Tentang Aku
Aku selalu hidup dibayang ketakutan
Aku selalu menjadi misteri di bawah radangnya rumah tua
Lusuhnya pakaianku selalu jadi bahan tawa para koruptor rumah itu
Tak tersadar jiwaku yang beranjak tua semakin hina di hadapan mereka
Aku adalah sosok yang selalu hidup dalam gelap
Aku adalah sosok hina yang tak pernah bisa dimengerti orang lain
Hidup yang mungkin selalu terjamin membuat aku semakin dianggap mati
punya rasa menyesal karena Tuhan mengujiku pada usia yang harusnya ku butuhkan Bahagia
Aku takut
Hidup-ku yang selalu dihantui dengan ancaman dan hinaan
Aku takut karena mungkin akan terpaku pada gelap
Aku sadar aku hanyalah benda pajangan yang dilahirkan untuk tawa masyarakat
Mungkin tak lama namun harus membekas pada batin
Fisik dan raut penampilan selalu jadi bandingan masyarakat
Mungkinkah jika tubuh terbujur kaku akan ada hinaan di balik kubur basah
Ataukah rasa sakit ini harus kubawa hingga Tuhan memanggil-ku pulang menjadi debu ?
Ada cobaan untuk mengahkiri hidup
Berjalan di atas rasa sakit yang terus menusuk lemahnya jiwa bangkit
Yang terus saja berbanding terbalik dengan apa yang selalu dibayangkan
Rasa sakit itu yang selalu membawaku untuk kembali terupuruk
Di kursi reot saksi hidup-ku
Kutuliskan ini dan menanti hadiah apalagi yang akan diberikan untuk penikmat kopi pahit Di ujung senja
—————————————–
Suara Anak Rantau
Di tengah riuh pesta pora
Sepotong harapan di balik jendela
Menatap keluar bagai menyayat hati
Gugur daun mengingat sawah ayah ibu
Sebingkai foto di sudut ruangan
Mematung kepala, berlinang air mata
Susah hidup di tanah orang, gemuruh hati meminta pulang
Bulan terang megisyaratkan minta-ku pada sang Ilahi
Ketika susah harus diam, melihat tawa teman sebaya
Damping peluk dan cium teringat akan harum kebaya ibu
Gelak memecah ketika canda dari bibir ayah
Mati rasanya ketika ingin dari hati tak terpenuhi
Rindu pondok beralas tikar
Biar susah, hati tak pernah ingin mengeluh
Tenang terasa ketika dekat
Harum masak buatan ibu, membuat sudut bibir ingin menyantap
Belum saat akan bertemu
Walau linang air mata terus berderai
Lantunan doa pada sang Ilahi ingin pulang
Semoga diri menahan rindu
Ketika peluk ibu menyambut diri lemah
Semoga yang harus tersemogakan
Harap yang harus terharapkan
Mimpi yang harus termimpikan
Tertahan rindu karena peluh rantau mengejar cita
Jika rindu adalah sakit
Temu sapa adalah obat anak rantau
————————————
Taktik Berdasi
Di tengah busung lapar terjadi
Mata gelap, telinga menuli
Perjuangan orang kecil dalam mimpi
Berharap hari esok kembali terbit fajar yang membuah pada harapan
Bukan tentang apa yang harus dipikirkan
Bukan tentang apa yang harus didengarkan
Kesedihan yang terpojok ketika usia akan menua
Jika tanya membunuh semua jawaban
Putarnya nilai rupiah, seakan menginjak usaha harga diri berharap meninggi
Ratap tangis anak yatim meminta sepeser harga untuk sepiring nasi
Tikus-tikus politik seakan bermain di balik bayang susah
Gedung-gedung mewah seakan membanting pintu menolak sedekah
Secerca harapan mendapat perhatian tak terwujud
Hati susah, ketika harus bergelut di bawah terik demi rupiah
Mati rasa hati para pembesar, membuat tangis pecah di balik cahaya purnama
Monopoli kota metropolitan jejak rupiah bagai tak terekam
Mungkin sakit jika harus bercerita
Pembesar tidur di atas uang, permainan seakan berahkir tanpa pemenang
Mungkin ratap harus menua berjalan bersama usia
Penderitaan tak kunjung habis ketika menutup mata membawa susah
Wahai para pembesar
Taktik hebat, kalian rancang
Membutakan uang, tanpa berpikir rakyat melarat
Jika bisa bertanya, apa harus kami menyembah?
Jangan buta wahai pejabat
Hentikan permainan konyol, menyusahkan hidup pelosok
Mungkin doa mewakili ratap susah
Berharap Tuhan mengabulkan apa yang dipinta
Jika harus memilih mungkin mati harus terbayang
Tak lagi harap bantuan dana pemerintah
Siap diri untuk bergelut
Merebut sepiring nasi untuk hidup
Terwakilkan rasa, jika tersampaikan
Terima kasih jika tersentuh
——————————–
Gadis di Balik Purnama
Syair-syair cinta bekerja ketika sang pengelana mengejar cinta
Purnama malam, begitu hangat terasa
Santapan malam yang terhidang terasa lembut sampai pada sudut bibir
Teringat kenang manis ketika di bawah atap gereja
Rintik-rintik bagai bercerita tentang kondisi hati
Ingin lepas tak terpikir ketika mengingat kenang di bawah langit mendung
Senyum manis ketika berdua menikmati indahnya terbenam sang fajar
Ketika pisah hati tak ikhlas jika harus jauh memendam rindu
Waktu berjalan, seiring bertambah usia ketika harus menua
Di balik jendela usang, bintang cantik di malam itu
Bulatnya mata mengharap kembali mengulang masa itu
Mengandaikan senyum dengan purnama di penghujung tahun
——————————————-
Untuk Kamu
Aku pernah mengenal-mu
Namun aku lupa kapan kita pernah menyapa
Aku juga pernah melihat-mu
Namun aku lupa kapan kita pernah bertemu
Kamu
Beberapa huruf yang terlintas dibenakku untuk mengingat satu nama
Kamu yang selalu membawa-ku keluar dari duniaku
Kamu yang selalu membuatku menjadi istimewa tanpa tau bahwa aku adalah kurang yang Kamu punya
Aku
Istilah usang yang kau anggap istilah usang dalam hidup-mu
Nama yang selalu membuat-mu bagai terpuruk dalam satu zona
Nama yang selalu membawa-mu pada rasa trauma untuk kembali mengenal sosok lain
Mungkin terlalu buruk untuk kembali bercerita
Hayalan-ku dan hayalan-mu mungkin terlalu jauh berbeda
Hayalan-ku yang mungkin membuat-mu merasa bahwa aku terlalu buruk untuk hadir Kembali
Waktu yang selalu memaksaku untuk menghilang dari dunia-mu
Semua seakan menarik paksa agar aku terbangun dari mmpi indah-ku
Dari aku untuk kamu yang jauh dari genggaman-ku
Ini untuk kamu yang telah pergi dan tak akan pernah bisa kembali
Dari aku yang selalu membawa-mu pada dunia-ku yang terlalu suram bagi-mu
———————————————————–
* Clara Juliatry Corneliani Mbulu, Siswi XII MIPA 4 SMA Katolik Giovanni Kupang
* Kelima Puisi Clara Juliantry Corneliani Mbulu di atas adalah Pemenang Juara 3 Kepenulisan Puisi Tingkat Sekolah Jenjang SMA, dalam Program Gerakan Sekolah Menulis Buku Nasional, yang Diselenggarakan oleh GMB- Indonesia.