Oleh Ignas Kleden
I
Membicarakan kedudukan seni dalam hubungannya dengan civil society merupakan suatu tantangan yang tidak mudah dijawab, juga pada kesempatan ini. Tantangan ini telah saya terima sebagai sebuah penugasan dari Dewan Kesenian Jakarta, meskipun saya tidak terlalu paham mengapa tema ini dijadikan pokok pidato kebudayaan pada hari ini. Tugas ini telah saya terima semata-mata karena pertimbangan bahwa kesenian sebagai suatu sektor penting dalam kebudayaan, dapat dijadikan contoh soal untuk melihat masalah yang lebih besar yaitu hubungan kebudayaan dan civil society.
Sebagai titik-tolak dapatlah dikatakan begitu saja bahwa kesenian dan setiap ekspresi seni, pada dasarnya, adalah ekspresi pribadi seorang seniman, yang sangat personal sifatnya. Tentu saja seorang seniman menerima pengaruh dari lingkungan hidupnya, dan terlibat dalam pergaulan dengan berbagai pihak dalam suatu masyarakat. Tiap-tiap lingkungan mungkin saja memberikan pengaruh tertentu kepada seniman, dan dari pergaulannya dengan berbagai pihak muncul rangsang yang berbeda-beda yang menyentuh sensitivitas seniman tersebut. Namun demikian segala pengaruh dan bebagai rangsang itu mengalami proses pencernaan mental dalam diri seorang seniman, sehingga terhadap setiap pengaruh dan rangsang dari luar, seorang seniman dalam ekspresinya, selalu memberikan suatu respons yang personal dan unik. Patut ditambahkan, hal ini bukanlah sesuatu yang hanya terdapat pada diri para seniman. Setiap orang, setiap individu, akan memberikan respons yang bersifat pribadi kepada suatu stimulus dari luar. Namun yang khas pada seorang seniman ialah bahwa respons pribadi itu selalu merupakan sebuah respons yang artistik sifatnya, yang tidak selalu bisa diberikan oleh seorang yang bukan seniman.
Terhadap tekanan politik dan ancaman penjara, para aktivis yang berani bisa menyatakan perasaan tak takut atau sikap tak gentar. Tetapi tidak setiap orang bisa menyatakannya dengan artistik seperti yang dilakukan oleh Rendra ketika dia berkata:
Sebuah sangkar besi / tidak bisa mengubah seekor rajawali / menjadi seekor burung nuri.
Rajawali adalah pacar langit /dan di dalam sangkar besi / rajawali merasa pasti / bahwa langit akan selalu menanti
(kutipan dari “Sajak Rajawali”) (1).
Secara umum sebuah ekspresi artistik akan tergantung sekurang-kurangnya pada dua kondisi. Yaitu otentisitas pesan yang disampaikan, yang mempersyaratkan penghayatan pribadi secara intens terhadap suatu soal, dengan melibatkan berbagai seluruh kemampuan mental seseorang, lebih dari sekedar olah pikir atau olah rasa, sehingga sebuah pesan menjadi ungkapan seluruh kepribadian. Kedua, orisinalitas medium penyampaian, yaitu suatu cara penyampaikan yang unik, yang hampir tak mungkin diubah atau ditransposisikan ke dalam bentuk penyampaian lain atas cara yang sama indah dan sama kuatnya.
Dengan uraian pendahuluan ini saya ingin mengatakan bahwa seni pada dasarnya hidup dan berkembang dalam suatu ruang pribadi yang privat sifatnya, dan bukan produk suatu ruang publik. Muncul masalah di sini, bagaimana menghubungkan seni yang merupakan atribut ruang privat dengan civil society yang merupakan ruang publik? Atau dapatkah kita berpikir sebaliknya, bahwa ruang publik dapat menghasilkan suatu jenis kesenian yang lain dari yang kita kenal?
Dari satu segi ruang privat perlu dipertahankan dan dipelihara karena ruang ini merupakan tempat kebebasan pribadi digarap dan diolah, dan menjadi benteng yang melindungi kebebasan seseorang dari campurtangan yang berlebihan dari pihak negara mau pun intervensi lembaga-lembaga sosial. Dia merupakan tempat seseorang mengolah cita-cita hidup sesuai dengan impian, keinginan dan selera pribadinya. Para ahli mengatakan bahwa ruang privat menjawab pertanyaan tentang hidup yang baik atau “the question of good life”. Termasuk di sini keinginan yang berhubung dengan kehidupan cinta dan pandangan religius serta cita-cita spiritual, selera makan dan pandangan tentang kebersihan dan kesehatan, cara berpakaian, cita-cita tentang tempat tinggal, dan selera estetik dan apresiasi kesenian. Semua hal tersebut terdapat dalam ruang privat diatur dan diselenggarakan berdasarkan nilai-nilai budaya.
Sebaliknya, ruang publik yang kita namakan civil society adalah tempat di mana keadilan dipertahankan dan dibela. Ruang ini hadir untuk menjawab pertanyaan yang berhubung dengan “the question of justice”, dan diatur oleh hukum negara. Hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum mempunyai tujuan agar setiap orang memperoleh keadilan yang menjadi haknya, dengan kewajiban pada orang lain untuk menghormatinya. Keadilan menjadi faktor yang membuat masing-masing orang mendapat tempat dalam suatu kehidupan bersama, di mana kebebasan seseorang tidak melanggar atau mengorbankan kebebasan orang lain (2).
Dengan demikian, berlaku hemat dan menabung penting sekali untuk kehidupan yang aman secara ekonomis, tetapi tiap orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukannya, tanpa mereka bisa dipaksa oleh negara. Akan tetapi membayar pajak adalah sesuatu yang berhubung dengan keadilan, berupa kewajiban kepada kehidupan umum, yang diatur oleh hukum positif, dan dapat dipaksakan oleh negara. Demikian pun mendidik anak dalam keluarga dengan disiplin dan kasih sayang, merupakan persiapan pertama untuk pembentukan warga negara yang matang, mandiri dan bertanggungjawab. Namun demikian, pendidikan anak adalah urusan domestik keluarga, dan termasuk dalam ruang privat. Negara atau lembaga sosial tidak dapat memaksa suatu keluarga mendidik anak-anaknya atas cara yang dipaksakan dari luar. Namun demikian, kekerasan kepada anak oleh orang tuanya, dapat menimbulkan reaksi publik dan campur tangan negara, karena di sana ada pelanggaran terhadap hak seorang anak untuk mendapatkan protective security. Pada titik inilah terdapat suatu perbedaan hakiki antara negara demokratis dan negara-negara totaliter yaitu bahwa demokrasi memberi ruang bagi ruang publik dan ruang privat, sementara sistem totaliter melindas ruang privat dan hanya mengakui ruang publik (3).
Seterusnya, dalam suatu ruang politik, kehidupan bersama diatur bukan saja oleh hukum tetapi oleh kekuasaan yang ada pada negara. Tidaklah mengherankan bahwa ahli sosiologi seperti Max Weber mengatakan bahwa negara ditandai oleh satu-satunya hak istimewa yang tidak ada pada lembaga lainnya, yaitu monopoli untuk mempergunakan kekerasan atas cara yang legal (4). Di samping negara tidak ada lembaga lain mana pun yang dibenarkan menyelesaikan suatu soal dengan memakai kekerasan. Hak untuk memakai kekerasan ini ada pada negara agar dia dapat memaksakan ketundukan tiap orang terhadap hukum yang berlaku (5)
Secara tipologis kita bisa mengatakan bahwa dalam ruang privat seseorang mengembangkan dirinya menjadi individu, menjadi pribadi dan menjadi anggota suatu komunitas, dalam ruang publik dia mengembangkan dirinya menjadi warga suatu negara, dan dalam ruang politik dia menjelma menjadi rakyat suatu pemerintahan yang syah.
Hubungan di antara ruang publik dan ruang politik atau di antara civil society dan negara bersifat regulatif, karena kekuasaan yang ada pada negara dan monopoli penggunaan kekerasaan yang dimiliki negara, harus tunduk kepada pengaturan dan pembatasan oleh hukum positif. Sebaliknya, hubungan di antara ruang politik dan ruang privat atau antara negara dan komunitas-komunitas budaya, bersifat subsidiair. Negara diijinkan masuk dalam ruang privat apabila dibutuhkan bantuannya. Kalau para seniman memerlukan sebuah pusat kesenian, negara dapat diminta bantuan untuk mengadakannya, tetapi negara tidak dibenarkan memaksakan pembangunan sebuah pusat kesenian karena kebetulan ada dana untuk itu, apalagi memaksa para seniman agar memanfaatkan gedung kesenian dan fasilitas yang telah disiapkan oleh negara, atas cara yang ditentukan oleh negara.
Adalah menarik bahwa hubungan di antara ruang privat dan ruang publik atau di antara komunitas-komunitas budaya dan civil society, bersifat sangat kreatif. Sudah jelas bahwa ruang publik diatur juga oleh nilai-nilai publik, seperti persamaan, keadilan, transparansi dan akuntabilitas. Namun demikian, munculnya ruang publik tidak dengan sendirinya, dan tidak harus menjadi saingan yang menggeser atau menggusur adanya ruang privat dalam komunitas-komunitas budaya. Hal ini dimungkinkan karena hampir semua nilai yang diterima dalam ruang publik dan kemudian berlaku di sana, diambil dari komunitas-komunitas budaya dan kemudian ditransformasikan menjadi nilai publik, setelah semua atribut dan nomenklatur yang bersifat komunal ditanggalkan, sambil substansi nilai itu tetap dipertahankan. Ini perlu dilakukan supaya suatu diskusi publik dapat dilakukan.
Sebuah analogi kiranya dapat menjelaskan hal ini. Bahasa Indonesia telah diresmikan sebagai bahasa nasional, sedangkan bahasa itu diambil dari bahasa Melayu Riau yang sejak berabad-abad berfungsi sebagai lingua franca. Kita tahu, suatu bahasa menjadi lingua franca kalau bahasa itu digunakan sebagai sarana komunikasi tetapi tidak berperan lagi sebagai penunjuk identitas suatu kelompok orang. Seseorang yang fasih berbahasa Inggris dewasa ini, tidak dengan sendirinya berasal dari San Fransisco atau Liverpool. Atau seorang profesor yang memberi kuliah dalam bahasa Spanyol tidak harus berasal dari Madrid. Inilah rupanya sebab yang jarang diungkapkan, mengapa bahasa Melayu dengan mudah diterima sebagai bahasa nasional karena bahasa itu tidak lagi menjadi representasi suatu identitas etnis tertentu, dan telah menjadi sarana komunikasi di antara berbagai kelompok etnis sejak ratusan tahun. Lain halnya kalau bahasa Jawa, bahasa Sunda atau bahasa Bugis diusulkan sebagai bahasa nasional. Mungkin timbul lebih banyak kontroversi dan pertentangan karena bahasa-bahasa besar itu menunjuk dan menjadi penanda suatu identitas etnis tertentu, yang mungkin sekali menimbulkan penolakan dari kelompok etnis lainnya.
Atas cara yang sama kita bisa berbicara tentang nilai-nilai publik. Apabila suatu komunitas budaya hendak menyumbangkan seperangkat nilai-nilainya ke dalam kehidupan publik, maka atribut-atribut dan nomenklatur komunal perlu dihilangkan (tanpa menghilangkan substansi nilai yang dikandungnya) agar supaya nilai tersebut dapat dipahami dan diterima oleh kelompok lainnya, karena nilai publik itu telah menjadi suatu nilai bersama meskipun nilai-nilai itu telah lahir dan dikembangkan dalam suatu komunitas budaya tertentu. Etos kapitan perahu yang secara tradisional berlaku di daerah-daerah pesisir di Sulawesi, dilegitimasi oleh nilai-nilai budaya setempat, dan legitimasi itu dilaksanakan karena alasan-alasan sosial atau kosmologis yang berhubung dengan kebudayaan setempat (6). Namun demikian substansi etos itu dapat dibawa ke ruang publik, dan dapat diusulkan sebagai alternatif terhadap budaya politik Indonesia, yang umumnya diambil dari latarbelakang daerah pertanian. Kecenderungan kepada pola kepemimpinan feodal, atau hubungan patron klien dalam politik Indonesia, jelas berasal dari latar belakang masyarakat dan kerajaan-kerajaan yang berdasarkan pertanian.
Sebagai alternatif terhadap kecenderungan tersebut etos kapitan perahu dapat diusulkan ke dalam diskusi dalam ruang publik, setelah segala alasan budaya yang menjadi dasar dari etos tersebut dan setelah nomenklatur yang bersifat komunal ditanggalkan. Karena pada dasarnya substansi etos itu – sekali pun tanpa disertai alasan-alasan budaya yang bersifat komunal — dapat diterapkan dalam politik Indonesia, sebagai negara dengan sifat maritim yang kuat. Ahli sejarah maritim, Prof. Adrian B. Lapian, pernah mengeritik penamaan Indonesia sebagai negara kepulauan, karena nama itu tidak menunjukkan aspek laut yang merupakan bagian terbesar dari negeri ini. Istilah kepulauan masih memperlihatkan orientasi ke daratan, sedangkan istilah negara kelautan lebih tepat menunjukkan watak negeri ini sebagai kawasan maritim.
Istilah ‘negara kepulauan’ merupakan padanan dalam bahasa Indonesia dari pengertian archipelagic state. Jika kita menyimak arti sesungguhnya dari kata archipelago, maka (menurut kamus Oxford dan Webster) kata ini berasal dari bahasa Yunani yakni arch (besar, utama) dan pelagos (laut). Jadi archipelagic state sebenarnya harus diartikan sebagai ‘negara laut utama’ yang ditaburi dengan pulau-pulau, bukan negara pulau-pulau yang dikelilingi laut. Dengan demikian paradigma perihal negara kita seharusnya terbalik, yakni negara laut yang ada pulau-pulaunya (7).
Dalam kaitan dengan negara kelautan, maka etos kapitan perahu dapat menunjukkan orientasi baru dalam budaya politik Indonesia. Pertama, dalam etos kapitan perahu, seorang pemimpin perahu tidak mungkin didrop begitu saja dari atas, tetapi harus bertumbuh dari bawah dan mencapai pengetahuan dan kematangan tertentu yang dipersyaratkan. Dropping tentu saja bisa dilakukan, akan tetapi risikonya akan sangat tinggi, karena kapitan perahu yang tidak menguasai pengetahuan tentang navigasi, alur pelayanan, arah angin, tanda badai, cara menetapkan arah perahu dengan membaca letak bintang, tidak akan sanggup membawa perahu dan penumpangnya sampai ke tempat tujuan, atau perahunya segera menabrak karang dan tenggelam. Ibaratnya, dia harus membawa perahunya dari Surabaya ke Makasar, tetapi perahunya terdampar di Cilacap.
Kedua, dalam etos ini diharuskan proses pengambilan keputusan yang cepat dan kemampuan mengoreksi keputusan dalam waktu singkat. Ketika menghadapi topan di tengah laut seorang kapitan perahu tidak bisa mengajak berunding para awak dalam musyarawarah selama dua tiga jam. Dia harus memutuskan dengan cepat, misalnya pada pukul 23.00 malam, dan kemudian kalau keputusannya terbukti keliru, dia harus mengoreksinya pada pk. 23.05. Keragu-raguan dalam mengambil keputusan, dan kelambanan atau keengganan untuk mengoreksi keputusan yang salah akan berakibat fatal bagi keselamatan perahunya dan hidup para penumpang perahu.
Ketiga, dalam menghadapi bahaya karamnya perahu maka seorang kapitan perahu akan menjadi orang terakhir yang meninggalkan perahu, setelah penumpang lain mendapat kesempatan menyelamatkan diri atau mendapat pertolongan yang semestinya. Secara tradisional dia dilarang meninggalkan perahunya apabila masih ada penumpang yang membutuhkan pertolongan. Tentu saja seorang kapitan perahu bisa juga ketakutan menghadapi bahaya dan dapat meluputkan dirinya sebelum penumpang lainnya selamat. Akan tetapi hal itu akan merupakan aib yang diceritakan turun-temurun di kampung halamannya, dan turunannya harus menanggung malu untuk waktu yang lama, karena ada kapitan perahu yang demikian pengecut menyelamatkan diri sambil meninggalkan penumpang perahu terkatung di tengah laut, dihempas ombak dan meninggal ditelan badai.
Tentu saja lukisan tersebut lebih merupakan tipe ideal atau ideal types dalam pengertian Max Weber, yaitu suatu tipe yang dilukiskan dalam kesempurnaan logisnya, sebagai referensi normatif bagi apa yang sesungguhnya terdapat dalam kenyataan empiris. Jadi ada kapitan perahu yang sangat dekat dengan tipe ideal dan ada pula yang sangat jauh dari tipe ideal tersebut, tetapi kita mempunyai pegangan tentang bagaimana seorang kapitan perahu harus berlaku dan bertindak apabila dia berada dalam kondisi ideal untuk menjalankan tugasnya.
Apa yang dikemukakan di sini tentang etos kapitan perahu, dapat menjadi ilustrasi bahwa seperangkat nilai yang dikembangkan dalam suatu komunitas terbatas, dan dilegitimasi dengan alasan-alasan budaya dalam komunitas itu, dapat ditransfer dan diterapkan di ruang publik, asal saja segala alasan dan atribut yang bersifat komunal telah ditanggalkan (agar supaya dapat dipahami oleh publik yang lebih luas), sambil tetap dipertahankan substansi nilai yang dapat diterapkan juga di luar komunitas itu.
Contoh lain yang mungkin lebih aktual bagi kita adalah masalah hak asasi manusia. Saya yakin bahwa tiap agama dapat mengajukan alasan yang diambil dari ajaran teologinya untuk membenarkan penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan kewajiban tiap orang membela hak tersebut. Akan tetapi dalam debat di DPR atau dalam proses di pengadilan tentang pelanggaran HAM orang tidak bisa lagi mengajukan alasan-alasan teologis dari agamanya masing-masing untuk membela pendapatnya. Karena alasan-alasan teologis termasuk dalam ruang privat tiap agama, sedangkan pengadilan negara mengharuskan suatu rujukan bersama kepada hukum positif.
Namun demikian pentingnya HAM dan sikap militan para aktivis HAM dalam membela hak ini dapat diterangkan dengan latarbelakang religius dari mana paham itu telah mendapat inspirasinya (8). Untuk mengambil sebuah contoh, dalam tradisi kebudayaan Barat yang Kristen, ada teologi yang mengakar kuat bahwa tiap orang diciptakan seturut citra Allah, imago Dei, das Bild Gottes, atau the image of God. Dalam teologi ini dianut kepercayaan bahwa citra Tuhan itu adalah sesuatu yang suci yang tetap ada dalam diri seseorang, sekali pun dia seorang pencuri, pembunuh, atau seorang yang tidak percaya lagi kepada Tuhan. Kesucian citra ini dalam diri tiap orang tetap harus dihormati karena dua alasan. Pertama, citra itu diberikan oleh Tuhan sendiri dan bukan prestasi orang bersangkutan. Kedua, citra itu tetap hadir dalam diri tiap orang dengan seluruh kesuciannya, meskipun seseorang melakukan perbuatan kriminal yang ekstrim. Setelah mengalami proses sekularisasi yang panjang, konsep citra Tuhan ini tidak begitu kedengaran lagi di Barat, tetapi diganti oleh konsep martabat manusia, yang menjadi sumber segala hak asasi manusia. Nilai yang semula bersifat privat dalam suatu kelompok agama telah menjadi nilai publik dalam civil society.
II
Pandangan bahwa seni termasuk dalam ruang privat, mencapai puncaknya dalam paham dan slogan “seni untuk seni” (art for art’s sake). Paham ini telah muncul dalam kalangan seniman di Barat, dan harus dilihat kemunculannya dalam hubungan dengan perkembangan kebudayaan di Barat juga. Semenjak zaman pertengahan, kehidupan dalam masyarakat Barat praktis dikuasai oleh kendali teologi Kristen katolik, yang ada dalam monopoli gereja Roma katolik. Seni dalam pada itu berkembang sebagai sebuah bagian integral dari kehidupan keagamaan, dan mengabdi kepada keperluan-keperluan yang berhubung dengan pengembangan dan penyempurnaan ibadat. Kesenian, dan khususnya arsitektur Gotik misalnya menjadi dokumen visual tentang hubungan yang erat di antara teologi, kehidupan agama, dan seni. Gagasan tentang Tuhan yang transendental yang berada in excelsis, yaitu berada di tempat yang sangat tinggi, mendapatkan refleksinya secara arsitektural dalam garis-garis vertikal yang sangat dominan dalam arsitektur Gotik, sementara candi-candi katedral dibuat lancip dan runcing menusuk langit, dan mengesankan usaha menggapai sesuatu yang tak terjangkau dari bumi (9).
Ide tentang seni untuk seni adalah usaha pembebasan seni dari tugasnya sebagai kegiatan yang harus melayani tujuan lain di luar dirinya. Contoh tentang seni dan agama dalam abad pertengahan Eropa dan pembebasan dari fungsi keagamaan seni yang berlangsung semenjak renaisans, memperlihatkan kepada kita bahwa dua sektor yang berada dalam ruang privat (yaitu seni dan agama) dapat memperjuangkan otonominya masing-masing.
Persoalan yang menjadi perhatian kita hari ini adalah bagaimana hubungan yang wajar antara seni sebagai suatu sektor privat dengan masalah-masalah yang ada dalam ruang publik yang direpresentasikan dalam civil society. Pada titik ini pun seni dan khususnya sastra Indonesia memperlihatkan berbagai contoh yang menarik. Pertanyaan pertama adalah apakah suatu isu atau masalah publik harus menjadi rujukan dalam berkesenian? Tanpa perlu beragumentasi lebih panjang, dapatlah dikatakan begitu saja, bahwa paham ini jelas ditolak dalam kalangan seniman. Ketegangan dan bahkan permusuhan antara seniman bebas dan seniman Lekra pada tahun-tahun 1950-an hingga 1960-an patut dicatat sebagai pengalaman yang harus dipelajari dalam sejarah sastra Indonesia, bukannya dihapuskan dari memori kolektif bangsa kita.
Puisi misalnya tidak harus ditulis untuk mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat atau perbaikan kesehatan ibu dan anak. Akan tetapi terhadap isu keadilan dan kemiskinan, sastrawan Indonesia memperlihatkan sikap yang berbeda. Penyair Rendra misalnya dengan tegas mengatakan bahwa sekalipun seni umumnya dan sastra khususnya, harus dikembangkan berdasarkan disiplin artistik, namun dalam pesan yang disampaikannya, seni dapat dan bahkan harus memberi respons kepada masalah keadilan, pemerintahan yang bersih, atau pendidikan nasional yang merupakan sektor-sektor publik. Pendapat ini mempunyai dasar dalam paham Rendra, bahwa seorang seniman bukanlah seorang yang cukup bermewah-mewah dengan segala yang indah, tetapi bertugas memberi kesaksian tentang zamannya. Atau dalam kata-kata Rendra sendiri:
Aku mendengar suara / jerit hewan yang terluka. / Ada orang memanah rembulan / ada burung terjatuh dari sarangnya. / Orang-orang harus dibangunkan. / Kesaksian harus diberikan / agar kehidupan bisa terjaga (10).
Meski pun demikian dalam memberikan kesaksian ini seniman tetap berpegang pada disiplin artistik yang dimungkinkan dalam dunia seni. Tentang keterlibatannya dalam masalah-masalah publik ini Rendra berkata dalam sebuah sajaknya:
Gunung-gunung menjulang / langit pesta warna di dalam senjakala / Dan aku melihat / protes-protes yang terpendam / terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya, / tetapi pertanyaanku / membentur jidat penyair-penyair salon,/ yang bersajak tentang anggur dan rembulan, / sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya, / dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan / termangu-mangu di kaki dewi kesenian
(kutipan dari “Sajak Sebatang Lisong”) (11).
Apa yang dinamakan disiplin artistik rupanya mirip fungsinya dengan metode dalam berkesenian. Ini ada konsekuensinya yang berat buat seniman sendiri. Sebagai perbandingan, dalam ilmu-ilmu sosial berlaku asas bahwa tidak semua masalah sosial dapat diteliti dengan satu macam metode (misalnya statistik atau survei). Apa yang akan menentukan metode yang digunakan adalah masalah yang hendak diselidiki dalam suatu penelitian. Jadi bukan metode yang menentukan masalah yang diteliti, tetapi masalah penelitianlah yang menentukan metode apa yang sebaiknya dipergunakan, ibaratnya orang memukul paku dengan martil, tetapi mencabut paku dengan sebuah tang.
Asas ini diterapkan Rendra dalam konsepnya tentang disiplin artistik. Menurut dia. pekerjaan seorang penyair (atau seniman pada umumnya) menjadi berat, karena dia harus cukup sensitif menangkap masalah zamannya dan memberi kesaksian pribadi tentang masalah tersebut, dan sekaligus dituntut menguasai format artistik yang tepat dan sesuai dengan tuntutan pesannya. Demikianlah, untuk melukiskan pengalaman dan kepekaannya terhadap alam, Rendra merasa cukup memakai simbolisme dan imaji-imaji yang diambil dari tembang-tembang Jawa, yaitu sajak-sajak yang kemudian terhimpun dalam Kakawin Kawin dan Masmur Mawar. Tentang pengantinnya dia berkata:
Awan bergoyang, pohonan bergoyang / antara pohonan bergoyang malaikat membayang / dari jauh bunyi merdu lonceng loyang
Sepi syahdu, / madu rindu, / candu rindu,/ gairah kelabu / rebahlah, sayang, rebahkan wajahmu ke dadaku
Langit lembayung, pucuk-pucuk daun lembayung / antara dedaunan lembayung bergantung hati yang ruyung / dalam hawa bergulung antara mantra dan tenung
(Dari sajak “Nina Bobok Bagi Penganten”) (12).
Pada tahapan berikut, khususnya ketika berada di New York, Rendra merasa terpanggil untuk memberikan suatu tes kepada moral umum yang berlaku dalam masyarakat. Untuk keperluan ini dia merasa simbolisme tidak memadai lagi, dan dia harus mencari format artistik lain yang didukung oleh filsafat antropologi dan pengalaman mistik. Disiplin artistik pada tahap ini dikembangkan dari kombinasi dan tegangan antara misteri dan ambiguitas, yang tampil dalam metafor-metafor yang surealistis sebagaimana terlihat dalam kumpulan sajak Blues Untuk Bonnie. Tentang seorang Negro tua yang bernyanyi dengan gitar dalam sebuah café di kota Boston, sambil berkisah tentang gubuk-gubuk tua orang Negro di Georgia, Rendra berkata:
Georgia, / Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya / istrinya masih di sana / setia tapi merana / anak-anak Negro bermain di selokan, / tak krasan sekolah. / Yang tua-tua jadi pemabuk dan pembual / banyak hutangnya / Dan di hari Minggu mereka pergi ke gereja yang khusus untuk Negro / Di sana bernyanyi / terpesona pada harapan akherat / karena di dunia mereka tak berdaya
Georgia. / Lumpur yang lekat di sepatu /
Gubuk-gubuk yang kurang jendela. / Duka dan dunia / sama-sama telah tua. / Sorga dan neraka / keduanya asing pula. / Dan Georgia? / Ya, Tuhan / Setelah begitu jauh melarikan diri / masih juga Georgia menguntitnya
(Dari sajak “Blues Untuk Bonnie”) (13).
Seterusnya antara 1971 dan 1978, menurut pengakuannya sendiri, Rendra memusatkan perhatian pada soal-soal sosial-ekonomi dan sosial-politik, untuk memberikan suatu tes kepada relevansi politis dalam kehidupan publik. Dia menulis beberapa sajak sosial-politis yang kemudian dikumpulkan dalam kumpulan sajak Potret Pembangunan Dalam Puisi dan juga dalam Orang-Orang Rangkasbitung. Untuk keperluan ini dia merasa peralatan estetik dalam metafor-metafor surealistis tidak memadai lagi dan dia mencari format artistik baru melalui analisa struktural ilmu sosial, dan mencoba menggarap metafor-metafor yang lebih grafis dan plastis. 14 Dalam melukiskan perjuangan cinta antara Saijah dan Adinda, plastisitas itu tampil dalam format yang mendekati taraf ideal:
Adinda! Adinda! / Kemiskinan telah memisahkan kita / sepuluh tahun menahan dahaga asmara / alangkah sulit cinta di zaman edan, / di dalam hidup penuh ancaman. / Semua hak dianggap salah. / Tak punya apa-apa dianggap sampah / Alangkah hina orang yang kalah. / Meskipun miskin tanpa daya / aku toh harus berupaya / karena takut gila / dan dosa
(Dari sajak “Nyanyian Saijah untuk Adinda”) (15).
Respons seni terhadap masalah publik tidak selalu mudah dilakukan karena ada tuntutan yang lebih tinggi kepada para seniman, untuk selalu mencari disiplin artistik dan format estetik yang dapat mendukung pesan yang hendak disampaikan. Kesulitan besar akan muncul kalau seorang penyair misalnya, hanya menguasai satu bentuk pengucapan, satu disiplin artistik, dan memaksakan disiplin tersebut sebagai sarana untuk menyampaikan berbagai pesan yang berbeda wataknya. Dalam kasus Rendra, simbolisme yang berhasil mengungkapkan pergaulan penyair dengan alam, barangkali akan menjadi gagap kalau dipaksakan juga menjadi sarana untuk mengekspresikan kesadaran sosial atau kesadaran politis.
Kita bertanya: mengapa gerangan seorang penyair perlu melibatkan dirinya dalam masalah-masalah publik yang muncul dalam civil society dan masalah kekuasaan yang muncul dalam politik? Dalam paham Rendra, ini harus dilakukan karena perlu dilakukan dan dapat dilakukan oleh kesenian, meskipun dia tidak banyak menguraikan mengapa hal ini ini perlu dan dapat dilakukan.
Dalam pandangan saya, seni dapat memainkan peranan penting dalam memberi respons kepada isu-isu publik sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, kita mengetahui bahwa baik dalam ruang privat maupun dalam ruang publik selalu ada nilai-nilai yang menjadi pegangan. Namun demikian, realisasi nilai-nilai itu terlaksana melalui berbagai pranata yang melembagakan suatu nilai. Nilai-nilai demokrasi diwujudkan dalam lembaga-lembaga politik seperti Pemilu, DPR, dan kebebasan pers, atau nilai keadilan diwujudkan dalam lembaga-lembaga peradilan. Namun demikian, kesulitan selalu timbul karena hubungan di antara nilai dan lembaga yang mengejawantahkannya bersifat asimetris.
Maka nilai hanya dapat diwujudkan melalui suatu pranata (sebagaimana cinta lelaki perempuan diwujudkan dalam lembaga perkawinan), tetapi adanya suatu pranata tidak dengan sendirinya merealisasikan nilai yang direpresentasikannya (seperti juga tidak setiap perkawinan menjadi tempat penjelmaan cinta lelaki dan perempuan). Pemilu merepresentasikan hak rakyat untuk menentukan sistem pemerintahannya, tetapi pelaksanaan Pemilu tidak dengan sendirinya mewujudkan hak rakyat tersebut (misalnya karena penggunaan pemaksaan dalam pemberian suara, atau karena rakyat dipikat dengan sejumlah uang sogok untuk mendapatkan suara yang diinginkan). Lembaga pengadilan merepresentasikan nilai keadilan, tetapi tidak setiap lembaga pengadilan merealisasikan keadilan bagi para pencari keadilan sebagaimana mestinya, apalagi kalau lembaga-lembaga itu sudah dikuasai oleh semacam jaringan mafia peradilan.
Kedua, setiap orang yang menggunakan pengamatannya dengan cermat dapat melihat kesenjangan antara nilai dan lembaga yang mengejawantahkannya. Namun demikin, ketajaman dalam melihat dan merasakan kesenjangan itu ada secara khusus dalam diri para seniman, Ini bukan karena para seniman lebih saleh, lebih sadar hukum, atau lebih berkomitmen terhadap transparansi, tetapi karena dalam menciptakan karya-karya kreatif yang berhasil, para seniman harus memenuhi tuntutan otentisitas pesan yang hendak disampaikan , dan orisinalitas ekspresi dalam pengungkapan pikiran dan perasaan. Otentik berarti bahwa suatu pesan yang diungkapkan, merupakan hasil pergulatan pribadi yang intens dan total, dan bukan sekedar buah pikiran intelektual atau letupan entusiasme emosional.
Pesan yang otentik berbeda dari pesan yang benar, karena kebenaran pesan diukur berdasarkan kesesuaian antara apa yang dikatakan dan apa yang ditunjuk oleh oleh pesan bersangkutan, sedangkan otentisitas ditentukan oleh kesesuaian antara apa yang dikatakan dan keyakinan serta penghayatan orang yang mengatakannya. Demikian pun orisinalitas berarti bahwa cara mengungkapkan suatu pesan, mencerminkan hasil suatu perjuangan khusus untuk mendapatkan bentuk penyampaian yang unik. Keistimewaan sebuah karya seni ialah bahwa baik isi pesan maupun bentuk penyampaiannya sekaligus merupakan pancaran kepribadian seorang seniman yang memperlihatkan secara ideal keunikan tiap pribadi manusia dan kemampuan tiap pribadi menyampaikan satu aspek kenyataan hidup secara khas.
Tidak mengherankan bahwa para seniman akan sangat peka terhadap segala pesan, juga pesan dan pernyataan yang disampaikan dalam ruang publik dan bahkan dalam ruang politik (misalnya janji politik untuk lebih memperhatikan pendidikan atau pernyataan mengenai kesejahteraan rakyat). Pesan-pesan dan pernyataan tersebut akan diuji berdasarkan kriteria seniman dalam menilai sebuah karya seni, yaitu otentisitas peryataan, dan orisinalitas ekspresi. Sebuah pernyataan yang tidak otentik, hampir dengan sendirinya tidak mencerminkan pikiran dan perasaan orang yang mengucapkannya, mana pula komitmen pribadinya terhadap pernyataannya. Demikian pun sebuah pernyataan yang tanpa orisinalitas hanya merupakan replika ucapan orang lain, atau reproduksi slogan dan wacana umum, sehingga tidak mengesankan sebagai suatu ungkapan pribadi yang telah mengalami pergulatan dalam mencari bentuk ekspresi yang unik. Apa yang tidak otentik menjadi palsu, dan ekspresi yang tanpa orisinalitas menjadi kodian. Tentang kesenjangan ini penyair Rendra membuat semacam deklarasi dalam puisi:
Aku tulis pamplet ini / karena lembaga pendapat umum /ditutupi jaring laba-laba / Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk / dan ungkapan diri ditekan / menjadi peng-iya-an
Apa yang terpegang hari ini / bisa luput besok pagi / ketidakpastian merajalela / di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki / menjadi marabahaya / menjadi isi kebon binatang
(Dari sajak “Aku Tulis Pamplet Ini”) (16).
Dan tentang otentisitas pernyataan dan orsinalitas ekspresi Rendra berkata:
Apakah artinya janji yang ditulis di pasir? / Apakah artinya pegangan yang hanyut di air? / Apakah artinya tata warna dari naluri rendah kekuasaan? / Apakah artinya kebudayaan plastik dan imitasi ini?
(Dari sajak “Ketika Udara Bising”) (17).
Kesenjangan antara nilai dan wujud pengejawantahannya adalah jamak dalam kebudayaan. Akan tetapi seni tidak memberikan toleransi kepada diskrepansi ini karena otentisitas akan menuntut bahwa nilai harus dihayati secara total dan tuntas, dan diinternalisasi menjadi personal, sementara orisinalitas tidak berkompromi dengan imitasi, duplikasi, reproduksi dan pretensi. Semua ini tidak berhubung dengan moral umum, tetapi tetapi dengan moral pribadi, yaitu apa yang diyakini sebagai disiplin yang menjamin daya cipta. Namun demikian apa yang oleh kalangan seniman dikemukakan sebagai syarat estetik dapat menjadi referensi bagi kejujuran moral dan akuntabilitas politik.
III
Hubungan di antara ruang privat dan publik tidak selalu jelas, karena kedua bidang itu tidak merupakan dua medan yang terputus, tetapi bersambung secara dinamis. Hubungan itu menjadi kontroversi yang belum selesai sampai hari ini dalam bidang yang kita namakan ekonomi. Apakah ekonomi termasuk dalam ruang privat atau ruang publik?
Semenjak Adam Smith sudah dimaklumkan bahwa yang mengendalikan tingkahlaku ekonomi tidak lain dari kepentingan perorangan, kepentingan pribadi. Penjual roti membuka tokonya bukan untuk memberi makan kepada mereka yang membutuhkan, tetapi untuk mendapat untung bagi dirinya (18). Diandaikan bahwa bila setiap orang bekerja dan berjuang untuk kepentingan dirinya, maka ada tangan tersembunyi yang akan mengatur kepentingan-kepentingan pribadi itu sehingga menguntungkan semua orang. Campur tangan kebijakan publik apalagi intervensi politik dalam pasar, hanya akan mengakibatkan distorsi yang mengganggu kinerja invisible hands, dan pada giliran berikutnya mengganggu kepentingan bersama.
Untuk mempersingkat pembicaraan ini, dapat kita katakan bahwa ekonomi dapat dipandang sebagai ruang privat, tempat setiap orang mencari ikhtiar untuk menciptakan kehidupan yang baik, dan memberi jawaban kepada the question of good life yang menjadi tema dalam ruang privat. Namun demikian, dalam prakteknya impian Adam Smith tidak selalu menjadi kenyataan, karena kemakmuran suatu golongan acapkali tercipta karena golongan lain yang lebih besar disingkirkan dari akses ke sumber daya ekonomi. Pada saat itu muncul ketidakk-adilan, khususnya ketidak-adilan distributif, sehingga ekonomi menjadi persoalan keadilan, persoalan publik. Para ahli ekonomi sendiri sudah sejak lama mengakui bahwa apa yang dinamakan Pareto Optimal tidak pernah ada, yaitu keadaan di mana seorang mendapat keuntungan lebih banyak, tanpa menimbulkan kerugian pada pihak lain.
Dengan cara yang amat disederhanakan dapat dikatakan bahwa sejauh menyangkut kehidupan yang baik atau good life ekonomi termasuk dalam ruang privat, sedangkan sejauh menyangkut keadilan dan ketidak-adilan maka ekonomi masuk dalam ruang publik. Kita tahu, persoalan mengenai sifat privat dan publik dalam ekonomi sudah menjadi bahan perdebatan para ahli dari tahun ke tahun bahkan dari abad ke abad. Dalam negara-negara sosialis ekonomi seluruhnya menjadi masalah publik, sedangkan negara-negara demokrasi selalu berdebat tentang trade-off atau pergeseran antara ekonomi sebagai ruang privat dan ruang publik. Di Indonesia masalah itu menjelma menjadi debat tentang peran pasar dan peran negara dalam ekonomi, dan pilihan antara liberalisasi pasar sebagaimana diusulkan oleh Washington Consensus pada 1994 dan peran kebijakan publik dalam ekonomi. Sementara itu kalau kemiskinan belum menurun, lapangan kerja tetap sulit, dan harga barang terus naik, apakah hal ini harus dilihat sebagai kegagalan pasar atau kegagalan pemerintah?
Masalah ini berada di luar pokok pembicaraan hari ini, tetapi mempunyai implikasi tertentu terhadap persoalan seni dan civil society. Dari satu pihak sudah dikatakan bagaimana seni dapat merespons masalah-masalah dalam civil society. Masalah lain adalah apakah tema-tema kesenian mempunyai semacam akar sosial-ekonomi dan sosial politik, yang kemudian bertunas dan berkembang sebagai sebuah karya kreatif seni? Apakah seorang seniman, disengaja atau pun tidak, dinyatakan atau pun disembunyikan, memperlihatkan sesuatu yang menyangkut latarbelakang dan konteks konteks sosial-ekonomis dan sosial-politisnya, meski pun hubungan itu telah ditransformasi melalui sublimasi estetik dan sofistikasi artistik? Di antara pemikir-pemikir tersebut ada kesepakatan bahwa ada hubungan itu, ada semacam social underpinnings dari tiap karya seni. Masalahnya adalah bagaimana bentuk dan wujud hubungan tersebut? (19).
Filosof Adorno misalnya beranggapan bahwa bukan hanya karya seni tetapi tiap teori ilmu pengetahuan harus dipandang pertama-tama sebagai teori tentang masyarakat di mana teori tersebut diproduksikan. Namun demikian, dalam hal seni, sebuah karya bukannya menjadi pantulan atau refleksi keadaan sosial ekonomi dan sosial politis masyarakat, melainkan lebih menjadi antitesa terhadapnya dan berada dalam tegangan dialektis dengan masyarakatnya (20). Habermas dengan mengikuti rekannya Walter Benjamin berpendapat bahwa dalam masyarakat borjuis yang kapitalis banyak kebutuhan manusia yang berhubung dengan rasionalitas nilai (Wertrationalitaet) sudah tidak mendapat tempat yang pantas dan bahkan diperlakukan sebagai ilegal, karena tidak memenuhi tuntutan rasionalitas instrumental (Zweckrationalitaet) yang menjadi pedoman satu-satunya dunia industri yang kapitalis. Beberapa dari kebutuhan tersebut adalah pergaulan mimetis dengan alam, pergaulan dengan badan, keinginan untuk hidup solider dengan orang lain, serta keinginan untuk merasakan kebahagiaan menghayati pengalaman komunikasi yang tidak serba pragmatis. Semua ini kemudian tertampung dalam kesenian yang memberi tempat secara real atau secara virtual untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut (21).
Paham-paham filosofis dan sosiologis itu dapat ditarik implikasinya untuk kehidupan kesenian di Indonesia. Kalau setiap karya seni mempunyai semacam social underpinnings atau akar kemasyarakatan, maka kosekuensi apa yang dapat kita tarik dari sana?
Pertama, dapatkah dengan mendalami karya-karya seni di Indonesia, kita memperoleh suatu impresi bahkan pengetahuan mengenai perkembangan masyarakat kita, karena kesenian melalui sofistikasi estetis dan sublimasi artistik dapat mengungkapkan berbagai masalah sosial kita atas caranya sendiri, baik dengan menyatakannya maupun dengan menyembunyikannya? Kita tahu bahwa dalam simbolisme seseorang dapat menyatakan sesuatu dengan menyembunyikan, dan dapat menyembunyikan sesuatu dengan menyatakannya. Kedua, sekalipun karya seni dapat menjadi tempat konflik-konflik sosial ekonomi diungkapkan secara tersirat dan tersembunyi, apakah hal ini berarti bahwa seni dapat menjadi tempat seseorang menyembunyikan diri dan menghindari konflik-konflik sosial ekonomi, atau harus menjadi tempat orang mengungkapkan konflik-konflik tersebut sebagai bentuk tanggungjawabnya terhadap perkembangan yang ada dalam masyarakat?
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut hanya dapat diberikan oleh para seniman sendiri berdasarkan opsi pribadi yang mereka tentukan sendiri, dan berdaarkan penguasaan mereka terhadap masalah masyarakatnya dan ketrampilan mereka dalam menggunakan format estetik dan disiplin artistik yang mendukung pesan yang hendak disampaikan. Kita dapat berbahagia bahwa ada seniman-seniman kita seperti penyair Rendra telah menyatakan sikapnya secara gamblang, tanpa keraguan:
Orang-orang miskin di jalan / yang tinggal di dalam selokan / yang kalah dalam pergulatan,/ yang diledek impian, / janganlah mereka ditinggalkan
(Dari sajak “Orang-Orang Miskin”) (22).
Pesan penyair ini tentu saja tidak hanya tertuju kepada rekan-rekannya para seniman, dan khususnya para penyair Indonesia, tetapi kepada semua kita sebagai penghuni yang sah dari civil society yang bernama Indonesia.
Jakarta, 31 Oktober 2009
______________________________________
*Naskah Ini adalah Pidato Kebudayaan Ignas Kleden di Graha Budaya, Jakarta, 31 Oktober 2009
*Catatan kaki:
1.Kutipan dari Rendra, Perjalanan Bu Aminah (kumpulan sajak), Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1997 : 1.
2.Distingsi privat dan publik ini dibuat berdasarkan teori liberal sebagaimana diuraikan oleh Bruce Ackerman dalam bukunya Social Justice in the Liberal State (1980) yang dibahas oleh Seyla Benhabib “Models of Public Space: Hannah Arendt, the Liberal Tradition, and Juergen Habermas” dalam Craig Calhoun (ed.), Habermas And The Public Sphere, Cambridge – Massachusetts – London, The MIT Press, 1992 : 81 -85.
3.Peter Uwe Hohendahl, “The Public Sphere: Models and Boundaries”, dalam Craig Calhoun (ed.), op.cit.: 100 -101.
4.Max Weber menamakannya “das Monopol legitimer Gewaltsamkeit” atau monopoli penggunaan kekerasan secara legitim, sebagai hak istimewa negara di samping haknya menarik pajak. Lihat Max Weber, Wirtschaft und Gesellschaft, Tuebingen, J.C.B. Mohr, 1985 (1922) : 821 – 824.
5.Tentang pembagian ruang privat, ruang publik dan ruang politik lihat Juergen Habermas, Strukturwandel der Oeffentllichkeit, Darmstadt & Neuwied, Luchterhand Verlag, 1980 : 42 – 46.
- Konsep “kapitan perahu” dikemukakan oleh Prof. Mattulada berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukannya tentang budaya pesisir di Sulawesi.
- Adrian B. Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, Jakarta, Komunitas Bambu, 2009 : 2.
- T. S. Kuhn, seorang ahli sejarah ilmu pengetahuan, mengemukakan dalilnya bahwa suatu teori ilmu pengetahuan sering menimbulkan sikap militan dalam kalangan penganutnya untuk membelanya. Hal ini disebabkan karena selain isi empirisnya, ada semacam metaphysical underlay dalam setiap teori, yang berhubung dengan pandangan dunia dan pandangan hidup seseorang. Berubahnya sebuah teori ilmu pengetahuan dikuatirkan akan mengganggu pandangan dunia dan pandangan hidup seseorang. Lihat T. S. Kuhn, The Structure of Scientifc Revolution, Chicago, University of Chicago Press, 1962 : 58 -61.
- Dr. Wendelin Rauch & Dr. Jakob Hommes (ed.), Lexikon des Katholischen Lebens, Freiburg, Verlag Herder, 1952, sub voce “Kunst”.
- Kutipan diambil dari wawancara Hardi dan Rendra “Rendra: Saya Punya Mental Juara”, dimuat dalam Edi Haryono (ed.), Ketika Rendra Baca Sajak, Kepel Press, 2004 : 133 – 134.
- Rendra, Potret Pembangunan Dalam Puisi, Jakarta, Pustaka Jaya, 1993 : 34.
- Rendra, Empat Kumpulan Sajak, Jakarta, Pustaka Jaya, 1994 : 44.
- Rendra, Blues Untuk Bonnie, Jakarta, Burungmerak Press, 2008 : 18.
- Tentang perkembangan disiplin artistik baca uraian Rendra dalam Rendra, Mempertimbangkan Tradisi(diedit oleh Pamusuk Eneste), Jakarta, Gramedia, 1984 : 61 -70.
- Rendra, Orang-Orang Rangkasbitung, Depok, Rakit, 2001 : 32 – 33.
- Rendra, Potret Pembangunan Dalam Puisi: 31
- Rendra, Perjalanan Bu Aminah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1997 : 19.
- Kutipan yang sangat terkenal dari Adam Smith berbunyi: “It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest. We address ourselves, not to their humanity but to their self-love, and never talk to them of our own necessities but of their advantages”, Lihat Adam Smith, The Wealth of Nations, vol.I, London, J.M. Dent & Sons Ltd, 1957 : 13.
- Masalah ini telah saya bahas dalam tulisan saya yang lain tentang “Pergeseran Moral, Perkembangan Kesenian dan Perubahan Sosial”, dalam Ignas Kleden, Sastra Indonesia Dalam Enam Pertanyaan, Jakarta, Grafiti & Freedom Institute, 2004 : 367 – 403.
- Theodore W. Adorno, Aesthetische Theorie, Frankfurt a.M., Suhrkamp, 1977 : 19.
- Juergen Habermas, Kultur und Kritik, Frankfurt a.M., Suhrkamp : 318.
- Rendra, Potret Pembangunan Dalam Puisi: 82 82.