Kehancuran
Wahai malam
Kau kirimiku kabar pagi ini
Tentang gugurnya sang bintang
Bintang yang tak lagi memancarkan sinarnya
Wahai malam
Kau hancurkan rasa yang selama ini kupendam
Rasa yang selalu membara di dalam dada
Hingga akhirnya kesunyian pun kurasakan
Tetes demi tetes air mata mulai berjatuhan
Bak air terjun yang terus mengalir
Aku pun tak kuasa menahannya
Seluruh jiwaku terbanjiri jua olehnya
Yogyakarta, 1 Oktober 2021
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Pergi
Aroma kopi di penghujung jalan itu
Sama seperti wangimu saat di dekatku
Harum namun hanya sepintas
Membuatku ingin melepas
Suara panggilan yang saat itu sayup kudengar
Tak dapat menggoyahkan tekadku
Aku berjalan lunglai menuju selasar
Selasar itu membawaku bersama pilu
Kukira kaulah pembawa bahagia
Ternyata semua hanyalah derita
Kulangkahkan kakiku menjauhi nestapa
Sebelum semua terasa semakin tersiksa
Kini kutabahkan hati untuk mengucap selamat tinggal
Meskipun kaki ini terasa kaku untuk berjalan
Dan semua terasa sulit untuk sekedar bertahan
Tetap kujauhi meski ku merasa hilang moral
Yogyakarta, 30 Oktober 2021
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Cahaya
Cahaya adalah sinar yang terpancar dari bola mata
Yang membantuku untuk melihat indah parasnya
Yang membuatku terpana saat berpapasan dengan dia
Kilau sinarmu lah yang menusuk relung jiwa
Cahaya adalah sang penakluk gelap sama seperti senyumnya
Yang terpatri di mulut sang pelipur lara saat masih bernyawa
Yang membuatku dapat hidup damai dengan segenap jiwa
Kekuatannya pula lah yang dapat membuatku bertahan saat terluka
Cahaya sebagai penerang dunia yang sama seperti tawamu
Tawa yang membuatku merasakan bahagia di setiap harinya
Yang membuatku ingin menghentikan dunia untuk sementara
Keindahannya pun mampu membuat bibirku terasa kelu
Cahaya sebagai penghidup harapan redup yang sama seperti semangatnya
Membara seperti api yang dikobarkan saat lampu tak menyala
Tak kenal lelah dan kata menyerah saat mencapai sesuatu
Cahaya adalah kamu yang membuatku dapat menikmati hidup di dunia yang fana
Yogyakarta, 12 November 2021
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Di Kota yang Tak Pernah Sepi
Saat kulangkahkan kakiku menuju kota ini
Kota yang tak pernah sepi
Saat itu pula lah pertemuan itu terjadi
Dengan berbekal rasa gembira yang membumbung tinggi
Kuhampiri jalan setapak yang bergerak menujumu
Membawa sejumlah kerinduan yang menumpuk dalam dada
Di pertemuan singkat yang membuatku candu akan senyummu
Kurasakan jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya
Kupandangi sudut kota ini dengan mata telanjang
Kota yang tak pernah tidur dan dianggap istimewa
Disini lah kutemukan pujaan hati yang kusayang
Pujaan hati yang selama ini kudamba – damba
Yogyakarta, 20 November 2021
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Harapan Tak Tersampaikan
Aku berdiri di atas tanah ini
Menunggu datangnya sang pencerah
Sang pencerah yang selalu membawa kebahagiaan
Membanting tulang demi sesuap nasi
Aku berdiri di atas tanah ini
Dengan harapan bisa merasakan hangatnya tanganmu
Tangan menghitam dan kekar yang membiru
Meski kutahu semua hanyalah ilusi
Aku berdiri di atas tanah ini
Berharap bisa menikmati indah senyummu
Senyuman yang terpatri di bibir itu
Kala menatap wajah rupawannya setiap hari
Aku berdiri di atas tanah ini
Meneriakkan keinginan menggebu untuk bertemu
Bertemu sang pencari nafkah yang tak tergantikan ini
Meski kutahu semua hanyalah halu
Yogyakarta, 26 November 2021
=======================================================
Biodata Penulis
Savvyna Meyra Yosari, seorang perempuan kelahiran Yogyakarta pada tanggal 21 Mei 2001 merupakan seorang Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan program studi Sastra Inggris. Penulis mulai membenamkan diri ke dunia puisi saat masih berada di bangku sekolah menengah pertama dan kerap menuliskan puisi pada momen – momen tertentu yang dirasa memiliki makna yang mendalam. Tak jarang penulis juga mengirimkan puisi – puisinya ke media cetak sekolah. Ia pun memiliki cita–cita untuk menjadi seorang penerjemah Bahasa yang professional nantinya.