Y.B. Mangunwijaya
SABAR sekali Pastor berambut putih itu mendengarkan kisah nyata lelaki yang terbaring remuk-redam di ranjang kematiannya dan seperti dikejar waktu mengeluarkan segala beban jiwa. Dua lelaki dua profesi. Yang berambut putih seperti tali rafia bertugas tekun mencoba sebisa mungkin menurut kekuatan kemanusiaannya menjaga dan membina keutuhan dan kesuciaan keluarga. Dan yang berambut hitam brilkrim, karyanya justru dalam bidang pembinatangan nafsu seks yang sebenarnya bertujuan indah, namun dibuat oleh konco-konconya menjadi karikatur, ya bahkan kekejian yang menguak menuntut dendam karma.
Ia germo dan oleh kawan-kawannya dipanggil Keling Teji. Bukan hanya germo biasa, melainkan calo tingkat cukong perempuan untuk para VIP yang di mana-mana menggembar-gemborkan Pancasila dan Pembangunan, spiritual-materiil, target KB dan pemberantasan kenakalan remaja. Akan tetapi sebenarnya perusak bangsa tingkat paling rendah.
Dua laki-laki, dua profesi yang saling berlawanan laku hidupnya, akan tetapi saat ini entah aneh sekali dalam inti hati, saling bersimpati. Bukan karena sekawan dalam cita-cita pengisian inti hidup, melainkan karena bertemu dalam satu nada rindu, karena berpihak pada suatu penghayatan bersama. Kedua mereka tahu banyak, ya banyak sekali tentang liku-liku serong rahasia dari banyak para VIP yang penuh kebusukan dan kemunafikan. Mata dan pendengaran keduanya sudah seperti sinar rontgen atau radar, yang tidak dapat lagi tertipu oleh suara hati dan sanggup menjebol segala dinding beton baja berlapiskan marmer Carrara serta berpintu teakwood. Apalagi jas-jas wool, kebaya tembus pandang atau kain batik yang ketat. Bagi mereka para VIP serong ibarat telanjang bulat, seperti setaip bayi tanpa pandang orang tua, hartawan atau orang penting, polos pusar bodong di muka bidan.
Maka bagi kedua mereka, yang berambut hitam maupun yang putih di kamar rumah sakit ini, taka da parfum Rubinstein satu jenis pun atau angin kipas gading buatan Persia sehembus pun dari para nyonya maniak, yang mampu menghalau indikasi bau kamar mayat yang hanya dapat dicium oleh mereka yang sudah terlatih melihat kemaksiatan dari gerak main mata dan cara bicara mereka.
Sang germo dan sang pastor di kamar itu keduanya felloos tanpa resiko keliru dapat menaksir siapa yang mampu bertahan. Dan mungkin karena kesatuan radar itulah, mereka serasa saudara. Ada semacam intuisi yang mendorong Keling Teji (yang menurut dokter sudah tak ketulungan lagi kankernya), sudah merembet dari paha menuju dekat jantung, untuk minta dikunjungi pastor Barata di ranjang sakitnya. Di ambang kematian, manusia merasa butuh reuni yang lebih sejati, dari sekian reuni sentimental yang pernah mereka datangi dan bercerita.
Ya berceritalah si Keling Teji, entah sudah berapa jam tadi, tentang segala story dan tingkah kelakuannya yang corok dalam melayani ……(disebut nama dan jabatannya eksak) “orang-orang terhormat” dengan perempuan-perempuan segala umur, mulai dari gadis cilik sampai nenek yang sudah bercucu, perempuan sembarangan maupun puteri SMP-Mahasiswa yang tampak saleh di gereja, di waktu senggang maupun di waktu jam-kerja dinas baik dengan biaya dinas Kas Negara maupun perasan uang rakyat.
(-) Maka itu aku, Nak semua orang sudah tahu, sudah tahu. Setiap orang dewasa yang cukup berakal sudah tahu semua. Tidak ada satu rahasia di negeri kita ini, Nak. Mengapa masih menuntut sesuatu yang tidak perlu? Siapa tahu, mungkin ada baiknya orang-orang itu mengira bahwa masih berpakaian, padahal ditertawai rakyat yang melihat ketelanjangan mereka. Begitulah barangkali, mereka sudah dihukum secara lebih hina daripada resmi diadili. Biarkan mereka berdansa dan berporno dalam ilusi yang tersembunyi di belakang dinding marmer, sedangkan nyatanya rakyat melihatnya bergumul seperti di tengah kota serba kaca di muka pasar.
(Germo sejurus diam. Matanya basah sedangkan nafasnya terisak-isak). “Salahku…….Salahku! Rama tanpa aku menduga anakku yang masih SMP termakan oleh……(disebut Namanya eksak jabatannya, pangkatnya). Yang saya umpankan anak lain. Tahu-tahu anakku tunggal yang terjebak. Memang andilku sangat besar dalam segala kemaksiatan yang jauh lebih binatang daripada apa yang pernah ditulis dalam majalah-majalah porno kita. Tetapi sungguh saya tidak mengira bahwa anakku sendiri bahwa anakku sendiri semuda itu yang akan jadi korban”.
(-) Anda hanya ingin membalas dendam, Nak, masih ad acara-cara lain yang lebih baik daripada menulis di koran.
“Ah Romo, Selalu kalian berbuat begitu rupa, sehingga kami kaum awam seolah-olah dipaksa untuk percaya, bahwa agama itu candu. Bahwa kaum agama selalu saja melindungi pihak yang berkebetulan sedang berkuasa. Tulis Rama, tulis. Rama takut? Seribu pembesar akan marah tersinggung. Tetapi serratus juta rakyat yang akan berterima kasih kepada Rama”.
(-) Terima kasih manusia akan berharga, tetapi menikam juga kelak, Nak. Tidak semudah itu dunia watak manusia. Tetapi berilah saya waktu, Nak, untuk berpikir dan………untuk berbuat salah juga di mata Anda. Yang paling penting dan berharga toh sudah terjadi. Anda mencoba menyeberang ke pihak yang benar. Itu yang paling pokok. Yang lain-lain dengan sendirinya menyusul. Paling sedikit ada rasa tidak bangga atas kelakuanmu di masa lampau”.
“Mereka bangga Rama. Merusak gadis cilik mereka anggap suatu prestasi, pahlawan”.
(-) Sudahlah Nak. Kita berdua tau banyak apa yang terjadi di belakang tabir. Ada saatnya, kita berdua harus ridha tidak mengetahui apa yang bakal terjadi. Hukum Karma hanyalah sebagian dari kebenaran, Nak. Air mata seorang ayah yang remuk redam adalah bagian lain yang lebih kuasa untuk menyelamatkan anak”.
*******
*Artikel Romo Mangun ini di simpan oleh Bismar Siregar (Mantan Hakim Agung) sejak 1970.
*Sumber Buku Kata-Kata Terakhir Romo Mangun, Editor Th. Bambang Murtianto – Penerbit Kompas, 2014.