ORANG di negara Polinesia Prancis yang terletak di Selatan Samudera Pasifik sana, tentu tidak kenal SMA SKO San Bernardino. Atau warga di pulau Tahiti yang merupakan pulau terpadat di negara itu, pun tidak merasa perlu mengetahui bahwa di Indonesia ada satu Sekolah keberbakatan Olahraga swasta satu-satunya di Indonesia.
Tetapi semua ketidakmungkinan itu terjembatani berkat kehadiran Pater Sileverius Tobe Namang, SS.CC. Pastor yang lebih disapa dengan “Ferry Namang” itu sudah berada di negara di selatan Samudera Pasifik sejak 4 Januari 2008. Kini memasuki tahun ke-15, ia merasa bahwa negara dengan penduduk sekitar 180 ribu itu dan terutama Tahiti sebagai pulau di mana ia tinggal juga mendi pulau dan negaranya juga.
Dari pengenalan itu, umat di negara yang yang hidup dari pariwisata, pembudidayaan mutiara, dan pertanian juga bisa menyisihkan sedikit uangnya untuk bisa membantu SMA SKO SMARD Lembata: “pola hidup orang di Polinesia Prancis itu seperti orang Eropa. Pendidikan, Kesehatan, bahkan para penganggur pun dapat gaji dari pemerintah. Karena itu mereka juga prihatin kalau ada di bagian dunia lain seperti di Lembata membutuhkan pertolongan dan karena itu mereka bisa memberikan dengan senang hati”, demikian tutur Pater Ferry dalam sebuah wawancara jarak jauh, Sabtu 19/2/2022.
Hal itulah yang ia sampaikan kepada orang Tahiti. Ketika mereka mendengar bahwa di SMARD butuhkan meja pingpong, mereka pun membantunya segera dan Pater tidak ingkar bahwa bisa saja masih ada bantuan lagi ke depannya: “Kali ini satu meja pingpong. Siapa tahu ke depannya, masing ada orang lain lagi yang bisa menambah satu meja lagi. Sekarang lagi pandemi sehingga kita coba manfaatkan apa yagn ada”, demikian pastor asal Atawolo Lembata yang pernah melewati pendidikan di Seminari Hokeng.
Ingat ‘dari mana berasal’
Saat ditanya, mengapa memiliki kepedulian terhadap pendidikan, Pater Ferry menarik napas panjang. Ia lalu membuka pembicaraan bahwa ia tidak lupakan dari mana ia berasal. “Saya selalu ingat tempat di mana saya berasal dengan segala kekurangan dan kelebihan. Saya rasakan dulu bahwa keluarga saya sederhana. Kalau hanya andalkan keluarga saja pasti tidak akan sampai begini. Banyak orang yang telah membantu dan mengantar saya hingga menjadi misi dan bekerja di Polinesia Prancis saat ini”, demikian tuturnya.
Lanjutnya, “kesederhanaan, ketulusan, bantuan, yang saya terima selalu saya ingat. Saya tidak akan lupakan. Karena itu ketiak ada rezeki atau ada kesempatan bicara dengan umat, saya bisa titipkan pesan mereka agar mereka pun bisa membantu. Jadi bukan saya bantu tetapi saya hanya menjadi jembatan untuk bisa menyampaikan apa yang dibutuhkan orang lain”.
Menurut Pater Ferry, apa yang dilakukan itu sebenarnya bukan hal yang besar. Ia selalu diingatkan akan kata-kata Yesus “kamu sudah menerimanya dengan cuma-cuma, berilah pula dengan cuma-cuma” (Mat 10,8). Kita telah menerima semuanya dengan gratis dan dengan gratis pula kita bisa memberi.
Sikap menerima dengan cuma-cuma juga dirasakan di saat-saat awal injakan kaki di negara bekas Perancis sejak 1880 dan kemudian menjadi negara di luar Perancis (1957-2003). Saat itu ia tidak tahu sama sekali bahasa Perancis tetapi orang-orang dengan sabar menuntunnya sehingga menjadi sampai sekarang dapat menguasai baik bahasa Perancis dan bahasa Tahiti.
Penerimaan itu kemudian dikembalikan ke umat Tahiti dalam bentuk pengabdian dan pelayanan. Dalam wawancara itu beberapa kali Pater Ferry begitu merendah dengan ungkapan bahasa daerah yang sangat mendalam: “Do ter ate kerumek, meigehe debe le ke te tule har-hare no orehe wujei” (Kita ini orang sangat sederhana, kecil karena itu hanya bisa buat baik dan tulus”.
Harus Sekolah
Berbicara tentang sekolah, pater Ferry yang sejak beberapa tahun terakhir dipercayakan menjadi regional (setingkat provincial kongregasi) untuk para misionaris SS.CC di Polinesia Perancis mengungkapkan bahwa pendidiakn sangat penting. Sebagai anak dari kampung yang bisa bermisi di luar negeri dan mendapatkan kepercayaan sebagai pimpinan, ia sangat sadar pentingnya pendidikan. Karena itu kepada siapapun yang berkehendak baik, ia selalu berusaha untuk mengembangkan pendidikan.
“Saya sangat mendukung kalau ada anak-anak yang mau sekolah. Kalau mereka sungguh-sungguh dan menunjukkan prestasinya, maka jalan akan selalu terbuka. Lebih lagi kalau orang senang bertanya, ia akan mendapatkan jalan”, demikian pastor tuturnya. Lanjutnya, pastor yang pernah belajar di Universitas Parahyangan Bandung berucap: “minimal kita terus berusaha tanap kenal lelah dan orang lain akan melihat kesungguhan kita akan membantu”.
Hal seperti ini yang ia sampaikan kepada siswa-siswi SMA SKO SMARD. Melalui WA group dan pemberitaan di medsos, Pater Ferry melihat kerja keras anak-anak untuk berprestasi di tengah kesederhanaan. Baginya, kesederhanaan itu bisa jadi tantangan sekaligus peluang.
Ia pun berharap bahwa para guru terus bersemangat membawa anak-anak mencapai rpestasi. Juga berharap agar nilai-nilai 5K dalam Koker (Kejujuran, Komitmen, Kepedulian, Kontribusi dan Kolaborasi) yang menjadi pijakan nilai Yayasan Koker, terus dihidupi, demikian tuturnya sambil meminta maaf karena wawancara harus diputus berhubung ada pertemuan para provincial /regional SS.CC seluruh dunia, sambil dari ujung telepon hanya bisa berucap “Merci beaucoup”, terimakasih. (Team Humas Koker).