Kutitipkan Engkau pada Kwan Im
: Koko Ecan
Senja itu gagak hitam mengitari rumah kami
Suaranya parau kacau pupus hening
Hingga lembayung senja balik badan tak sudi
Sedangkan di sana awan hitam durjana menikmati
Halilintar pun menyambar
Tajam mengiris-iris kalbu
Hujan deras membasahi bumi
Seraya tangisan pilu kami yang membisu
Bayang-bayang hitam memenuhi segala sisi
Ia merebutmu dari kami
Kami berserah tiada harapan
Bagaimana mungkin kami menolak kehendak Tian
Kami lepas ragamu di tepi telaga sunyi
Melihatmu berjalan di atas teratai
Menuju angsa putih yang akan membawamu pergi
Kami pajang fotomu di altar agar kau ingat jalan kembali
Hanya hio di altar yang dapat menerangimu
Hanya lantunan paritta pelipur laramu
Engkau pergi sendiri tanpa ragu
Tinggalkan kami berbuah sendu
Kwan Im kau welas asih
Mengapa kau ambil dia, Kwan Im?
Apa karena kau terlalu menyayanginya?
Kami masih bisa merawatnya
Kwan Im mengapa kau hanya mematung?
Bukankah kau ingin semua makhluk berbahagia
Aku sedih dengan keputusanmu Kwan Im
Kwan Im tolong, kembalikan dia
Kwan Im kutitipkan dia kepadamu
Kami telah ikhlas dengan takdir ini
Tolong jaga dia seperti anakmu sendiri
Temani dia untuk duduk menunggu di sisi Tian
Kami titipkan dirimu pada Kwan Im
Jikalau nanti angsa putih itu membawamu kembali
Rumah kami selalu terbuka untuk di datangi
Semoga kita menyatu pada cerita di buku yang sama lagi
Yogyakarta, 6 September 2021
……………………………………………………………………….
Debu-debu Mesiu
antara Israel dan Palestina
Musim-musim telah berganti
Tetapi badai di kota sengketa itu tak kunjung berhenti
Debu mesiu bertebaran mengelilingi kota sengketa
Kota hidup tampak mati karena manusia tak nampak manusia
Burung camar hitam terbang kesana kemari
Dari ranting satu ke ranting lainnya membawa kabar duka nan pilu
Langit pun enggan tersenyum, ia nampak muram membisu
Bahkan ibu pertiwi tak mampu lagi menahan tetes air mata yang memecah
Dewa Bagaskara tak lagi ada harganya di tanah ini
Ia marah melihat bumi yang semakin merah
Ksatria Angin pun tak sudi lalu lalang
Kalpataru-kalpataru rindang kini semua telah mati!
Tiada lagi nyanyian alam nan resap, hanya dentuman besar nan pekak
Air hujan sudah tidak bening lagi di kota ini
Airnya keruh bercampur dosa dan derita
Mengalir ke hilir-hilir surga dan neraka dengan nestapa
Yogyakarta, 13 September 2021
……………………………………………………………….
Bidadari Muntah Darah
Merah saga telah terlelap
Kini gulita menyelimuti seluruh dunia
Bunga sedap malam gandanya menyebar
Ketika cahaya bulan menerangi semesta
Kumpulan dewa-dewi bintang menyebar di angkasa
Tetapi tidak mengobati sunyinya hati seorang bidadari
Hatinya tinggal separuh diiris sembilu
Dikantunginya sepotong lagi yang sudah membiru
Bidadari itu muntah darah
Putih suci gaunnya berubah menjadi merah
Disiksa ia dengan durjana
Oleh keparatnya seorang pria
Bidadari yang muntah darah itu kini pergi
Menepinya menuju telaga sunyi
Ia menerjunkan dirinya sendiri
Tenggelam ia bersama kisahnya yang rumit
Moyudan, 10 Oktober 2021
………………………………………………………………….
Kartu Pos untuk Kinanthi
Sore itu langit cerah
Tiada lawan warna jingganya nan indah
Warna jingga biasa perlambang bahagia, katanya
Pak Pos sedang bersepeda keliling desa
Tentunya dengan membawa tas surat yang khas
Kring-kring… kring-kring….
“Kinanthi”, pekiknya
Gadis itu berlari untuk menjemputnya
Ia nampak bahagia sesaat bingung
Pak Pos berdiri kaku
Mulutnya seakan ingin mengatakan sesuatu
Wajah Kinanthi sekejap pucat dan sayu
Kartu pos itu terpercik darah
“Kinanthi, bila kamu menerima kartu pos ini berarti aku telah mati”
“Tentara-tentara itu telah menembakku”
“Kartu pos ini kutulis sebelum kepergianku, jaga dirimu…”
“Batavia, 19 Desember 1912. Salam, Sumarni”
“Ibunda” teriaknya pilu.
Ia menangis tersedu-sedu
Ibunya pamit pergi ke pasar dan tak kembali sejak seminggu lalu
Ia menanti harap cemas tak pasti
Hanya nama yang kembali
Pak Pos masih berdiri kaku,
Perlahan ia mengurai kata
Kemarin ada wanita separuh baya, peluru menancap di dadanya
Dikawal tentara-tentara
Ia mengirim kartu pos, akhirnya pergi untuk selamanya
“Aku tak tau kemana tentara itu membawanya, tugasku hanya menyampaikan ini untukmu”
Pak Pos melanjutkan tugasnya
Kinanthi melanjutkan tangis pilunya
Tiada yang tahu atas dasar apa tentara menembaknya
Tiada yang tahu pula kemana pergi jasadnya
Hanya kartu pos berdarah yang tersisa
Moyudan, 10 Oktober 2021
………………………………………………………………….
Terluka
: A T L
Malam imlek yang bahagia aku terluka
Sangat dalam hingga darah pun tak tersisa
Bahkan rasa sakit tak ada
Mungkin ingin mati saat itu juga
Kulihat di langit ada banaspati
Ia seperti meringis menertawankanku
Matanya sinis menyumpahiku untuk mati
Tetapi masih kulihat langit warna biru
Tetapi pohon beringin itu menghantuiku
Kuntilanak di dahannya mengolok kisah masa laluku
Mendengar kisah itu Mak Lampir tertawa tiada malu
Sungguh, aku dikelilingi duka masa lampau
Dewa-dewa menasehatiku tentang neraka
Apa ini neraka dunia?
Tidak bisa berdamai masalalu adalah penyiksaannya?
Apakah rasa bersalah kutukannya?
Pergilah dari ingatanku,
Jika pergi dari hidupku engkau tak mampu!
Moyudan, 10 Oktober 2021
=======================================================
Tentang Penulis
Asti Li lahir dengan nama Asti Nurrahmatuti merupakan gadis etnis Tionghoa kelahiran 2003 saat ini menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Entah apa yang meracuni pikiran gadis sederhana ini sehingga mampu memutuskan untuk mengenal lebih jauh mengenai sastra di program studi Sastra Indonesia. Untuk mengenal Asti lebih lanjut bisa mengunjungi Instagram @steasti.li