Oleh Ariel Heryanto
Dalam suratnya lebih dari sepuluh tahun lalu, Pramoedya Ananta Toer bertanya apakah saya, sebagai sarjana dan peminat sastra, tertarik meneliti karya-karya sastra Soekarno, Presiden pertama Indonesia. Karya-karya itu kebanyakan berupa cerita pendek, dan kalau tidak salah ingat, juga sandiwara yang ditulis selama dalam pembuangan politik. Kalau saya berminat, Pramoedya bersedia menunjukkan naskah-naskah yang disimpannya. Saya tidak pernah bermimpi mendapatkan tawaran kehormatan sebesar itu. Tanpa perlu berpikir berhari-hari, saya menolak. Tantangan itu terlalu berat. Saya merasa terlalu kecil.
Walau sejenak, perasaan serupa muncul ketika saya diminta menulis artikel pendek tentang Pramoedya dalam konteks pembahasan abad ke-20 yang segera berakhir. Memang siapa saja bisa menulis tentang Pramoedya dan tidak semua orang punya akses naskah-naskah istimewa dari perpustakaan Pramoedya. Akan tetapi, menuIis tentang Pramoedya tak kalah berat dan rumit. Tulisan ini tidak secara khusus membahas Pram oedya sebagai pribadi yang istimewa atau karya-karyanya . Sudah terlalu banyak orang melakukan itu, sebanyak pula yang mencacinya. Bagi yang tidak punya waktu atau akses ke perpustakaan yang lengkap tentang tokoh ini, tetapi punya akses internet, silakan tengok http://www.radix.net/-bardsley /prampage.htm1.
Di bawah ini hanya sebagian kecil dari sejarah Pramoedya yang diacu sebagai perantara untuk berkomentar tentang Indonesia di akhir abad ke-20 ini. Tulisan ini ingin mengatakan bahwa salah satu prasyarat untuk membenahi Indonesia masa ini dan abad ke-21 dengan membongkar dan mengelola sejarah masa lalu yang terbengkalai di abad ini.
Abad ke-20
Abad ke-20 menyimpan berbagai kisah besar dan dramatik. Di antaranya yang paling memu kau adalah terbentuknya “bangsa-negara” sebagai sebuah kesatuan analisis, sebuah wilayah, sebuah jati diri, sebuah kategori, sebuah fantasi, sebuah pembatasan, dan sekaligus sebuah karya budaya, ekonomi, dan politik. Paling tidak begitu pengalaman sebagian terbesar umat manusia yang hidup di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Sekarang yang namanya bangsa-negara disayang-sayang, bahkan dikeramatkan orang. Di akhir abad ke-20, seperti di pertengahan abad, kesatuan bangsa-negara Indonesia digugat. Akan tetapi, gugatan itu bukan diajukan untuk mendirikan bangsa-negara yang baru. Yang digugat adalah Negara Kesatuan Indonesia, bukan bangsa-negara sebagai sebuah konsep. Jumlah bangsa-negara di wilayah ini ingin diperbanyak bukan dikurangi. Gugatan itu bukan kampanye pembubaran seluruh lembaga bernama bangsa-negara.
Padahal, belum lagi seratus tahun lalu, Indonesia sebagai bangsa-negara merupakan sesuatu yang teramat absurd bagi penduduk Hindia Belanda. Juga pada saat Pramoedya dilahirkan di Blora, 6 Februari 1925. Sebuah masyarakat dan cara hidup bersama sebagai warga negara yang sederajat di muka hukum dan undang-undang? Yang berdaulat atas sebuah wilayah, dan senasib sepenanggungan? Jangankan dirindukan dan diperjuangkan agar terjelma, terjangkau angan-angan pun tidak. Bahkan ketika berlangsung Polemik Kebudayaan di akhir tahun 1930-an, Sutan Takdir Alisjahbana mengeluh betapa salah-kaprah pemahaman orang (termasuk kaum cendekiawan waktu itu) tentang “nasion”.
Hingga di akhir abad ke-20, masyarakat ideal itu tetap menjadi angan-angan, slogan, dan cita-cita belaka bagi kebanyakan masyarakat di dunia yang tercabik-cabik rasisme, seksisme, kesenjangan kaya-miskin, atau korupsi politik. Akan tetapi, angan-angan dan slogan ”bangsa-negara” seakan-akan telah ditelan mentah-mentah jutaan penduduk dunia. Kebangsaan dan kewarganegaraan diterima bulat-bulat dan bersemangat. Berjuta-juta orang telah rela, kata Benedict Anderson, ”bukannya membunuh orang lain, tetapi mati” demi yang namanya bangsa. Juga untuk bangsa kecil yang ingin memisahkan diri dari bangsa besar yang selama ini merangkumnya.
Betapa dramatik dan sekaligus traumatik lompatan sejarah dalam rentang hanya satu abad, dari situasi ketika bangsa-negara merupakan benda absurd ke situasi bangsa-negara dianggap °barang lumrah. Yang jarang disadari kaum nasionalis, setiap lompatan apalagi lompatan besar, berarti menghindari banyak hal yang mungkin teramat penting bagi si pelompat. Berbagai tragedi di sekitar abad ke-20 barangkali tidak terjadi, atau terjadi tidak separah itu, seandainya proses pembentukan bangsa-negara itu dapat dicerna lebih mendalam, diawasi, dan dijalani saksama. Berbagai masalah pelik Indonesia di akhir abad ke-20 dapat dicari sumbemya di awal abad, kalau bukan lebih jauh ke belakang.
Pramoedya Ananta Toer rnelewati tiga-perernpat dari abad ke-20 yang penuh gejolak ini dengan aktif, kritis, dan kreatif. Dengan tekun ia merneriksa lompatan peradaban terbesar abad ini. Ia mencapai banyak, tetapi juga membayar mahal untuk keterlibatan aktifnya itu. Pengalaman hidup dan karya-karyanya menjadi sebagian dari proses itu, dan saksi yang berkisah dengan kritis tentang proses itu.
Generasi Pramoedya hidup di abad ini menyaksikan dua Perang Dunia, revolusi kemerdekaan, banjir darah Perang Dingin, serta kemakmuran ekonomi Asia di akhir abad. Akan tetapi, tidak semua dari generasi itu bertahan hidup dan sesehat Pramoedya. Apalagi mampu segiat dan sekreatif Pramoedya mencatat serta menuliskan suka dukanya, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat bangsa-negara dan dunia.
Yang Terpuji, yang Terkutuk
Empat novel bersambung (tetralogi) karya Pramoedya Toer yang ditulisnya dalam pengasingan di Pulau Buru telah menjadi salah satu puncak terbesar di abad ke-20 ini bukan saja sebagai karya sastra dari penulisnya, melainkan juga bagi seluruh kesusastraan bangsa Indonesia, jika bukan Asia Tenggara.
Tanpa tandingan, karya itu menguak sejarah terbentuknya bangsa-negara Indonesia dengan aneka kompleksitasnya, termasuk apa artinya menjadi Indonesia bagi seorang petani, pelacur, pemuda, istri, wartawan, polisi hingga preman. Ia menjungkirbalikkan sejumlah mitos yang diajarkan Departemen Pendidikan Kebudayaan dan dan Departemen Penerangan setiap hari berpuluh tahun kepada jutaan anak sekolah sebagai pelajaran sejarah nasional.
Tidak mengherankan, itulah karya sastra Indonesia yang paling banyak diterjemahkan ke bahasa asing dan meraih penghargaan intemasional terbanyak; termasuk beberapa kali pencalonan penulisnya sebagai pemenang hadiah nobel.
Akan tetapi, itu baru separo cerita yang sudah terlalu sering ditulis orang. Separo yang lain melengkapi sejarah Pramoedya sebagai sejarah sosial abad ke-20. Belum pernah ada penghinaan dan penindasan baik terhadap karya sastra maupun pembaca yang mengaguminya sehebat yang dialami tetralogi itu. Ironisnya, penindasan itu terjadi di Tanah Air sendiri. Kisah abad ke-20 di dunia, dan Indonesia khususnya, bukan hanya kisah manusia berbudaya dan berprestasi. Ini juga kisah kebiadaban, penghancuran, penindasan, kebencian terhadap karya budaya.
Seperti nasib hampir semua karya Pramoedya yang lain, tetralogi Buru dinyatakan sebagai barang terlarang oleh Kejaksaan Agung dibawah rezim Orde Baru. Pelarangan buku bukan hal aneh dalam sejarah Indonesia, khususnya di zaman kolonial awal abad ke-20 dan zaman Orde Baru. Akan tetapi, belum pernah ada kebencian penguasa negara di Indonesia di sepanjang abad ke-20 terhadap sastrawan dan karya sehebat terhadap Pramoedya dan karyanya. Larangan itu meluap-Iuap dan memakan lebih banyak korban ikutan.
Empat mahasiswa Universitas Indonesia dipecat rektor mereka 14 Oktober 1981. Alasannya, mereka telah mengundang Pramoedya sebagai salah satu pembicara dalam sebuah diskusi di dalam kampus, 24 September 1981. Pemecatan tentu saja bukan satu-satunya ganjaran bagi keempat mahasiswa itu. Keempatnya ditahan di luar hukum dan disiksa aparat militer yang pada zaman itu boleh berbuat apa saja.
Tujuh tahun kemudian, tiga orang pemuda di Yogyakarta ditangkap, ditahan, disiksa sebelum diadili, kemudian divonis berat dengan tuduhan subversi, alias merongrong negara. Sebabnya? Mereka memiliki, membaca, mendiskusikan, dan mengedarkan beberapa novel karya Pramoedya. Mereka dihukum penjara antara tujuh hingga delapan setengah tahun pada usia mereka belum lagi 30 tahun.
ltu baru dua contoh dramatis dari serangkaian kisah penindasan negara terhadap karya Pramoedya yang bukan satu-satunya korban. Ada berbagai kasus lain yang tampaknya kurang hebat; termasuk interogasi dan intimidasi pada pemilik dan pegawai percetakan, toko buku atau perpustakaan. Max Lane dilucuti dari jabatannya sebagai staf Kedutaan Australia di Jakarta gara-gara menerjermahkan Bumi Manusia, jilid pertama tetralogi Pramoedya.
Pramoedya sendiri tidak pemah diadili dan dinyatakan bersalah, walau ia dihukum jauh lebih dari semua anak-anak muda yang mengaguminya. Ia dipenjara di zaman kolonial Belanda (1947-1949), ditahan tentara di zaman Demokrasi Terpimpin (1963), dan yang paling berat dibuang ke Pulau Buru di bawah rezim militer Orde Baru selama 14 tahun (1965-1979).
Kisah tentang Pramoedya dan novel-novelnya tidak kalah menarik daripada isi cerita dalam novel-novel itu sendiri. Bahkan keduanya sulit dipisahkan. Seakan-akan para intel, petugas kejaksaan, dan aktivis mahasiswa serta seluruh sejarah Indonesia yang bereaksi terhadap novel itu, hanya melakonkan kembali tokoh-tokoh dalam novelnya, sesuai alur cerita yang sudah digariskan dalam novel itu! Kisah tentang-bukan kisah dalam-novel Pramoedya adalah kisah Indonesia abad ke-20.
Pramoedya dipuji dan dicaci secara ekstrem. Sosoknya tidak berwarna tunggal seperti juga sejarah bangsanya ataupun novel-novelnya. Pada minggu-minggu pertama sebagian dari buku itu beredar, saya cepat-cepat membuat sebuah resensi dan mengirimkan ke media massa sebelum buku itu dilarang. Tidak ada satu pun redaksi yang mau memuat. Akan tetapi, itu tidak penting.
Yang menarik, penolakan itu disertai surat redaksi pada saya yang bertanya, “Bagaimana ya caranya dapat satu eksemplar buku dia?” Ketika menginterogasi Yusuf Ishak, Direktur Hasta Mitra, penerbit setia karya-karya Pramoedya, petugas Kejaksaan Agung minta salinan buku yang dilarangnya sendiri, sebab istrinya belum sempat membaca “buku hebat” itu!
Pada tanggal 13 Oktober 1981, Kejaksaan Agung Republik Indonesia membakar seeara massal dua jilid pertama dari tetralogi Buru yang dicalonkan dunia sebagai pemenang hadiah Nobel. Jumlahnya tidak jelas. Angka yang resmi yang dilaporkan majalah Tempo (14 Januari 1981) sebanyak 972 eksemplar. Akan tetapi, ada pihak lain yang meneurigai jumlahnya ribuan. Pramoedya tentu saja tidak kaget atau heran jika mendengar berita itu. Naskah novel yang sempat beredar dari Pulau Buru merupakan hasil penulisan ulang terhadap naskah yang berkali-kali sempat dirampas dan disita aparat negara.
Ketika ditangkap pada tanggal 13 Oktober 1965 di rumahnya sebelum dibuang 14 tahun, Pramoedya sedang sibuk menyiapkan ensiklopedi sastra Indonesia. Kepada para penyerbu yang menculiknya, ia berpesan berkali-kali agar buku-buku dan dokumentasi yang dikumpulkan selama 15 tahun (termasuk karya Soekarno) tidak dirusak. “Kalau pemerintah memang menghendaki agar diambil, tetapi jangan dirusak. “Beberapa hari kemudian, ia mendengar perpustakaannya diobrak-abrik dan isi rumahnya dijarah. Penggambaran saksi mata, mengingatkan kita pada laporan pers tentang penyerbuan kantor PDI (1996), kekerasan rasial antiminoritas (1998), atau penyerbuan milisi di Timor- Timur (1999).
Sejarah dan Sastra
Semua itu hanya sebagian keeil dari sejarah yang mengajarkan kita, bahwa berbagai persoalan besar di Indonesia di abad ke-20 ini sebenarnya bukan barang baru; bukan semata-mata kasus penyimpangan individual; tidak semata-mata karena ada Dwifungsi ABRI, korupsi rezim Soeharto, apalagi krisis 1997.
Negara dan pemerintah bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas berbagai tragedi (prestasi) nasional. Masyarakat sendiri-sedikit banyak termasuk Pramoedya-ikut ambil bagian dalam berbagai seluruh proses itu. Berbagai kasus mutakhir ini merupakan akibat langsung dan logis dari sebuah sistem yang awet, dan jarang diperiksa, apalagi ditanggulangi. Oleh karena itu, perhitungan dengan sejarah sendiri menjadi bagian yang tidak kalah penting dari “utang luar negeri” ataupun “modal asing” bagi masa depan Indonesia.
Dalam beberapa tahun Indonesia dilanda berbagai skandal dan konflik sosial bertubi-tubi. Bukan saja skandal Bank Bali dan Texmaeo, melainkan juga perang-saudara di Ambon, kekerasan di Aceh. Sebelumnya, ada perkosaan massal yang bemuansa rasialis di Jakarta. Jangan lupa penculikan puluhan aktivis oleh aparat “keamanan (!)” negara dan penyerbuan kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia. Sebelumnya, pembredelan tiga media massa cetak. Daftarnya terlalu panjang, walau hanya meliputi beberapa tahun terakhir.
Orang Indonesia bisa kaget-kagetan menghadapi semua itu kalau ia tidak cukup kenaI sejarah bangsanya sendiri. Berbagai bencana sosial mutakhir merupakan pengulangan atau kelanjutan belaka dari sesuatu yang sudah berakar jauh dalam sejarah dan tidak pernah dipatahkan. Atau ia merupakan gejala baru yang meledak karena bertemu dengan unsur-unsur lama dalam sejarah Indonesia. Semua ini masih akan terus terulang pada abad ke-20 jika tidak diperiksa dan diobati. Dan anak-anak cucu kita akan terus terkaget-kaget dan terheran-heran tanpa berdaya.
Ketika perhatian seIuruh dunia tertumpah ke Timor-Timur, beberapa pengamat sering merasa heran mengapa para aktivis muda Indonesia tidak turun ke jalan dalam jumlah jutaan dan ikut mencaci ABRI. “Apakah para aktivis rasialis atau menderita rabun jauh?”, mereka bertanya-tanya. Pada saat yang sarna, beberapa rekan Indonesia menggugat para simpatisan Timor-Timur: “Mengapa hanya ribut tentang mereka? Bagaimana dengan Aeeh, Ambon, atau Tanjungpriok? Apakah ini bias agama atau kemunafikan berslogan hak asasi?”
Walau keduanya sangat berbeda, mereka seakan-akan sepakat bahwa sejarah Indonesia baru berawal tahun 1966. Hampir-hampir tidak ada gugatan: Bagaimana dengan banjir darah tahun 1965-1966 yang bersifat lintas agama, suku dan geografi? Bahkan melibatkan beberapa negara asing.
Masa depan Indonesia sangat ditentukan oleh seberapa jauh bangsa ini mampu mengelola sejarah sendiri di abad ke-20 yang selama ini terbengkalai. Dalam jangka dekat ini berarti mengatasi timbunan sampah busuk reruntuhan rezim Orde Baru. lni termasuk menegakkan keadilan, membayar utang pertanggungjawaban modal dan kompensasi bagi korban yang tidak bersalah di masa lampau, serta rujuk nasional.
Sampah Orde Baru sendiri tidak bisa diselesaikan terpisah dari sumbernya, yakni Kebiadaban Nasional tahun 1965-1966 yang belum pernah dibongkar secara nasional sesudah Orde Baru secara formal pamit di tahun 1998. Pada gilirannya, kebiadaban nasional itu hanya sebuah letupan nasional dari sebuah proses global yang menjulur di sepanjang abad ke-20, yakni bangkitnya bangsa-negara bersama industri kapitalisme. Sementara Perang Dingin dan krisis ekonomi tahun 1997 hanya letupan lain.
Sumbangan terbesar tetralogi Buru, seluruh kisah kehidupan Pramoedya terletak di situ. Ia tidak menyediakan semua jawaban untuk berbagai masalah mutakhir. Bahkan ia tidak berprestasi menjawab apa-apa. Berkali-kali Pramoedya menekankan bahwa ia hanya menulis novel dan bukan sejarah ilmiah. Akan tetapi, inilah novel yang dihasilkan dari sebuah penelitian tekun dan perenungan selama 20 tahun tentang asal usul proses transformasi peradaban besar-besaran sejak akhir abad ke-20 yang membuahkan bangsa-negara Indonesia dengan aneka cacat dan keistimewaannya.
———————————–
Sumber Tulisan: Dari Buku 100 Tahun Nusantara, 2000, Penerbit Buku Kompas.