Kasihku
Fajar mulai menampakkan rupanya
Tetes-tetes embun perlahan memudar
Sang rembulan perlahan menghilang
Tampaklah bahwa dunia akan di mulai
Namun aku tidak rela!
Jika mawarku harus menangis
Tiap-tiap tetesanya menandakan luka
Dalam jiwa yang rapuh dan gugur
Kekosongan menyorot tajam mata tuanya
Bungaku menaruh besar harapan kepadaku
Tak mungkin aku biarkan batinnya teriris
Dan juga memudarkan senyumannya
Ku menangis jika bungaku pergi
Mendahului anak kelopaknya ini
Beribu doa selalu mengiringimu
mawarku yang selalu rupawan
Perlahan langit berubah menjadi jingga
Kicau burung pun mulai menghilang
Suara sepoi angin semakin menjauh
Dan bungaku mulai kembali tenang
Yogyakarta, 15 September 2021
————————————————————————-
Kesendirian Ini
Aku ingin mengadu pada malam jika ragaku kini terkikis
Aku risau dengan kesepian ini
Ku merasa sepi walaupun keramaian ini tak berujung
Menampar mimpi yang lama terpendam
Meski hatimu beku tetapi tetap menghangatkan jiwaku
Senyummu bagaikan kesengsaraan yang diunjukkannya
Melawan kerasnya baja hingga melebur seperti kapas
Tidakkah sempat mengangkat jiwa-jiwa yang rapuh
Hingga batin ini terlampau tumpul untuk terbuka
Nyawa ini seperti tinta hitam yang perlahan memutih
Angin malam memeluk erat dalam kesendirian ini
Sunyi senyap tidak terlihat adanya deru bising
Sang raja malam bersatu bersama dewi bintang
Demi paripurnanya sangkala menuju fajar
Wahai engkau sang pemilik kasih
Sampaikan rinduku pada pujaan hati
Yogyakarta, 20 September 2021
———————————————————————-
Kidung Sunyi
Kususuri lorong perjalanan panjang itu
Dengan kehampaan diri ini
Angin malam menyapa seorang permata
Permata yang sudah meredupkan binarnya
Tidak ada lagi raut kebinarannya
Yang terlihat hanyalah beban dalam derita
Mematahkan seliweran dalam pikir
Benak kosong yang mengikuti
Apakah celoteh itu akan hilang?
Dipenghujung malam yang malang
Terselip rindu di sela samar kabut
Beriramakan kesetiaan senandung tirta
Sepasang mata ini masih setia
Mengharap permata bertemu sang dewa
Samudera kelabu membumbung di cakrawala
Penghalang tuk memadu kasih
Yogyakarta, 8 Oktober 2021
———————————————————————-
Goresan Senja
Senja adalah candu bagi sang pujangga
Candunya selalu menenangkan hati
Mengobati rapuhnya diri ini
Hingga tak terasa lagi
Senja adalah obat bagi goresan hati
Pelipur segala luka lara
Menjelma menjadi coretan tinta kehidupan
Yang bayangnya hampir tak terlihat
Senja adalah segala penenang tuk jiwa yang rapuh
Menenangkan segala suasana menjadi senyap
Menata segala cerita dan kisah dalam jiwa
Meredakan atensi kehidupan yang membara ini
Senja adalah luapan emosi yang terpendam
Disertai dengan bisikan angin yang masuk ke dalam jiwa
Membuatku merasakan dekapannya
Senja selalu membuat merindu
Yogyakarta, 12 November 2021
————————————————————-
Dalam Jiwa
Dalam kegelapan sang rembulan
Cahaya putih mulai memperlihatkan
Seseorang yang selama ini kurindukan
Menapakkan kakinya menyusuri dunia fana
Perasaan ini membara berkobar
Seperti ada percikan api
Perlahan bara itu semakin terasa
Mengalahkan datangnya sang dewi malam
Para pujangga menantikan datangnya sang bintang
Dewi malam penuh gemerlap seakan mendukung
Adanya rasa mendambakan sang kasih
Tidakkah ingin kita berjumpa, walau hanya sekejap
Ku tatap netra itu
Seakan ingin mengajakku mendekat
Gejolak rasa semakin menggelora jiwa ini
Tak tertahankan hingga nadi berdenyut cepat
Yogyakarta, 12 September 2021
===================================================
Biodata Penulis
Tifani Pudyasti, kelahirannya bertepatan dengan hujan bulan Januari, tepatnya tahun 2002. Saat ini statusnya masih sebagai mahasiswa semester III prodi Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma. Senja dan kopi merupakan perpaduan yang tepat baginya. Tidak ada kata terlambat dalam kamusnya, yang ada hanyalah menunggu waktu saja. Masih berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan dewasa ini dan tak pernah menyiakan kesempatan.