• Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Rabu, September 17, 2025
  • Login
No Result
View All Result
Beranda Negeri
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
No Result
View All Result
Beranda Negeri
No Result
View All Result
Home SASTRA

Bayi – bayi di Pinggir Negeri – Sebuah Cerita Pendek Helena Lose Beraf

by Redaksi
Agustus 19, 2025
in SASTRA
0
Bayi – bayi di Pinggir Negeri – Sebuah Cerita Pendek Helena Lose Beraf

Foto ilusrasi dari pinterest.com

0
SHARES
130
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

 

Sebuah refleksi atas anak anak yang tak pernah diberi nama, dari rahim yang tak pernah pulang, mereka yang menjual pelukan dan menguburkan cinta- Rahim yang menangis di tengah pasar

 

Angin bulan Desember mengibas tirai jendela rumah sakit.  Hari ini seperti biasa, aku bertugas di ruang Melati. Setelah merapikan perlengkapan pemeriksaan, aku berjalan pelan menuju ruangan. Hari yang cerah, semangatku membara memulai pelayananku hari ini.

Mata itu masih tetap seperti mata yang dulu. Mata yang selalu gelisah. Mata yang seperti ingin dikecup sebelum petang beranjak pergi. Perempuan itu kini terbaring pasrah di hadapku. Ya, perempuan yang pernah aku temui di salah satu tempat hiburan malam. Dengan mata awas, dihujani diriku dengan tatapan penuh selidik. Aku tak ingin membiarkannya menyorot terlalu lama. Ku gapai sepasang handscoon lalu memulai untuk memeriksanya. Baru pembukaan tujuh, berharap semuanya lancar.

Seperti biasa pada proses menanti kelahiran, Ibu selalu ditemani oleh suami, ibu, ayah, atau mungkin sanak saudara. Tetapi berbeda dengannya. Ia seorang diri meringis kesakitan. Kadang menatap kosong dengan mata diam, kadang bersungguh- sungguh seperti sedang memintal harap entah apa.

.Kamar bersalin memang sering menjelma sebagai ruang tunggu yg begitu pekat, cemas dan menegangkan.

aku menatapnya sungguh- sungguh.

*

Teringat ku di Desember dua tahun silam adalah perjumpaan yang tak disengaja. Ketika itu aku masih mahasiswa. Beberapa dari kami mengambil sampel penelitian di sebuah tempat hiburan pada kota ini.

Siapapun yang pernah ke kota ini, tentu tahu segala pusat hiburan yang menawarkan kenikmatan sesaat.

Di malam hari, di jantung kota berjejer wanita- wanita cantik pun seksi yang menunggu “dijemput” pelanggannya. Sulit untuk tidak tergoda. Beberapa teman pria ku belakangan kuketahui memacari mereka.  Mengerikan!

Saat itu, aku tengah sibuk mendata nama mereka satu per satu. Sedangkan beberapa dari temanku malah sibuk  melirik kiri dan kanan  sambil menelan ludah.  Yah, laki-laki mana yang tidak terpesona melihat wanita cantik dan seksi berkilauan seperti kerlap kerlip lampu kota ini. Berpakaian serba mini pula.  Namun, tak sedikit juga dari mereka yang mengurai umpatan sambil bercanda. Laki-laki memang aneh, di satu sisi mereka memuja, tapi di sisi lain malah menghina. Seakan tubuh- tubuh mulus yang dipertontonkan itu adalah komoditi paling diburu,sekaligus lelucon paling menyenangkan.

Aku tetap tak beranjak dari tempat duduk. Hari ini proses pendataan harus lebih cepat. Aku tak punya banyak waktu.

Kutulis di buku catatanku : Nama, umur, jumlah pelanggan dan juga jenis kontrasepsi.

Aku harus mendata sedetail mungkin, melakukan wawancara dan memberikan mereka  konseling, informasi dan edukasi mengenal penyakit menular seksual dan alat kontrasepsi. Ini adalah bagian dari tugas kuliah. Tapi lebih dari itu, ini adalah bentuk pelayananku. Melayani tidak boleh tebang pilih. Prinsip yang aku pegang sejak dulu.  Barangkali saja edukasi dan informasi dariku dapat membawa mereka ke jalan yang benar. Membawa mereka kembali dan tidak tersesat lagi pada dunia gelap itu. Walaupun aku yakin, tak semua mereka mau mendengar dan melaksanakan imbauan dariku.  Namun yang pasti, bahwa hak hidup sehat adalah hak setiap orang termasuk mereka.

Memang, pelacuran itu seperti jamur. Dimana ada “kekuasaan” disitu tumbuh pelacuran. Akan sangat susah untuk diberantas, tetapi amat mudah dipelihara. Sebuah kemerosotan moral yang sudah dianggap wajar.

Sepekan kemudian, beberapa dari kami membagikan alat kontrasepsi dan memberikan edukasi kesehatan yang mungkin akan menjadi omong kosong di kepala mereka.

**

Seorang wanita, kira-kira usianya sama dengan aku, berjalan cepat menuju mejaku.  Ia tampak gelisah. Melihatnya demikian aku bangkit berdiri dan setengah berlari menghampirinya. Dari jauh, kulihat  darah membanjiri rok, menetes ke betis sampai sepatunya. Semua yang ada di situ panik. Kulihat wajahnya sangat pucat. Kupacu langkahku berlari keluar memanggil ambulance.  Beberapa dari kami menggotongnya ke mobil  dan membawanya menuju rumah sakit. Ia terbaring lemas, aku memegang tangan kirinya berusaha membuat ia tenang sambil sesekali mengusap keringat di dahinya. Beberapa temanku memasang infus, dan yang lain menelepon rekan di rumah sakit agar mempersiapkan segala sesuatu untuk memudahkan penanganannya setiba disana.

Dengan nafas terengah, ia bertahan sampai tiba di rumah sakit. Namun sial, bayi dalam kandungannya tidak tertolong. Bayi dengan berat badan sangat kurang itu dipastikan sudah meninggal sejak hampir dua jam sebelum ibunya tiba di rumah sakit. Tubuhnya menghitam seperti terbakar. Kelaminnya belum terbentuk sempurna. Tangan dan kakinya sangat kecil seperti kaki dan tangan kucing.

Aku menghela nafas panjang, tak percaya atas apa yang kulihat. Mungkinkah ibu membunuh anaknya sendiri, bahkan sebelum  dilahirkan?

***

Aku terperanjat dari lamunanku, ketika mendengar suara Anggia meringis kesakitan.  Anggia,  nama perempuan yang akhirnya aku ketahui. Ia adalah pasien pertamaku hari ini. Ia tengah hamil anak ke lima, dengan riwayat abortus tiga kali. Aku membolakbalikan buku catatan medisnya. Martha, nama asli perempuan yang pernah kutemui itu. Tak ada keterangan tentang suaminya di buku medis, hanya riwayat kehamilan yang lalu, dan daftar obat-obatan yang pernah diminumnya. Anggia, perempuan bermata sembab itu, adalah benar-benar ia yang pernah kutemui di tempat hiburan malam. Aku tak percaya. Kini ia ada, terbaring  pasrah di depanku.  Matanya seperti sedang menjelaskan jiwa yang kerontang. Garis kecantikan masih melekat pada wajahnya walaupun dengan tampilan acak- acakan.

“Pasien sudah dua hari ini demam, keluar nanah dari kemaluan, muntah-muntah tak dapat makan dan minum. Sementara kontraksi sudah mulai dari jam empat pagi. Tekanan darah normal, suhu 38 derajat celcius, tanda-tanda vital lainnya normal, sudah pembukaan delapan”.

Bisik suster sambil membetulkan selang infus.  Kulihat, bintik- bintik merah membanjiri lengan kiri dan kanan Anggia.

“Satu, dua, tahan yah Bu. Tarik nafas, dorong bu. Dorong yang kencang, ayo Bu, sedikit lagi. Dorong yang kencang!”. Ujarku sambil sesekali menengok jarum jam.

Tangis bayi memecah hening. Detak jantung Anggia bernyanyi seirama bunyi detak jarum jam. Dari selangkangannya darah tak henti mengalir seperti sedang menceritakan perjalanan panjang yang telah ia lewati.  Tampon- tampon penyumbat nyeri telah terpasang. Keringat tak henti membanjiri wajah dan lehernya. Tak ada siapa pun. Tak ada lirih bariton lelaki seperti desah panjang usai klimaks yang nikmat.

Kelahiran kali ini semoga menjadi akhir pengembaraannya di dunia malam, batinku.

Bayi merah  dalam lampin itu tertidur pulas, namun wajahnya seperti berjalan mencari sesuatu yang hilang. Barangkali dalam lelap, ia dapat melihat wajah ayahnya yang samar-samar lalu hilang. Ku harap bola matanya kelak berjalan, lalu menggelinding bersahutan memburu tapak kaki lelaki yang pernah menjadikannya ada. Semoga bola mata itu senantiasa menyusuri jalanan, pindah dari satu bus ke bus lain, menuju warung, pasar, dan rumah ibadat untuk mencari ayahnya yang entah siapa.

Namun, walaupun siapa dan dimana ayahnya, anak ini tetap punya Ibu. Yang memiliki rahim-lah yang dapat menegaskan anak siapa yang ia kandung, benih siapa yang ditanam dalam tubuhnya.

Hampir sepekan Anggia dirawat, sebelum akhirnya polisi meringkusnya dengan dugaan pembunuhan atas bayinya sendiri beberapa tahun lalu. Polisi sudah memburunya sejak lama, atas laporan warga mengenai penemuan mayat bayi tanpa identitas di sebuah perumahan kota ini.

Anggia berjalan didampingi beberapa Polisi menyusuri lorong-lorong rumah sakit, dengan wajah kusut dan penuh penyesalan. Ia tertunduk saat beberapa pasang mata memandangnya dengan sesekali mengeluarkan umpatan.  Kali ini ia tak bisa lari lagi.

Sungguh malang bayinya. Bayi yang tak berdosa itu mungkin tidak akan merasakan ASI dari ibu kandungnya sendiri.  Tak merasakan sentuhan kasih dan pelukan dari ibunya.

Ku pandangi bayi mungil itu, tidak terasa air mata jatuh membanjir di pipi.

Seorang Ibu memang tidak dapat memberi cinta dan kasihnya secara total dan penuh pada anaknya apabila ia sendiri tidak dapat mencintai dan menghargai dirinya sendiri.  Mencintai diri sendiri, adalah hal pertama dan utama sebelum mencintai pribadi lain. Entah apa yang telah terjadi pada Anggia, aku tak tahu.  Aku tak pernah tahu apa kesulitan hidupnya, apa yang membebaninya serta apapun yang sudah membuatnya mengambil jalan ini.

Sejak saat itu, Anggia hidup dalam pikiranku. Ketika pagi ia datang membawa setumpuk senyum. Lalu memperlihatkan padaku berita di koran pagi ini. Seorang ayah menjual anak kandungnya di tempat prostitusi lantaran menaruh dendam pada istrinya. Lain lagi, beberapa remaja kedapatan pesta seks usai acara kelulusan sekolah. Seorang kekasih  menjual diri demi mendapatkan uang untuk membiayai kehidupannya di kota, juga untuk traktir pacarnya makan bakso di malam minggu. Berita lain, beberapa lelaki berjas kedapatan asyik berpesta dengan wanita penghibur di suatu kota, seorang gadis tujuh belas tahun diperkosa oleh empat orang kakek. Anak itu tengah hamil dua bulan, dan seorang guru pesantren mencabuli dua belas santri dan setengah di antaranya tengah hamil.

Begitu seterusnya. Setiap hari ku santap berita yang berseliweran seputar kelamin.

Mengapa tubuh begitu murah? Benarkah nilai tubuh begitu rendah, hingga tak pantas dihargai, dijaga dan dirawat?

Tubuh yang malang,  tak dapat berteriak dan melawan ketika ditindih kekuasaan dan kenikmatan, tubuh yang juga hanyut dalam kesenangan; berpesta dan tenggelam dalam uang. Tubuh yang tak dikontrol jiwa yang merdeka, lepas bebas dari tipu daya dan nafsu sesat. Jiwa yang seharusnya penuh kasih merawat tubuh dengan segala yang diberikan sang pencipta sejak saat anak manusia dilahirkan ke bumi.

Aku dapat mendengar detak jantung tersunyi dan lolongan kesedihan tanpa suara, berdenyut dari tiap huruf di surat kabar yang kusentuh. Kuhentikan membaca, sambil berjalan menuju beranda rumah sakit berharap menyaksikan kembang allamanda yang merekah.

Tuhan, semoga besok tak ada lagi  berita pemerkosaan, pencabulan, dan lain sebagainya di televisi. Biarkan anak-anak manusia ini belajar bersyukur atas tubuh yang Kau berikan pada mereka. Dan semoga, tak ada lagi bayi-bayi malang yang mati dan terbuang percuma, batinku

________________

 

FotoHelena Lose Beraf

Buku Puisi Tuhan dalam Sajak Cinta – Karya Helena Lose Beraf

ShareTweetSend
Next Post
Sekelumit Pemikiran tentang Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Negara Maju dan Kondisi Konkrit di Indonesia Masa Kini

Entitas Keberadaan Tuhan dalam Konsep Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Tasawuf

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recommended

Menelusuri Duka dari Nduga

Menelusuri Duka dari Nduga

6 tahun ago
Program Nasional di NTT Harus Didukung

Program Nasional di NTT Harus Didukung

6 tahun ago

Popular News

  • Membedah “Hidup Itu Anugerah” – Merawat Puisi

    Membedah “Hidup Itu Anugerah” – Merawat Puisi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Newsletter

Beranda Negeri

Anda bisa berlangganan Artikel Kami di sini.
SUBSCRIBE

Category

  • BERITA
  • BIOGRAFI
  • BUMI MANUSIA
  • Featured
  • JADWAL
  • JELAJAH
  • KOLOM KHUSUS
  • LENSA
  • OPINI
  • PAPALELE ONLINE
  • PUISI
  • PUSTAKA
  • SASTRA
  • TEROPONG
  • UMUM

Site Links

  • Masuk
  • Feed entri
  • Feed komentar
  • WordPress.org

About Us

Beranda sebagai suatu tempat para penghuni rumah untuk duduk melepas lelah, bercerita dengan anggota keluarga ataupun tamu dan saudara. Karena itu pula media Baranda Negeri merupakan tempat bercerita kita dan siapa saja yang berkesempatan berkunjung ke website ini.

  • Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy

© 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

No Result
View All Result
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL

© 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In