Hyacinth
Burung berkicau pelan nan merdu
sinar surya menyelinap di balik kelambu
tanda hari baru telah datang hampiriku;
ingatkanku akan pagi nan riang
yang kini hanyalah tinggal kenang
Tak pernah terpikir olehku
bahwa jemariku tak sanggup
pertahankan dirinya disisiku.
Tak pernah terduga olehku
bahwa seteguk teh rosella akan mampu
membangkitkan senyum getirku
Tak mampu diriku sampaikan perpisahan,
dan tak tersisa lagi padaku setitik air mata
yang mampu kuteteskan untukmu.
Kini, yang tersisa padaku ialah
segenggam hyacinth ungu
yang menguarkan wangi lembut
dan terasa begitu hangat dalam dekapku.
Theresia Paskah,
September 14, 2021
——————————————
Pada sebuah musim di bulan April
Pada sebuah musim di bulan April
dituliskannya sajak hangat untuk sang terkasih;
dengan kerinduan yang membuncah di dada
tertuang segala jenis harap dan doa.
Pada sebuah musim di bulan April
dalam sebuah ruang kecil nan sempit;
semakin terputuslah tarikan nafasnya
tak sanggup tubuh rapuhnya pertahankan kesadaran.
Pada sebuah musim di bulan April
ketika tak mampu lagi ia pertahankan ketegarannya
beriringan dengan tetesan bening dari maniknya
ia mengukirkan senyum di bibir rapuhnya, berbisik:
“kini engkau telah bebas, tak perlu mengurus
seorang wanita tua renta sepertiku”.
Beriringan dengan berakhirnya satu musim di bulan April
maniknya perlahan menutup, kehangatan kian menguap darinya;
senyum tersungging di bibirnya,
tak ada penyesalan tersurat pada guratan wajahnya
meskipun tak ada seorangpun yang menemani.
Beriringan dengan berakhirnya satu musim di bulan April
Ia meninggalkan dunia dengan kesendirian
dalam ruang kecil nan sempit miliknya
dengan segenap rasa yang tertinggal dalam hatinya;
hanya satu yang berarti baginya dari sekian banyak yang tersisa:
sebuah sajak yang ia tulis pada penghujung musim semi.
Theresia Paskah,
October 7, 2021.
—————————————
Muak
Rasaku menggelora,
Karsaku membakar jiwa.
Inginku berseru,
Pada mereka yang tak acuh.
Inginku mengerang,
Pada mereka yang tak paham.
Tak bisakah sedetik saja,
Mereka katupkan bibir?
Tak bisakah sejenak saja,
Mereka kenakan kuping?
Hanya untuk menghargai,
Pihak lain yang juga bersuara.
Hanya untuk menghormati,
Pihak lain yang juga berkesah.
Namun, hanya sia-sia saja,
Kepala mereka sekeras batu.
Tak mau mencerna,
Hanya mau bertutur.
Theresia Paskah,
September 23, 2021.
————————————————
Kanvas Sang Pelukis
Ia menggoreskan kuas-Nya pada kanvas,
garis semu itu kini perlahan nyata,
biru, hijau, cokelat, penuh warna.
Guratan biru itu meluas,
membentang mulai Utara hingga Selatan.
Deburnya terdengar; meraung dengan keras,
berlomba-lomba menuju bibirnya.
Ia beralih pada ujung lain kanvas,
kuas-Nya bergerak menggores semu
tinta hijau itu; perlahan tapi pasti,
sapuannya kian nyata.
Gemerisik dedaunan terdengar dibalik
kicauan burung-burung kecil, serta
erangan dan auman satwa. Bunga-bunga
telah bersemi, wanginya semerbak,
menguar hingga sisi terdalam hutan.
Kini kuas-Nya teralih pada
sisi kanvas lain yang masih tersisa.
Kuasnya perlahan bergerak,
pelan, teliti, melukiskan tinta cokelat
dipadu dengan sinar keemasan.
Pada tanah ukiran terakhir-Nya,
tiada apapun selain kersik halus
nan lembut tergoyang sang bayu.
Kendatipun tanah itu tandus,
segelintir tanaman dibiarkan-Nya
tumbuh berbuah: manis nan sedap.
Sang Pelukis menatap kembali pada
kanvas-Nya yang telah terukir sempurna.
Diletakkannya kuas terkasih-Nya,
senyum tersungging indah di bibir-Nya,
“Kini adalah masa kita untuk beristirahat.”
Ia meletakkan kuas itu, dan bersandar,
memandang kanvas kepunyaan-Nya,
tiap hari, tiada lelah: bagian dari rehat-Nya,
agar tiada yang mampu merusak kanvas-Nya,
karena Ia begitu mencintai karya diatasnya.
Theresia Paskah
Oktober 29, 2021.
——————————–
Envious
Looking at the skies
the wolf was wondering:
what a beautiful sight
they had there: amazing
but the star up there
looking back at the ground
“you had a lively, pleasant nature,
colourful: green, blue, and brown”
“your world is better, let us
became you.” their hearts
craved for others’ life, and
the moon granted their wish.
The wolf moved to the sky,
the star shifted to the ground,
with a hopeful smile on their faces;
though it did not last long.
The wolf could not eat nor sleep,
the star not able to shine bright,
then the moon smiling and whispering
“better on your own world, ain’t it?”
Theresia Paskah,
September 21, 2021.
——————————————————–
Tentang Penulis
Theresia Paskah, atau biasa dipanggil Tere, adalah salah satu
mahasiswa di Yogyakarta yang senang membaca dan menulis.
Tere lebih terbiasa menulis karya yang bukan tipe karya sastra,
seperti puisi. Meskipun begitu, Tere ingin mengenal dan belajar
lebih dalam mengenai puisi sehingga ia bisa menghasilkan puisi
miliknya sendiri.
Tere bisa dijumpai di sosial media:
Instagram: @theresiaprastiti dan @termarasa
Email: theresiapaskahprastiti@gmail.com