersentuhan lagi dengan dunia-dalam, kalau keinginan dan hasrat kejiwaan sudah bergerak liar tanpa persinggungan dengan alam-luar, maka psikologi itu sendiri barangkali sudah mengalami krisis dan bencana besar, sekali pun tak ada tsunami yang membenturkan gelombangnya ke pantai dan merobohkan tembok-tembok kota.
Tsunami – menurut makna aslinya dalam bahasa Jepang adalah “ombak yang berlabuh”. Alangkah indahnya makna itu. Arti itu terlalu manis kalau orang berhadapan dengan gelombang setinggi pohon kelapa yang mengakhiri hidup puluhan ribu orang dengan sekali hempas. Di Aceh, Meulaboh dan Lhokseumawe tsunami telah berubah menjadi “maut yang berlabuh”. Bencana itu bukan saja meruntuhkan gedung dan jembatan serta jalanan, tetapi menerobos juga dalam dinding-dinding dalam kehidupan sosial dan politik kita yang selama ini menjadi tempat persembunyian yang aman bagi berbagai kelemahan, penyelewengan atau prasangka. Tsunami mengungkapkan tak-berdayanya manusia atau ketabahan menghadapi bencana dan maut, membeberkan kesiapan dan kegagapan masyarakat dan pemerintah dalam menanggapinya, memperlihatkan kesejatian dan kepalsuan hubungan antar-kelompok dan antar-bangsa, serta menyatakan bahwa tak ada bangsa yang dapat hidup dalam kesendirian sekali pun dia barangkali menghendakinya. Pada titik itu tsunami menjelma menjadi “kebenaran yang berlabuh”.
Akan tetapi kebenaran itu tak perlu menakutkan siapa pun. Bertumpuknya bantuan, simpati nasional, komitmen internasional, dan kesungguhan berbagai kelompok dalam penanganan bencana itu, mulai memperlihatkan prespektif lainnya bahwa Aceh adalah kita, dan kita adalah sebagian dari Aceh. Orang-luar atau orang-dalam hampir tak ada artinya pada saat ini, karena kemanusiaan dan solidaritas mempunyai tenagnya sendiri dalam menerobos batas-batas. Pada saat itu tsunami dapat berubah pula dari “kebenaran yang berlabuh” menjadi “harapan yang berlabuh”.
Jakarta, 20 Januari, 2005.
***********************************************************
Sunber Tulisan “Samudra Air Mata – Ocean of Tears”, Oscar Motuloh dkk, Penerbit Lembaga Jurnalistik Antara, 2005.