Oleh Agus Widjajanto
Mungkin sudah puluhan ribu Tahun lalu manusia selalu mencari dan ingin menemukan entitas keberadaan Illahi ( Tuhan ) sebagai sumber kehidupan untuk mencari jati diri sebagai seorang hamba Tuhan agar bisa mengenal dirinya sendiri.
Merujuk pada hadis qudsi yang berbunyi: “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”. Artinya: “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”
Hadis ini tidak ditemukan secara langsung dalam Al-Qur’an, tetapi merupakan sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh beberapa ulama hadis, seperti Imam Ghazali dalam kitabnya “Al-Munqidh min al-Dhalal” dan lainnya.
Hadis ini menekankan pentingnya introspeksi diri dan pengenalan diri sendiri sebagai langkah untuk mencapai pengenalan dan pemahaman tentang Tuhan. Dengan mengenal diri sendiri, seseorang dapat memahami kelemahan dan keterbatasan dirinya, serta menyadari keberadaan dan kekuasaan Tuhan.
Penerapan Hadis
– Introspeksi Diri: Mengenal diri sendiri melalui introspeksi dan refleksi dapat membantu seseorang memahami tujuan hidup dan peranannya dalam kehidupan.
– Pengenalan Tuhan: Dengan mengenal diri sendiri, seseorang dapat memahami keberadaan dan kekuasaan Tuhan, serta meningkatkan iman dan takwa kepada-Nya.
– Kesadaran Spiritual: Hadis ini mendorong seseorang untuk meningkatkan kesadaran spiritual dan memahami hubungan antara diri sendiri dan Tuhan.
Dalam konteks spiritual dan filosofis, hadis ini dapat menjadi salah satu cara untuk memahami pentingnya pengenalan diri dan Tuhan dalam mencapai kesempurnaan hidup dan kesadaran spiritual.
Dalam kontek Entitas Keberadaan Tuhan secara ilmu pengetahuan, Kurt Gödel, seorang matematikawan terkenal, membuktikan keberadaan Tuhan menggunakan logika matematika. Ia mengembangkan argumen ontologis yang menyatakan Tuhan sebagai entitas dengan semua sifat positif. Berikut adalah garis besar argumennya:
– Definisi Tuhan: Tuhan didefinisikan sebagai entitas yang memiliki semua sifat positif, seperti keadilan, kebijaksanaan, dan kesempurnaan.
– Aksioma:
* Jika sebuah sifat positif berlaku untuk suatu objek, maka sifat tersebut akan menghasilkan sifat baik lainnya.
* Tidak mungkin ada dua sifat berlawanan yang sama-sama baik.
– Teorema:
* Jika suatu sifat positif ada, maka harus ada objek yang memilikinya.
* Tuhan memiliki semua sifat positif, termasuk keberadaan, yang merupakan sifat positif.
Gödel menggunakan logika modal untuk menjelaskan bahwa Tuhan, sebagai makhluk yang sempurna, harus ada. Ia berpendapat bahwa sifat-sifat sempurna yang kita asosiasikan dengan Tuhan tidak bisa dibayangkan sebagai sesuatu yang tidak ada. Meskipun argumen ini menarik, namun tetap ada kritik dari para filsuf dan ilmuwan terkait definisi sifat positif dan logika modal yang digunakan.
Kritik terhadap Argumen Gödel:
– Masalah Definisi Sifat Positif: Bagaimana menentukan bahwa suatu sifat benar-benar positif? Konsep ini bisa bersifat subjektif dan tidak universal.
– Logika Modal Tidak Menjamin Kebenaran Empiris: Meskipun logika modal dapat menyusun argumen yang valid secara matematis, itu tidak berarti bahwa premisnya benar dalam kenyataan.
– Persoalan Ontologi: Kritik utama terhadap argumen ontologis adalah bahwa keberadaan bukanlah sifat dalam arti yang sama seperti sifat lainnya.
Demikian juga para ahli spiritual para mursyid atau guru besar dalam Ilmu Tasawuf, menyatakan bahwa dalam perspektif ahli tasawuf dalam spiritual dunia islam, tentang Entitas Keberadaan Tuhan para ahli atau mursyid dari tasawuf terkemuka menyatakan bahwa;
Menurut ahli tasawuf, keberadaan Tuhan sebagai entitas dapat dipahami melalui beberapa konsep dan pendekatan spiritual. Berikut adalah beberapa pandangan ahli tasawuf tentang Tuhan:
– Al-Junaid al-Baghdadi: Tasawuf adalah usaha untuk memurnikan hati dan menghindari godaan dunia, serta berupaya untuk mengingat Allah dan mengikuti Rasul. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara lahir dan batin, serta antara hakikat dan syariat.
– Abu Yazid al-Bustami: Tasawuf mencakup tiga aspek, yaitu takhalli (melepaskan diri dari perangai tercela), tahalli (menghiasi diri dengan akhlak terpuji), dan tajalli (mendekatkan diri kepada Tuhan).
– Ibn Arabi: Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan batiniah tentang Tuhan dan perjalanan spiritual individu untuk mencapai kesempurnaan dan hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan.
– Al-Ghazali: Tasawuf adalah pengetahuan dan pengalaman batiniah yang melibatkan pengenalan diri dan pencarian Tuhan melalui amalan kebajikan, introspeksi diri, dan pengembangan kebergantungan pada Tuhan.
Dalam pandangan tasawuf, Tuhan adalah entitas yang transenden dan imanen, yang hadir dalam segala aspek kehidupan. Tujuan utama tasawuf adalah untuk mencapai kesadaran dan pengalaman langsung tentang Tuhan, serta untuk memahami hakikat keberadaan dan kehidupan.
Beberapa konsep kunci dalam tasawuf yang terkait dengan keberadaan Tuhan adalah:
– Maqam dan Hal: Maqam adalah tahapan spiritual yang dicapai melalui usaha dan latihan spiritual, sedangkan hal adalah keadaan spiritual yang diberikan oleh Tuhan sebagai karunia.
– Dzikir dan Murqaba: Dzikir adalah praktik mengingat Tuhan melalui pengulangan nama-nama Tuhan atau frasa tertentu, sedangkan murqaba adalah praktik meditasi untuk memusatkan pikiran pada kehadiran Tuhan.
– Cinta Ilahi: Cinta ilahi adalah tema sentral dalam tasawuf, yang merupakan jalan utama menuju makrifat, atau pengetahuan langsung tentang Tuhan
Keberadaan Tuhan sebagai entitas yang imanen dan transenden memiliki perbedaan signifikan dalam pemahaman dan interpretasi. Berikut adalah beberapa perbedaan utama:
* Imanensi:
– Tuhan hadir dan terlibat langsung dalam alam semesta dan kehidupan manusia.
– Tuhan dapat dijangkau dan dipahami melalui pengalaman spiritual dan kesadaran manusia.
– Tuhan seringkali digambarkan sebagai entitas yang dekat dan personal.
* Transendensi:
– Tuhan berada di luar dan melampaui alam semesta dan kehidupan manusia.
– Tuhan tidak dapat dijangkau dan dipahami secara langsung oleh manusia.
– Tuhan seringkali digambarkan sebagai entitas yang jauh dan misterius.
Kedua konsep ini tidak selalu bertentangan, dan banyak tradisi spiritual dan agama yang menggabungkan elemen imanensi dan transendensi dalam pemahaman mereka tentang Tuhan. Misalnya, dalam agama Islam, Tuhan digambarkan sebagai entitas yang transenden dan tidak dapat dijangkau secara langsung, namun juga hadir dan terlibat dalam kehidupan manusia melalui rahmat dan kasih sayang-Nya.
Implikasi dari Imanensi dan Transendensi
* Imanensi:
– Menekankan hubungan personal dan langsung dengan Tuhan.
– Mendorong pengalaman spiritual dan kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
– Dapat mengarah pada pemahaman bahwa Tuhan terlibat dalam kehidupan manusia dan alam semesta.
* Transendensi:
– Menekankan kekuasaan dan kebesaran Tuhan yang melampaui pemahaman manusia.
– Mendorong rasa hormat dan takwa kepada Tuhan.
– Dapat mengarah pada pemahaman bahwa Tuhan berada di luar jangkauan manusia dan tidak dapat dipahami secara langsung.
Dalam memahami keberadaan Tuhan, penting untuk mempertimbangkan kedua aspek imanensi dan transendensi, serta bagaimana keduanya dapat saling melengkapi dan memperkaya pemahaman spiritual.
Demikian juga nenurut Raden Ngabehi Ronggo Warsito sebagai Pujangga penutup dalam spiritual Jawa, beliau menyatakan : “Tuhan merupakan entitas yang memiliki sifat imanen dan transenden”. Dalam konsep spiritual Jawa, Ronggowarsito menjelaskan bahwa Tuhan adalah Dzat yang Maha Suci dan berdiri sendiri, tanpa ada yang menciptakan. Ia menggambarkan Tuhan sebagai “Alif” yang disifati dengan wujud, yang keberadaannya ada dari Dzat itu sendiri tanpa ada yang menciptakan.
Konsep Ketuhanan Ronggowarsito
– Imanensi: Tuhan hadir dalam diri manusia dan alam semesta, sebagaimana dinyatakan dalam konsep “Manunggaling Kawulo lan Gusti”, yaitu kesatuan antara manusia dan Tuhan.
– Transendensi: Tuhan juga merupakan entitas yang berdiri sendiri, Maha Suci, dan Maha Kuasa, yang keberadaannya tidak terbatas pada alam semesta dan manusia.
Ronggowarsito juga menjelaskan hubungan antara Dzat, Sifat, Asma, dan Af’al Tuhan, yang diibaratkan seperti hubungan antara madu dan rasa manisnya, atau matahari dan sinarnya. Ia menekankan pentingnya memahami konsep ketuhanan ini untuk mencapai kesadaran spiritual dan kesempurnaan .
Bahwa dunia beserta seluruh alam semesta sesungguhnya adalah kumpulan cahaya, segala cahaya dari sufat sifat ke Tuhanan.
Teori tentang keberadaan Tuhan dalam pancaran cahaya lebih terkait dengan konsep filsafat iluminasi yang dikembangkan oleh Syaikh al-Isyraq Suhrawardi, seorang filosof dan sufi Persia abad ke-12. Menurut Suhrawardi, Tuhan adalah Cahaya Cahaya (Nur al-Anwar), sumber tertinggi dari segala cahaya. Keberadaan alam semesta dan makhluk hidup di dalamnya merupakan pancaran dari Tuhan sebagai Nur al-Anwar.
Konsep Cahaya dalam Filsafat Iluminasi
– Tuhan sebagai Cahaya Cahaya: Tuhan dianggap sebagai sumber cahaya yang paling tinggi dan merupakan asal mula semua makhluk dan kebijaksanaan tertinggi.
– Pancaran Cahaya: Keberadaan alam semesta dan makhluk hidup di dalamnya merupakan pancaran dari Tuhan sebagai Nur al-Anwar.
– Struktur Hierarkis Luminositas: Realitas terdiri dari struktur hierarkis luminositas yang berasal dari Cahaya Pertama (Nur al-Anwar), yang berfungsi sebagai asal mula semua makhluk dan kebijaksanaan tertinggi.
Suhrawardi juga menekankan pentingnya pengalaman spiritual dan intuisi batin dalam mencapai pengetahuan tertinggi tentang realitas mutlak. Ia mengajarkan bahwa untuk menemukan kebenaran sejati, seorang individu harus memulai perjalanan pencerahan spiritual, yang memerlukan pemurnian diri dari kegelapan menuju pencapaian persepsi iluminasi (ishraq).
Bahwa konsep cahaya dan iluminasi dalam filsafat Suhrawardi dapat menjadi salah satu cara untuk memahami keberadaan Tuhan dalam perspektif spiritual dan filosofis.
Dengan kemajuan ilmu dan tehnologi yang begitu pesat , dimana manusia bisa mencapai ruang angkasa meneropong galaksi bima sakti dan planet planet yang jarak nya ratusan bahkan ribuan tahun cahaya, mampu melihat lubang hitam walau belum terpecahkan teka teki nya, yang mana dalam alam modern , baik yang beragama maupun ateis selalu timbul pertanyaan apakah alam semesta diciptakan ataukah ada karena evolusi hukum alam itu sendiri.
Pertanyaan tentang terciptanya alam semesta ini telah menjadi topik perdebatan dan diskusi yang panjang antara ilmuwan, filsuf, dan teolog. Ada dua pandangan utama yang sering dibahas:
Pandangan Agama dan Teologi
– Campur Tangan Tuhan: Banyak agama dan kepercayaan percaya bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan atau kekuatan ilahi lainnya. Dalam pandangan ini, Tuhan memiliki peran aktif dalam menciptakan alam semesta dan menentukan hukum-hukum yang berlaku di dalamnya.
– Tujuan dan Desain: Pandangan ini sering kali menekankan bahwa alam semesta memiliki tujuan dan desain yang spesifik, dan bahwa keberadaan manusia dan kehidupan lainnya memiliki makna dan tujuan yang lebih besar.
Pandangan Ilmiah dan Filsafat
– Hukum Alam: Pandangan ilmiah modern sering kali menjelaskan bahwa alam semesta ini terjadi dan berkembang berdasarkan hukum-hukum alam yang dapat dipahami dan dipelajari melalui sains. Dalam pandangan ini, alam semesta dapat terjadi dan berkembang tanpa campur tangan ilahi langsung.
– Teori Big Bang: Teori Big Bang adalah contoh dari penjelasan ilmiah tentang asal mula alam semesta. Menurut teori ini, alam semesta dimulai dari titik singularitas yang sangat panas dan padat, dan kemudian berkembang menjadi alam semesta yang kita lihat hari ini.
Perdebatan dan Diskusi
– Ilmu dan Agama: Perdebatan antara ilmu dan agama sering kali berfokus pada pertanyaan tentang apakah alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan atau terjadi dengan sendirinya berdasarkan hukum alam.
– Filsafat dan Etika: Pertanyaan tentang asal mula alam semesta juga memiliki implikasi filosofis dan etis, seperti pertanyaan tentang makna dan tujuan hidup, serta tanggung jawab manusia terhadap alam semesta.
Kesimpulan
Pertanyaan tentang terciptanya alam semesta ini tidak memiliki jawaban yang tunggal dan pasti. Pandangan tentang hal ini sering kali dipengaruhi oleh kepercayaan, nilai-nilai, dan perspektif individu. Diskusi dan perdebatan tentang topik ini akan terus berlanjut, dan penting untuk memahami dan menghormati berbagai perspektif yang ada.
Jawabannya terletak pada masing masing individu dalam mencerna dan menafsirkan berdasar perspektif masing masing dan keimanan kita sebagai Hamba Tuhan .
———————-
Penulis adalah pemerhati masalah sosial budaya, dan sejarah bangsanya